Gallery

Gallery
Asia Leader Forum di Jepang

Jumat, 04 Maret 2011

Jurnal Maslahah 2010

Ijtihad: Makna dan Relasinya dengan
Syari’ah, Fiqih, dan Ushul Fiqih
Agus Supriyanto

Abstract: This article explains about ijtihad and its relation to shari’ah (Islamic law), fiqh (Islamic jurisprudence) and ushul fiqh (methodology of Islamic jurisprudence). Ijtihad (اجتهاد‎,) derives from jahada (struggle). Ijtihad is a technical term of Islamic law that describes the process of making a legal decision by independent interpretation of the legal sources (shari’ah), the Qur'an and the Sunnah. In ushul fiqh, these qualifications of mujtahid can be summed up as (i) an understanding of the objectives of the sharia and (ii) a knowledge of its sources and methods of deduction. The "gates of ijtihad" were "closed" in the 10th century in Sunni fiqh, meaning that ijtihad is not practiced in Sunni Islam anymore. In modern application, conservative Muslims say that most Muslims do not have the training in legal sources to conduct ijtihad. They argue that this role was traditionally given to those who have studied for a number of years under a scholar. However, liberal movements within Islam generally argue that any Muslim can perform ijtihad, given that Islam has no generally accepted clerical hierarchy or bureaucratic organization. A number of revivalist tendencies have re-opened the doors of ijtihad though not in a liberal direction.
Pendahuluan
Ajaran Islam yang bersumber utama Al-Qur’an dan Al-Hadits secara konseptual disebut dengan Syari’ah. Secara garis besar Sya-ri’ah meliputi tiga bidang: (1) aki-dah atau keyakinan yang meru-pakan ajaran yang bersifat ele-menter atau mendasar menyang-kut terutama eksistensi Allah, kitab suci, nabi, qadla-qadar, akhi-rat, yang secara keilmuan dikenal dengan Kalam atau Tauhid atau Teologi Islam, (2) segala hal yang mengajarkan penyucian jiwa dan pembentukan moral yang dikenal dengan Akhlak atau Etika Islam, dan segala tuntunan hidup praktis yang mengatur perbuatan manu-
sia yang menyangkut ibadah (ak-tivitas ritual) dan muamalah (ak-tivitas sosial), yang dikenal de-ngan Fikih atau Hukum Islam.
Fikih atau hukum Islam (Isla-mic law) merupakan salah satu unsur utama ajaran Islam. Ber-beda dari dua unsur utama ajaran Islam yang lain yakni akidah dan akhlak, fikih menempati posisi pa-ling sentral karena ia menandai keislaman seseorang secara for-mal. Ini dikarenakan fikih berisi ajaran Islam yang bersifat praktis-implementatif dan bercorak lahi-riah, yang berupa aturan-aturan hidup praktis yang meliputi aspek ritual (ibadah) dan aspek sosial (muamalah). Karena begitu pen-tingnya posisi fikih dalam Islam, Joseph Schacht, seorang sarjana Barat terkemuka yang mendalami hukum Islam, mengemukakan bahwa “hukum Islam merupakan wujud penting ajaran Islam, aspek paling pokok dari ajaran Islam, inti dan kandungan paling dalam dari Islam itu sendiri… Maka, mustahil memahami Islam tanpa mema-hami fikih atau hukum Islam”.
Fikih atau hukum Islam, seca-ra luas, mencakup baik hukum moral maupun ketetapan-ketetap-an hukum dan perundang-undang-an. Sehingga lebih tepat jika dikatakan bahwa sementara hu-kum moral diwahyukan dalam wu-jud teks-teks Al-Qur’an dan Sun-nah Nabi sebagai kehendaknya, maka adalah tugas kaum muslimin untuk mewujudkannya dalam ben-tuk ketetapan-ketetapan hukum dalam pelbagai konteks: sosial, ekonomi, politik, dan sebagainya. Sebenarnya, sejumlah aturan hu-kum telah diberikan oleh Al-Qur-’an untuk mewujudkan kehendak-Nya. Ketetapan-ketetapan Al-Qur-’an itu dapat dibagi menjadi dua kategori besar, yakni ‘halal’ (se-suatu yang dibolehkan) dan ‘ha-ram’ (sesuatu yang dilarang). Dua kategori ini kemudian dikembang-kan menjadi lima kategori atau yang dikenal dengan ‘hukum yang lima’ (al-ahkam al-khamsah), yaitu ‘wajib’/’fardlu’ (sesuatu perbuatan yang harus dilakukan), ‘mandub’/ ‘sunah’ (perbuatan yang dianjur-kan untuk dilakakan), ‘mubah’ (perbuatan yang boleh dilakukan dan boleh juga ditinggalkan), ‘makruh’ (perbuatan yang dianjur-kan untuk ditinggalkan), dan ‘ha-ram’ (suatu perbuatan yang harus ditinggalkan).
Lima jenis kategori hukum ini sebenarnya bukan pemilahan hu-kum itu sendiri, tetapi lebih seba-gai klasifikasi ragam perbuatan yang bisa mengantarkan realisasi hukum Islam dalam wujud tindak-an manusia. Atau, dengan kata lain, apa yang termuat dalam fikih seluruhnya menyangkut perbuat-an mukalaf (orang dewasa dan berakal sehat sehingga terkena kewajiban hukum) yang memiliki nilai dan telah ditentukan hukum-nya. Nilai perbuatan itu bisa ber-bentuk wajib (misal: melaksana-kan salat dan puasa Ramadan), sunah atau mandub (misal: berse-dekah), mubah (misal: transaksi ekonomi), makruh (misal: mero-kok), dan haram (misal: membu-nuh, mencuri). Jadi, ruang lingkup fikih sebatas mencakup persoalan hukum yang terkait langsung de-ngan perbuatan manusia.
Fikih atau hukum Islam yang berisi tuntunan perbuatan manu-sia dengan landasan lima kategori hukum sebagaimana tersebut di atas, secara teroretis terkait dengan syari’ah dan ushul fikih. Syari’ah berposisi sebagai landas-an dasar keberadaan fikih, semen-tara ushul fikih berperan sebagai metodologi yang bisa dipakai un-tuk merumuskan hukum-hukum fikih. Proses pembentukan ushul fikih sebagai metodologi, dan bagaimana ushul fikih menjalan-kan perannya melahirkan hukum-hukum fikih, secara konseptual dikenal sebagai ‘ijtihad’.

Relasi Syari’ah dan Fikih
Syari’ah tidak sama dengan fikih, keduanya merupakan dua hal yang berbeda, masing-masing memiliki entitasnya sendiri-sendi-ri. Namun demikian, keduanya memiliki hubungan yang saling melengkapi. Keberadaan yang satu memungkinkan keberadaan yang lain. Meski syari’ah dan fikih memiliki ikatan yang kuat dan sulit dipisahkan, di antara keduanya terdapat perbedaan yang men-dasar.
Kata ‘syari’ah’ secara etimo-logis berarti ‘sumber/aliran air yang digunakan untuk minum’. Dalam perkembangan selanjutnya, kata syari’ah digunakan dengan mengacu kepada ‘jalan yang lurus/agama’ (al-thariqah al-mustaqimah), dan kedua makna itu berkaitan satu sama lain. Sumber atau aliran air merupakan kebutuhan pokok manusia untuk memelihara keselamatan jiwa dan tubuh mereka, sementara jalan yang lurus merupakan kebutuhan pokok yang akan menyelamatkan dan membawa kebaikan bagi umat manusia. Dari akar kata ini, syari’ah diartikan sebagai agama yang lurus yang diturunkan Allah bagi umat manusia. Dengan kata lain, syari’ah adalah ketentuan Allah bagi hamba-Nya yang me-liputi persoalan akidah, ibadah, akhlak, dan tata kehidupan umat manusia untuk mencapai kebaha-giaan mereka di dunia dan akhirat.
Adapun perbedaan antara syari’ah dan fikih bisa dikemuka-kan lewat ungkapan berikut. Sya-ri’ah adalah sebuah lingkaran yang besar, sementara fikih adalah ling-karan kecil yang mengurusi apa yang umumnya dipahami sebagai tindakan hukum. Syari’ah selalu mengingatkan kita akan wahyu be-rupa Al-Qur’an dan Al-Hadits, se-dangkan dalam fikih ditekankan penalaran dan deduksi yang dilan-daskan pada wahyu. Jalan syari’ah digariskan oleh Allah dan Rasul-Nya, bangunan fikih ditegakkan oleh usaha manusia. Fikih adalah istilah yang digunakan bagi hukum sebagai suatu ilmu, sedangkan syari’ah bagi hukum sebagai jalan kesalehan yang dikaruniakan dari langit (wahyu). Oleh karena itu, syari’ah bersifat pasti dan tak berubah, sementara fikih bisa berubah sesuai dengan situasi dan kondisi. Selain itu, ketentuan sya-ri’ah bersifat umum yang hanya menyangkut prinsip-prinsip dasar, sedang ketentuan fikih bersifat spesifik, dalam arti menjelaskan bagaimana prinsip-prinsip dasar syari’ah bisa diterapkan da-lam situasi dan kondisi tertentu.
Dengan demikian, bisa juga dikatakan bahwa fikih sebagai pemahaman manusia atas ajaran Allah, didasarkan pada wahyu dan akal, kewenangan Allah dan kewe-nangan manusia sekaligus, di mana kewenangan Allah lebih tinggi dibanding kewenangan manusia. Karenanya, dalam cita hukum Islam, semua orang harus tunduk pada ketetapan Allah yang berasal dari Wahyu Samawi, yang berbentuk konkret Al-Qur’an yang dilengkapi Sunnah Nabi. Fikih atau hukum Islam, jika demikian, pada hakikatnya berasal dari Allah dan bertujuan untuk menemukan dan merumuskan kehendak-Nya. Ke-hendak Allah bukanlah suatu sis-tem yang statis dan telah diten-tukan berlaku selamanya tanpa mengalami perubahan; ia lebih merupakan sesuatu yang meliputi seluruh lapangan kehidupan ma-nusia, dan terungkap secara prog-resif dan dinamis.
Berdasarkan paparan di atas, kita bisa menganalisis bahwa sya-ri’ah didasarkan pada wahyu (divi-ne revelation) dan karena itu ia merupakan akidah/dogma, se-mentara fikih didasarkan pada akal manusia (human reason) dengan tetap berlandaskan pada wahyu, dan karena itu ia me-rupakan pemahaman atau pe-ngetahuan manusia yang dibim-bing wahyu. Oleh karena itu, pembentukan syari’ah secara historis berjalan paralel dengan proses turunnya wahyu Allah kepada Nabi Muhammad, di Makah dan Madinah, yang me-makan waktu sekitar 22 tahun lebih. Sementara pembentukan fikih berlangsung terus menerus tanpa pernah berhenti, mengikuti alur kehidupan manusia yang selalu berkembang dan berubah.
Karena Islam memberikan tuntunan dalam semua bidang kehidupan, maka fikih atau hukum Islam mencakup segi-segi moral-religius, sosial, politik, dan eko-nomi, dalam kehidupan manusia. Dalam bentuk yang lebih konkret dan konseptual, fikih meliputi aspek ritual (ibadah) seperti salat, puasa, zakat, haji, dan sebagainya; dan aspek sosial (muamalah) se-perti nikah, waris, hibah, wakaf, transaksi ekonomi (jual-beli, per-dagangan, hutang-piutang, gadai, dan sebagainya), jinayah (pidana), siyasah (politik, pemerintahan), dan sebagainya. Itulah sebabnya, mengapa seorang manusia yang bertindak menurut hukum Islam dalam segala macam situasi dan kegiatan, dianggap telah meme-nuhi kehendak Allah. Jadi, hukum Islam adalah perwujudan dari kehendak Allah.

Relasi Fikih dan Ushul Fikih
Fikih dan ushul fikih merupa-kan dua hal yang berbeda, tetapi antara keduanya terdapat hu-bungan yang saling bergantung dan melengkapi. Keberadaan fikih ditentukan oleh ushul fikih, demi-kian pula ushul fikih ada karena ada fikih. Sehingga, keberadaan keduanya bisa diibaratkan dua sisi dari satu mata uang.
Pengertian ushul fikih, yang terdiri dari dua kata, ‘ushul’ (ushul) dan ‘fikih’ (fiqh), terbangun dari arti dua kata yang mem-bentuknya tersebut. Arti kata ‘ushul’ dan arti kata ‘fikih’ diurai-kan masing-masing, kemudian arti keduanya dikombinasikan, sehing-ga terbentuklah arti ‘ushul fikih’. Arti ‘fikih’ telah diuraikan di atas, dan sekarang akan dibahas arti kata ‘ushul’.
Kata ‘ushul’ merupakan ben-tuk jamak dari kata tunggal ‘ashl’. Secara harfiah kata ‘ashl’ berarti ‘sesuatu dari mana sesuatu yang lain berasal’ (something from which another thing originates). Inilah alasan mengapa kata ‘ashl’ secara harfiah berarti ‘akar’ (root). Kata ‘ashl’ juga berarti ‘sesuatu yang darinya sesuatu yang lain dibentuk’ (something upon which another thing is constructed), sehingga secara harfiah kata ‘ashl’ juga berarti ‘dasar’ (foundation). Dalam kasus-kasus tertentu, kata ‘ashl’ disamakan pula dengan kata Arab ‘mashdar’, yang berarti ‘sum-ber’ (source). Dari beberapa arti harfiah tersebut, ‘ushul fikih’ (ushul al-fiqh) bisa didefinisikan sebagai “prinsip-prinsip dasar dan cara-cara (metode-metode) ter-tentu yang bisa dijadikan landasan oleh para ahli hukum untuk merumuskan hukum Islam yang bersifat praktis-aplikatif yang berasal dari dalil-dalil tertentu Al-Qur’an dan Al-Hadits”. Ushul fikih bisa juga disebut sebagai “himpunan kaidah dan rumus-rumus yang bisa melahirkan hu-kum Islam yang bersifat praktis-aplikatif yang didasarkan pada dalil-dalil tertentu Al-Qur’an dan Sunnah Nabi”.
Jika yang dikaji dalam fikih adalah perbuatan mukalaf, maka pokok bahasan dalam ushul fikih adalah dalil-dalil Al-Qur’an dan Al-Hadits yang masih bersifat umum. Maka, dalil-dalil yang masih ber-sifat umum tersebut harus Diana-lisis agar menjadi terperinci dan spesifik sehingga mudah dipahami dan diaplikasikan dalam kehidup-an sehari-hari. Misalnya, ayat-ayat yang terkait dengan perbuatan manusia, mesti dikaji dan dikla-sifikasi mana yang berupa perin-tah, dan mana pula yang berupa larangan.
Dari pengertian ushul fikih sebagaimana diuraikan di atas, menjadi jelas di mana letak per-bedaan antara fikih dan ushul fikih, dan di mana letak hubungan antara keduanya. Fikih merupakan tuntunan hidup praktis-aplikatif dalam bentuk hukum yang diru-muskan secara sistematis; semen-tara ushul fikih merupakan prinsip dasar, kaidah, dan metode yang dijadikan acuan atau landasan da-lam merumuskan hukum-hukum dalam fikih. Sehingga, ushul fikih merupakan dasar atau landasan keberadaan fikih.

Ijtihad
A.Pengertian
Dalam salah satu karyanya, Al-Mustasyfa, sebuah kitab yang secara khusus membahas per-
soalan ushul fikih, Imam Al-Ghazali melukiskan ushul fikih sebagai ‘sebuah pohon yang ditanam oleh manusia’. Buah-buahan pohon tersebut menggambarkan hukum-hukum yang merupakan tujuan menanam pohon; batang dan cabang-cabangnya adalah materi-materi tekstual yang memungkin-kan pohon menopang dan mena-hannya. Namun, agar pohon ter-sebut bisa ditanam, dan menja-dikannya menopang buahnya, manusia harus berperan. Jadi, un-sur tambahan dalam gambaran metafora di atas adalah cara menanam, prinsip-prinsip penalar-an hukum dan hermeneutika yang digunakan agar pohon tersebut bisa berbuah. Dan yang terakhir, manusia itu sendiri, yang tanpanya pohon tidak akan menghasilkan tujuan keberadaannya. Manusia-lah si penanam pohon, yang pemikiran hukumnya yang kreatif ditujukan untuk memproduksi buah, norma hukum. Para ahli hukum Islam, si penanam pohon itu, yang bisa melakukan penalar-an hukum semacam itu disebut ‘mujtahid’, yaitu ‘orang yang menggunakan segala usahanya untuk mendapatkan hukum dari wahyu atau syari’ah (Al-Qur’an dan Al-Hadits), dengan mengikuti prinsip-prinsip dan prosedur yang telah dibangun dalam ushul fikih’. Proses dari penalaran ini disebut ‘ijtihad’, usaha penalaran itu sen-diri.
Kata ‘ijtihad’ (ijtihad), dilihat dari perspektif ilmu sharaf atau struktur konjugasi, merupakan isim masdar atau kata benda ben-tukan dari kata kerja (fi’il) ijta-hada-yajtahidu-ijtihadan. Kata dasar ‘ijtihad’ adalah jahada, yang juga melahirkan kata benda jahd dan juhd, yang keduanya berarti ‘kesulitan, kesusahan, kesempitan, kemampuan, keluasan pikiran’.
Apa yang dimaksud dengan ijtihad secara definitif telah dike-mukakan oleh para fukaha (ahli fikih/ushul fikih) dengan beragam definisi. Meski terdapat banyak definisi, dan masing-masing diru-muskan dengan susunan redaksi berbeda, tetapi terdapat benang merah atau persamaan pema-haman yang bersifat umum dan esensial. Oleh karena itu, secara umum dan esensial, ‘ijtihad’ dipa-hami sebagai “mencurahkan sega-la kemampuan untuk merumus-kan hukum yang berasal dari dalil-dalil Al-Qur’an dan Al-Hadits” , “mencurahkan segala kemampuan untuk merumuskan hukum syara’ dari dalil yang bersifat dhanni (samar/belum pasti) , “proses pemikiran yang menghasilkan hu-kum-hukum Islam lewat penelitian yang mendalam” , “upaya untuk sampai kepada suatu keputusan yang mandiri mengenai suatu persoalan hukum” “mengguna-kan kemampuan akal secara sungguh-sungguh untuk menen-tukan pendapat di lapangan hu-kum mengenai hal yang pelik dan meragukan” . Yang dimaksud dengan ‘mencurahkan segala ke-mampuan, proses pemikiran, menggunakan kemampuan akal’ di sini adalah ‘mencurahkan pikiran dengan sunguh-sungguh atau berpikir secara serius dan men-dalam dengan menggunakan prinsip-prinsip rasio’. Oleh karena itu, di sini terdapat keterlibatan akal manusia dalam proses memahami nash-nash atau dalil-dalil Al-Qur’an dan Al-Hadits, atau ayat-ayat Al-Qur’an dan hadits-hadits Nabi. Sehingga, terjalin sinergi bahkan semacam simbiosis mutualisme antara ‘wahyu’ dan ‘akal’ atau antara ‘syari’ah’ dan ‘pemikiran manusia’; dan tentunya posisi wahyu tetap berada di atas akal.
Untuk menutup ruang terjadi-nya intervensi akal (pemikiran manusia) terhadap ketetapan wahyu (syari’ah), atau kemung-kinan menempatkan akal di atas wahyu, maka para fukaha telah merumuskan kriteria dan persya-ratan ijtihad.
B. Validitas Ijtihad
Sebagian besar fukaha (jum-hur al-fuqaha’) menyatakan bah-wa validitas atau keabsahan dilakukannya ijtihad dilandaskan pada Al-Quran, Al-Hadits dan Akal.
1.Landasan Al-Qur’an
Para fukaha secara umum menggunakan Surah Al-Nisa’ (4) ayat 59 sebagai hujah atau dalil dibolehkannya berijtihad. Ayat tersebut berarti: “Wahai orang-orang yang beriman taatilah Allah dan Rasul-Nya dan ulil amri (umara/ulama) di antara kamu. Jika terjadi perselisihan di antara kamu (tanazu’) atas suatu persoalan maka kembalikanlah (merujuklah) kamu kepada Allah dan Rasul-Nya (Kitab Allah dan Hadits Nabi)”. Yang dimaksud dengan taat kepada Allah dan Rasul-Nya dalam ayat ini adalah mengikuti ayat atau hadits yang sudah pasti dan jelas pemaha-mannya. Adapun dengan merujuk kepada Allah dan Rasul-Nya ketika terjadi perselisihan, maksudnya adalah agar kita bersikap hati-hati dan tidak terjebak ke dalam hawa nafsu, dengan cara berpikir untuk menemukan makna yang tersem-bunyi dari ayat atau hadits terkait dengan persoalan yang diperse-lisihkan, atau menerapkan prinsi-prinsip umum syari’ah lewat proses analogi (qiyas), atau mengaplikasikan tujuan dasar syari’ah (maqashid al-syari’ah) lewat proses pemikiran.
Selain itu, bisa juga diguna-kan ayat-ayat yang berisi do-rongan penggunaan akal seperti afalaa ta’qiluun, afalaa tata-fakkaruun. Atau secara lebih detil bisa digunakan Surah Al-Nisa’ ayat 83 “Dan apabila datang kepada mereka berita tentang keamanan dan ketakutan, mereka menyiar-kan itu. Dan sekiranya mereka kembalikan itu kepada Rasul dan ulil amri (umara/ulama) di antara mereka, niscaya orang-orang di antara mereka yang ingin meneliti (yastanbithuunahu) berita itu akan mengetahuinya dari mereka (Ra-sul dan ulil amri)”. Kata yastan-bituun berasal dari tasrif istan-batha-yastanbithu-istinbath. Kata istinbath berasal dari kata naba-tha al-bi’ra yang berarti ‘menggali sumur dan mengeluarkan air dari sumur tersebut’. Istilah istinbath hukum dalam ushul fikih tentunya berasal dari sini. Adapun arti ‘is-tinbath’ adalah ‘meneliti arti yang tersembunyi di dalamnya dengan cara ijtihad’. Dan ini sama dengan istikhraj yang berarti ‘menarik kesimpulan dengan analogi (qi-yas)’. Jadi, ayat ini jelas mengakui prinsip penggunaan akal, yang identik dengan ijtihad. Meski peristiwa yang disebutkan dalam ayat tersebut merupakan hal khusus, tetapi prinsip penggunaan istinbath sebagaimana tersurat merupakan prinsip umum.
2.Landasan Al-Hadits
Para fukaha biasanya meng-gunakan hadits yang berasal dari Mu’adz bin Jabal. Ketika Nabi me-ngangkat Mu’adz sebagai Guber-nur Yaman, beliau bertanya kepa-danya: “Bagaimana cara kamu memutuskan perkara jika kamu menghadapi suatu persoalan?” Jawab Mu’adz: “Saya akan memu-tuskan perkara tersebut berda-sarkan Al-Qur’an?”. Lanjut Nabi: “Jika tidak ada dasarnya hukum-nya dalam Al-Qur’an ?”. Jawab Mu’adz: “Saya akan memutuskan berdasarkan Al-Hadits”. Lanjut Nabi: “Jika tidak ada dasar hu-kumnya dalam Al-Hadits ?”. Jawab Mu’adz: “Saya akan berijtihad de-ngan menggunakan akal saya meski dan tidak berlebih-lebihan”. Mu’adz berkata : “Rasul kemudian menepuk dada saya seraya berucap ‘segala puji bagi Allah yang telah membimbing utusan Rasul-Nya terhadap segala hal yang diridai Allah dan Rasul-Nya’”. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Dawud, Al-Turmudzi, dan Al-Darimi. Selain hadits ini, ada be-berapa riwayat yang menjelaskan bagaimana Nabi berijtihad, perin-tah Nabi kepada para sahabat agar mereka berijtihad, dan perse-tujuan (iqrar) Nabi terhadap hasil ijtihad beberapa sahabat.
3.Landasan Akal
Allah telah menetapkan Islam sebagai agama penutup, dan menjadikan syari’ah (ajaran)nya cocok untuk segala waktu dan tempat. Sementara jumlah nash-nash (ayat dan hadist) terbatas, sedangkan pelbagai masalah dan persoalan yang dihadapi manusia terus bertambah dan berkem-bang, maka tidaklah muingkin bagi nash-nash yang terbatas tersebut untuk menylesaikan pelbagai per-soalan manusia yang terus mun-cul. Oleh karena itu, harus dibuka kemungkinan untuk menghadapi dan menyelesaikan pelbagai per-soalan dengan memberikan solusi hukumnya lewat ijtihad, baik dengan menggunakan metode qiyas (analogi) maupun dengan menerapkan prinsip ‘kebaikan bagi manusia’ (al-mashlahah). Jika ijtihad tidak boleh digunakan, maka syari’ah (ajaran) Islam akan kehilangan relevansinya bagi kehidupan manusia di setiap zaman dan tempat.
Oleh karena itu, menurut Muhammad Iqbal sebagaimana dikutip oleh C.A. Qadir, ijtihad me-rupakan prinsip gerak dalam Is-lam. Lebih lanjut ia berpendapat bahwa Islam, sebagai suatu agama yang dinamis dan progresif, harus menyesuaikan diri dengan zaman, dan bahwa prinsip gerak yang dianjurkan oleh Islam adalah prinsip ijtihad.
Dari uraian di atas dapat di-simpulkan bahwa ijtihad merupa-kan tuntutan syari’ah sebagai-mana bisa dipahami dari pelbagai ayat dan hadits yang mendorong manusia agar berpikir. Di samping itu, ijtihad sebenarnya juga bisa dipahami sebagai instrumen inte-lektual untuk memahami isi kan-dungan syari’ah secara mendalam, luas, dan komprehensif. Lebih dari itu, ijtihad boleh juga dimaknai sebagai metodologi pemahaman dan perumusan hukum yang terkandung dalam pelbagai nash-nash baik Al-Qur’an maupun Sunnah Nabi.
C. Kemungkinan Ijtihad
Sejak awal harus dipahami bahwa ijtihad bukanlah sumber hukum; sumber hukum yang sebenarnya tetaplah nash-nash yang berupa ayat-ayat Al-Qur’an dan hadits-hadits Nabi. Ijtihad adalah suatu aktivitas, pemikiran mendalam, suatu proses untuk menemukan hukum dari kedalam-an ayat-ayat Al-Qur’an dan hadits-hadits Nabi, untuk diterapkan pada pelbagai persoalan yang sedang menunggu putusan hu-kum. Jadi, ijtihad diberlakukan dalam permasalahan yang tidak terdapat ketentuannya di dalam Al-Qur’an atau Sunnah Nabi seca-ra langsung. Oleh karena itu, ijtihad dimungkinkan untuk diber-lakukan dengan syarat-syarat ter-tentu.
Dari ketiga kandungan sya-ri’ah: akidah/tauhid/keimanan, akhlaq/moral, dan fikih atau hu-kum Islam, hanya fikih atau hukum Islam yang memiliki kemungkinan untuk dijadikan objek ijtihad. Ini dikarenakan persoalan akidah seperti keesaan Allah, keberadaan surga dan neraka, atau persoalan akhlaq seperti kejujuran dan kesabaran, didasarkan pada dalil-dalil Al-Qur’an dan Al-Hadits yang bersifat jelas dan pasti (sharih wa qath’i). Sementara fikih atau hukum Islam yang menyangkut tata cara ibadah (ukhrawi) dan muamalah (duniawi), didasarkan pada dalil-dalil yang bersifat samar dan memerlukan penafsiran (dha-nni).
Para ulama mengibaratkan ajaran Islam dengan sebatang po-hon, yang terdiri dari akar dan cabang. Akar-akarnya atau ushul adalah persoalan akidah yang se-cara konseptual dikenal dengan ‘ilmu kalam’ (al-‘ulum al-ilahi-yyah), sementara cabang-cabang-nya atau furu’ disebut dengan fikih yang berisi rumusan hukum-hukum (jurisprudensi) atau tun-tunan hidup yang menyangkut persoalan ibadah dan muama-lah.
Prinsip pertama dan utama dalam ijtihad adalah: ‘tidak ada ijtihad terhadap nash yang pe-ngertiannya jelas’ (la ijtihada ma’a al-nash) atau (la masagha li al-ijtihadi fima fihi nashshun shari-hun qath’iyyun). Ini menjelaskan bahwa suatu ayat atau hadits yang mengandung satu pemahaman yang jelas dan pasti sehingga tidak dimungkinkan adanya pemaham-an lain, maka tiada peluang bagi ijtihad. Contohnya ayat “al-zaniyatu wa al-zani fajlidu kulla wahidin minhuma miata jaladah” atau “al-sariqu wa al-sariqatu faqtha’u aidiyahuma”. Kata miata jaldah (seratus cambukan) atau qath’ al-yad (potong tangan) di sini atinya sudah jelas, karena tidak mungkin dipahami lain se-perti ‘dua ratus cambukan’ atau ‘potong kaki’. Jadi, kata miah (seratus) dan yad (tangan) meru-pakan nash yang jelas (sharih) dan pasti (qath’i).
Sedangkan menyangkut pe-laksanaan (mekanisme) cambukan dan apa yang dimaksud dengan tangan, dimungkinkan adanya ij-tihad. Misal, apa jenis cambuk yang akan digunakan, dan bagai-mana cambukan akan dilaksana-kan, apakah cambukan dengan keras ataukah pelan. Demikian pula halnya dengan pengertian tangan; apakah yang dimaksud dengan tangan di sini batasannya dari siku hingga jari tangan, dan yang dipotong tangan sebelah kiri atau kanan.
Dengan demikian, kemung-kinan ijtihad diberlakukan jika tidak terdapat nash sama sekali baik dalam Al-Quran maupun Al-Hadist. Atau jika terdapat dalil berupa ayat atau hadits, tetapi pengertian ayat dimaksud bersifat samar atau kurang jelas (dhanni al-dalalah), dan lafal hadits dimaksud diragukan otentisitasnya (dhanni al-tsubut), maka terbuka kemungkinan adanya ijtihad. Apabila keraguan terkait dengan otentisitas lafal hadits, maka ijtihad yang dilakukan diarahkan untuk meneliti sanad (rangkaian perawi) hadits bersangkutan. Se-mentara keraguan yang berkaitan dengan dalil ayat (dhanni al-dalalah), maka ijtihad dilakukan dalam bentuk tafsir atau ta’wil untuk mencari makna ayat yang tepat, atau mengidentifikasi mana lafal yang bersifat umum dan mana yang bersifat khusus. Namun demikian, khusus untuk Umar bin Khaththab, ijtihad yang beliau lakukan terkadang menab-rak ketentuan tersebut. Yakni beliau berijtihad terhadap nash yang jelas dan pasti (qath’i al-tsubut dan qath’i al-dalalah), semata-mata untuk menggali dan menerapkan maqashid al-syari’ah (tujuan paling dasar dan uatama dari syari’ah).
D. Ijtihad dalam Kerangka Fikih
Ijtihad sebagai suatu aktivitas sekaligus proses berpikir secara mendalam, sebenarnya merupa-kan bagian dari proses pem-bentukan fikih atau hukum Islam (tasyri’). Tasyri’ ini berjalan secara bertahap sebagai berikut: tasyri’ masa Nabi (dari Nabi menerima wahyu sampai beliau meninggal tahun 11 H), tasyri’ masa Khulafa Rasyidun (11 H–40 H), tasyri’ masa Sahabat Kecil dan Tabi’in Besar (139 H–172 H), tasyri’ masa Fukaha dan Imam Madzhab (299 H–394 H), dan tasyri’ masa Taqlid (394 H–Sekarang). Selain proses perumusan hukum, dalam tasyri’ juga terjadi proses pembentukan dalil-dalil hukum (al-adillah al-syar’iyyah) dan tujuan ditetap-kannya hukum (maqashid al-syari’ah).
Dalil-dalil hukum yang berha-sil dirumuskan lewat proses ijti-had, terdiri dari: Al-Qur’an, Al-Hadits, dan Ijtihad. Ijtihad sebagai dalil hukum meliputi: Ijma’, Qi-yas, Istihsan, Mashlahah Mursa-lah, ‘Urf, Istishhab, Syar’u Man Qablana, Madzhab Shahabi. Al-Qur’an dan Al-Hadits merupakan dalil utama, sementara yang lain merupakan proses ijtihad yang harus merujuk pada kedua dalil utama tersebut.
Sementara tujuan penetapan hukum (maqashid al-syari’ah) secara garis besar diarahkan untuk memenuhi tiga kategori kebutuh-an hidup manusia: kebutuhan dasar (dlaruri), kebutuhan pendu-kung (haji), dan kebutuhan pe-lengkap (tahsini). Selain untuk memenuhi ketiga kebutuhan ter-sebut, tujuan penetapan hukum juga diarahkan untuk memelihara (hifdh) lima keselamatan : agama (din), keturunan (nasl), akal (‘aql), harta (mal), dan kehormatan (‘irdl).
Bisa dikatakan bahwa pada setiap masa terjadi ijtihad yang dilakukan baik secara sistematis maupun secara sporadis karena ada suatu permasalahan tertentu. Pada masa Nabi, seluruh keten-tuan hukum harus berdasarkan wahyu. Namun, jika tidak terdapat wahyu, maka Nabi berijtihad. Apa-bila ijtihad beliau benar, maka selesai masalah. Tetapi jika ijtihad beliau salah, maka turunlah wahyu untuk mengoreksi ijtihad beliau yang salah tersebut. Demikian pula halnya pada masa Khulafa’ Rasyidun. Jika para sahabat tidak menemukan wahyu untuk mene-tapkan hukum, maka mereka melakukan ijtihad.
Bisa diberikan beberapa con-toh ijtihad berikut ini. Nabi ber-ijtihad dalam hal tawanan perang Badar dengan menerima tebusan. Allah menganggap ijtihad Nabi keliru, sehingga turunlah ayat berikut sebagai koreksi terhadap beliau: “Tidak patut bagi seorang Nabi mempunyai tawanan sebe-lum ia dapat melumpuhkan musuhnya di muka bumi”. Dan diriwayatkan dari Abu Sa’id al-Khudri, bahwa ada dua orang sedang bepergian. Kemudian tiba-lah waktu salat, tetapi tidak dida-patkan air untuk berwudu. Maka keduanya kemudian bertayamum dan salat. Setelah itu keduanya menemukan air. Salah satu dari keduanya berwudu dan meng-ulangi salatnya, sementara yang lain tidak. Setelah keduanya ber-temu Nabi dan mengadukan per-soalan tersebut, Nabi berkata kepada orang yang tidak meng-ulangi salatnya: “Kamu benar dan salatmu memberimu pahala”. Se-mentara kepada orang yang berwudu dan mengulangi salat-nya, Nabi berkata: “Kamu menda-patkan dua pahala”. Nabi me-nyetujui (iqrar) tindakan keduanya lewat ijtihad karena tidak ada dalil hukumnya.
Khalifah Abu Bakar berijtihad dengan cara memerangi orang yang tidak mau membayar zakat meskipun mereka telah melaksa-nakan salat, dengan alasan tidak bahwa kedudukan zakat setara dengan salat. Sehingga orang yang tidak mau membayar zakat sama hukumnya dengan orang yang tidak mau melaksanakan salat, mereka boleh diperangi. Demikian pula dengan ijtihadnya dalam bentuk penghimpunan dan penu-lisan Al-Qur’an, dengan alasan banyak para penghafal Al-Qur’an yang gugur dalam medan perang, sehingga dikhawatirkan Al-Qur’an akan punah.
Khalifah Umar bin Khaththab dikenal luas sebagai orang yang berani berijtihad meski hasil ijtihadnya bertentangan dengan dalil qath’i baik ayat Al-Qur’an maupun hadits Nabi. Misal, Umar melarang kaum laki-laki muslim menikahi wanita ahli kitab mes-kipun hal itu dibolehkan, dengan alasan khawatir para wanita mus-limah tidak laku kawin karena kaum lelaki muslim lebih memilih wanita ahli kitab. Ijtihad lain Umar berupa pendapatnya bahwa talak tiga dalam satu waktu adalah sah. Hal ini berbeda dengan pendapat Nabi dan Abu Bakar bahwa talak tiga dalam satu waktu tetap yang berlaku talak satu. Umar beralasan bahwa kaum muslim dengan gam-pangnya menjatuhkan tiga talak sekaligus dalam satu waktu untuk main-main. Pendapat Umar ini ditujukan untuk memberi pelajar-an para pengumbar talak. Demi-kian pun Umar tidak memotong tangan pencuri yang tertangkap melakukan pencurian padahal ayat tentang pencurian bersifat jelas dan pasti (qath’i). Umar beralasan bahwa mereka mencuri karena lapar, sebab pada masa itu sedang terjadi paceklik. Apa yang dilakukan Umar sebagai proses ijtihad terbukti benar karena membawa kemaslahatan bagi umat. Umar dikenal luas sebagai orang yang benar imannya, kuat keyakinannya, luas pandangan fi-kihnya, dalam pemahaman aga-manya, ikhlas segala amalnya, dan selalu berpegang teguh pada kebenaran dan keadilan.
Demikian halnya dengan Kha-lifah Ali bin Abi Thalib, ketika beliau ditanya tentang hukuman bagi peminum khamer. Ali berij-tihad dengan berkata: “Barang siapa mabuk maka ia mengigau, dan barang siapa mengigau maka ia berdusta, sehingga sudah sela-yaknya hukuman bagi pemabuk sama dengan hukuman bagi pendusta/penuduh zina”.
Fikih yang didukung proses ijtihad mengalami puncaknya pada masa Imam Mujtahidin atau Imam Madzhab, yang ditandai terutama dengan terbentuknya madzhab-madzhab terutama empat madz-hab: Hanafi (didirikan oleh Imam Abu Hanifah), Maliki (didirikan oleh Imam Malik bin Anas), Syafi’i (didirikan oleh Imam Muhammad bin Idris Al-Syafi’i), dan Hanbali (didirikan oleh Imam Ahmad bin Hanbal).
Di antara keempat imam tersebut berlangsung diskusi-dis-kusi mengenai usaha pembenaran pendapatnya masing-masing. Dis-kusi-diskusi itu dilakukan atas dasar yang benar dan cara-cara yang lurus. Masing-masing meng-gunakan alat pembuktian atas pendapat yang dianutnya serta memberlakukan syari’at seluruh-nya dan dalam setiap masalah pokok fikih. Kadang-kadang, per-bedaan pendapat terjadi antara Syafi’i dan Malik, sementara Abu Hanifah mendukung salah satu-nya; kadang terjadi antara Syafi’i dan Abu Hanifah, sementara Malik mendukung salah satu. Di dalam diskusi-diskusi inilah muncul kete-rangan atas dalil-dalil dan dasar hukum para imam tersebut, tentang sebab utama perbedaan pendapat serta posisi-posisi ijtihad mereka.
Fikih atau hukum Islam yang diistinbathkan dari dalil-dalil syari-’ah menimbulkan banyak perbe-daan pendapat di kalangan para ulama yang berijtihad. Perbedaan pendapat itu muncul karena per-bedaan sumber dan perbedaan sudut pandang, suatu hal yang tidak bisa dihindarkan. Perbedaan pendapat itu menyebar seluas-luasnya di dalam Islam.
Kita bisa mengambil contoh perbedaan pandangan imam madzhab dalam berijtihad ten-tang hukum membaca basmalah dalam salat. Imam Malik berpen-dapat bahwa tidak boleh mem-baca basmalah dalam salat wajib lima waktu baik yang dibaca keras maupun pelan, baik di awal surat Al-Fatihah maupun di awal surat-surat lainnya, tetapi boleh mem-baca basmalah dalam salat sunah. Sementara Imam Abu Hanifah berpendapat boleh membaca bas-malah secara pelan dalam setiap rakaat salat, dan lebih baik kalau bacaan basmalah di awal setiap surat lain juga secara pelan. Adapun Imam Syafi’i berpendapat wajib membaca basmalah baik ketika surat dibaca keras maupun pelan. Terakhir, Imam Ahmad bin Hanbal berpendapat boleh mem-baca basmalah dengan suara pelan dan tidak dianjurkan dibaca dengan suara keras. Penyebab terjadinya perbedaan pendapat di antara para imam madzhab adalah apakah lafal basmalah termasuk dalam salah satu ayat dalam surat Al-Fatihah dan merupakan ayat pertama dalam surat-surat yang lain, atau tidak.
Demikian juga ijtihad tentang ayat “fawalli wajhaka syathral masjidil haram”. Persoalannya adalah apakah wajib menghadap wujud ka’bah ataukah cukup menghadap arah ka’bah dalam sa-lat. Madzhab Syafi’i dan Hanbali berpendapat wajib menghadap wujud ka’bah, sementara madz-hab Hanafi dan Maliki berpen-dapat bahwa hanya diwajibkan menghadap arah ka’bah apabila orang yang salat tidak bisa melihat ka’bah secara langsung.

Khatimah: Keniscayaan Ijtihad
Kebutuhan akan ijtihad meru-pakan sesuatu yang tidak dapat dihindarkan, karena adanya kebu-tuhan terhadap hukum dalam pelbagai situasi dan kondisi yang baru. Selamanya, bahkan sampai hari kiamat, setiap muslim pasti akan berada dalam posisi seba-gaimana Mu’adz, dan karenanya membutuhkan ijtihad.
Ada beberapa hal penting yang perlu disampaikan berkaitan dengan ijtihad. Pertama, tidak pernah ada ‘titah’ yang meme-rintahkan agar pintu ijtihad ditu-tup. Para ahli fikih terus mela-kukan ijtihad sampai abad ke-2 H. Mereka pun mengeluarkan hukum dan fatwa sesuai dengan perta-nyaan dan kebutuhan masyarakat. Karena adanya perbedaan ilmu para fukaha, maka kesimpulan hukumnya pun berbeda. Hal ini terjadi baik dalam masalah per-nikahan, perceraian, tingkah laku secara umum, atau bahkan dalam urusan ibadah seperti salat dan puasa. Akibatnya, hukumnya pun beragam dan berbeda antara yang satu dengan yang lain.
Perbedaan hukum tidak da-pat dihindari, karena hal ini muncul dari perbedaan kadar ke-mampuan masing-masing. Seseo-rang mungkin mengharamkan mi-num kopi, sebagaimana sebagian orang mengharamkan rokok pada zaman kita sekarang ini. Semua itu tidak masalah, asalkan berangkat dari rumusan dan mempunyai metodologi serta landasan hukum yang jelas. Persoalan ini–mene-mukan rumusan metode dan teori baru dalam berijtihad-belum ba-nyak disentuh oleh para ahli.
Kedua, adanya perbedaan ijtihad di masa sekarang dengan tempo dulu, yakni dalam cakupan ijtihad. Dulu para ulama fikih mungkin cukup berijtihad dalam hal: perkawinan, perceraian, za-kat, kepemilikan, warisan, riba, haji, dan salat; mengingat perkem-bangan masyarakat memang ha-nya sampai di situ. Berbeda dengan sekarang yang perkem-bangannya tidak dapat dibatasi lagi. Oleh karena itu, ajaran Islam harus dibaca secara lebih kritis. Dalam persoalan riba, misalnya, bagaimana kita akan mengatakan bahwa bank penuh riba tanpa mengetahui sistem pasar, perban-kan, dan sebagainya. Bagaimana kita akan berijtihad dalam bidang politik tanpa mengetahui apa itu politik, apa kontribusinya, bagai-mana cara pemilihan, dan se-bagainya.
Seseorang yang akan berfat-wa dalam bidang-bidang di atas harus secara utuh mengetahui bidang yang dimaksud. Hal ini tentunya membutuhkan spesia-lisasi tersendiri. Dan itu sangat sulit. Dengan kata lain, sangat sulit seorang ulama fikih mempunyai wawasan yang memadai di semua bidang seperti perbankan, politik, ekonomi, cara pemilihan, dan sebagainya. Di sinilah kemudian terbentuk apa yang namanya spesialisasi. Seseorang mungkin alim dalam bidang politik atau sosial tetapi pengetahuan fikihnya sangat lemah. Begitu pula seba-liknya.
Oleh karena itu, para ulama fikih dan para ahli ilmu lainnya harus bisa duduk bersama, agar sebuah permasalahan dapat dike-tahui secara sempurna. Kemudian


fatwa pun bisa dihadirkan dengan bentuknya yang sempurna. Meng-ingat ijtihad tidak mungkin hanya dilakukan di satu negara, maka seharusnya ada semacam ‘perte-muan tinggi ijtihad’ yang diikuti oleh para ulama dari dunia Islam. Hal ini tidak lain untuk mengenali masalah dan ijtihad yang dibu-tuhkn secara lebih sempurna. Di samping itu juga harus ada semacam badan khusus yang mengurus penerapan ijtihad ini, agar ijtihad yang dihasilkan dapat dilaksanakan.
Jelas, perkembangan kehi-dupan juga menuntut adanya perkembangan ijtihad, baik me-nyangkut metode maupun bentuk. Jika pada masa-masa awal ke-lahiran dan perkembangan Islam, ijtihad dilakukan secara individu oleh seorang mujtahid, sehingga disebut ‘ijtihad individual’ (ijtihad fardi), karena permasalahan yang dihadapi belum begitu kompleks. Maka, pada masa kontemporer sekarang ini, mengingat perma-salahan yang dihadapi begitu kompleks, tentu menjadi sebuah keniscayaan jika diberlakukan ‘ijtihad kolektif’ (ijtihad jama’i). Wallahu a’lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar