Fundamentalisme dan Kekerasan
Umat Beragama
Yoyo Hambali
Abstract: Fundamentalism is one of most terrible phenomenon in late 20 century. The emergence of fundamentalism was back grounded by many complex factors, which not merely related to religious problems, but also to socio-political, economics and ideological interests. All religions teaches noble teachings for betterment of human life. Nonetheless, some religions used as a vehicle to reach individual or certain political group interests. The phenomenon has catalyzed violation as well as destruction. The emergence of religious fundamentalism was inevitable when poltization of religion still going on.
Pendahuluan
Komitmen anti-kekerasan merupakan tujuan luhur manusia. Siapa yang ingin ada pertumpahan darah, pemban-taian wanita, dan anak-anak yang tak berdosa hidup dalam ancaman?1 Tujuan luhur manusia itu sejajar dengan tujuan agama, yakni ke-damaian.
Agama Islam, dilihat dari segi namanya saja merupakan agama yang unik, karena ia berarti “kesela-matan”, “kedamaian”, atau “penye-rahan diri secara total kepada Tuhan.” Inilah sesungguhnya makna firman Allah, Inna al-din ‘ind Allah al-Islam, (Q.s. Ali Imran/3:19) “Sesungguhnya agama yang diridhai di sisi Allah ialah Islam”. Bila Islam diterjemahkan “perdamaian”, maka terjemahan ayat tersebut menjadi “Sesungguhnya agama yang diridhai di sisi Allah adalah agama per-damaian.” Dengan demikian, se-orang Muslim adalah orang yang menganut agama perdamaian. Para nabi sejak Nabi Adam sampai Nabi Muhammad saw. menganut agama Islam2 atau agama perdamaian itu. Pernyataan Nabi Ibrahim misalnya “La syarika lahu wabi dzalika umirtu wa ana awwalul muslimin “ (Tidak ada sekutu bagi-Nya dan demikian itu diperintahkan kepadaku dan aku adalah golongan orang-orang pertama yang menganut agama perdamaian”) (Q.s. Al An’am/6: 163).
Bila agama menghendaki keda-maian, lalu mengapa kekerasan atas nama agama itu kerap terjadi? Kekerasan agama selama berabad-abad merupakan kejahatan terburuk yang telah mengisi peradaban manusia. Sesuatu yang paradoks, karena agama mengajarkan nilai-nilai luhur, tetapi agama juga bertanggung jawab terhadap terjadi-nya kerusakan di muka bumi ini.
Peran agama sebagai perekat heterogenitas dan pereda konflik sudah lama dipertanyakan. Tidak dapat dipungkiri, bahwa manusia yang menghuni muka bumi ini begitu heterogen terdiri dari ber-bagai suku, etnis, ras, penganut agama, kultur, peradaban dan sebagainya. Samuel P. Huntington mengatakan bahwa perbedaan tidak mesti konflik, dan konflik tidak mesti berarti kekerasan. Dalam dunia baru, konflik-konflik yang paling mudah menyebar dan sangat penting sekaligus paling berbahaya bukanlah konflik antarkelas sosial, antar golongan kaya dengan go-longan miskin, atau antara kelom-pok-kelompok (kekuatan) ekonomi lainnya, tetapi konflik antara orang-orang yang memiliki entitas-entitas budaya yang berbeda-beda.3 Na-mun, selama berabad-abad, per-bedaan entitas agama telah menimbulkan konflik yang paling keras dan paling lama, paling luas, dan paling banyak memakan korban. Dalam citranya yang negatif, agama telah memberikan kontribusi terhadap terjadinya kon-flik, penindasan dan kekerasan. Agama telah menjadi tirani, di mana atas nama Tuhan orang melakukan kekerasan, menindas, melakukan ketidakadilan dan pem-bunuhan.
Dalam konteks kekinian, ben-tuk-bentuk konflik, kekerasan dan perang agama itu biasanya di-hubungkan dengan bangkitnya fundamentalisme agama. Funda-mentalisme agama mengeks-presikan cita-cita sosial-politiknya dalam bentuk ekstrimisme dan kekerasan sebagai reaksi terhadap kondisi kehidupan manusia yang dianggapnya tidak ideal. Funda-mentalisme, sebagaimana di-katakan Karen Armstrong, meru-pakan salah satu fenomena paling mengejutkan di akhir abad 20. Ekspresi fundamentalisme ini ter-kadang cukup mengerikan. Para fundamentalis menembaki jamaah yang sedang salat di masjid, membunuh dokter dan perawat dalam klinik aborsi, membunuh presiden, dan bahkan mampu meng-gulingkan pemerintahan yang kuat.4 Peristiwa paling mutakhir yang menghebohkan dunia, yaitu han-curnya gedung World Trade Center (WTC) di New York, Amerika Serikat, September 2001 lalu, juga dihubungkan dengan gerakan fun-damentalisme.
Fundamentalisme dan kekeras-an agama merupakan isu paling hangat belakangan ini dalam wacana percaturan global yang mendorong kita untuk melakukan kajian terhadap dua persoalan ini.
“Fundamentalisme identik de-ngan kekerasan”. Inilah stereotip yang dilestarikan Barat selama ber-abad-abad. Islam fundamentalis adalah penyebab terjadinya ber-bagai tindakan kekerasan, bom bunuh diri, pembunuhan, pem-bantaian, peperangan dan peng-hancuran. Doktrin perang suci atau jihad yang menjadi keyakinan yang diusung fundamentalisme mem-perkuat stereotip itu. Benarkan fundamentalisme identik dengan kekerasan? Adakah kaitan antara fundamentalisme dengan kekerasan agama ?
Pertanyaan di atas merupakan permasalahan yang akan diangkat ke permukaan menjadi tema pene-litian ini. Penelitian ini mencoba untuk membuktikan hipotesis bah-wa fundamentalisme muncul ketika agama tercampur dengan ekspresi-ekspresi kekerasan dari aspirasi-aspirasi sosial, kebanggaan per-sonal, dan gerakkan-gerakkan untuk perubahan politik. Ketika ekspresi keagamaan ditujukan untuk mem-perbaiki tatanan dunia (world order) yang bobrok, dan ekspresi kekerasan ditempuh sebagai jalan terakhir dan terpaksa dilakukan dengan motivasi semata-mata murni keagamaan, maka dalam hal ini agama atau gerakkan agama ter-sebut tidak selalu dapat diper-salahkan.
Sekilas Terminologi Fundamen-talisme
Media Barat sering memberi kesan bahwa bentuk keagamaan yang saling bertentangan dan sekali-sekali diwarnai kekerasan yang dikenal sebagai “fundamen-talisme” cuma ada pada fenomena Islam. Padahal fundamentalisme merupakan fenomena dalam semua agama. Ada Judaisme fundamen-talis, Kristen fundamentalis, Hindu fun-damentalis, Sikh fundamentalis, dan bahkan Konfusianisme funda-mentalis.5 Karen Armstrong menga-takan bahwa gerakan fundamen-talis tidak muncul begitu saja sebagai respons spontan terhadap datangnya modernisasi yang diang-gap sudah keluar terlalu jauh. Semua orang religius berusaha mereformasi tradisi mereka dan memadukannya dengan budaya modern, seperti dilakukan pemba-haru Muslim. Ketika cara-cara moderat dianggap tidak membantu, beberapa orang menggunakan meto-de yang lebih ekstrem, dan saat itulah gerakan fundamnetalis lahir.6
Berbicara mengenai istilah fun-damentalisme, banyak sarjana yang mengakui bahwa penggunaan istilah ‘fundamentalisme” itu prob-lematik dan tidak tepat. Istilah ini seperti dikatakan William Mont-gomery Watt, pada dasarnya merupakan suatu istilah Inggris—kuno ka-langan Protestan yang secara khusus diterapkan kepada orang-orang yang berpandangan bahwa al-Kitab harus diterima dan ditafsirkan secara harfiah. Istilah sepadan yang paling dekat dalam bahasa Perancis adalah integrism, yang merujuk kepada kecen-derungan senada tetapi tidak dalam pengertian kecenderungan yang sama di kalangan kaum Katolik Romawi. Kaum fundamentalis Sunni menerima al-Qur’an secara harfiah, sekalipun dalam beberapa kasus dengan syarat-syarat tertentu, tetapi mereka juga memiliki sisi lain yang berbeda. Kaum Syiah Iran, yang dalam suatu pengertian umum adalah para fundamentalis, tidak terikat kepada penafsiran harfiah al-Qur’an. Watt mendefinisikan bahwa kelompok fundamentalis Islam adalah kelompok muslimin yang secara sepenuhnya menerima pan-dangan dunia tradisional serta berkehendak mem-pertahankannya secara utuh.7
James Barr dalam bukunya Fundamentalism mengkritik defini-si yang mengatakan bahwa kaum fundamentalis adalah kelompok yang menafsirkan kitab suci secara harfiah. Menurutnya definisi itu jauh dari tepat. Ia mengemukakan ciri-ciri fundamnetalisme (Kristen) sebagai berikut:
1. Penekanan yang amat kuat pada ketiadasalahan (inerrancy) Al-kitab. Bahwa Alkitab tidak mengandung kesalahan dalam bentuk apapun;
2. Kebencian yang mendalam ter-hadap teologi modern serta terhadap metode, hasil dan akibat-akibat studi kritik mo-dern terhadap Alkitab;
3. Jaminan kepastian bahwa me-reka yang tidak ikut menganut pandangan keagamaan mereka sama sekali bukanlah ‘Kristen sejati”. 8
Fazlur Rahman tampaknya ku-rang suka memakai istilah fun-damentalisme, ia lebih suka me-makai istilah revivalism. Seperti dalam bukunya Revival and Reform in Islam, Rahman yang digolongkan sebagai pemikir neo-modernis ini mengatakan bahwa pergerakan re-formasi sosial pra-modern yang menghidupkan kembali makna dan pentingnya norma-norma Al-Qur’an di setiap masa. Mereka adalah kelompok pra-modern “fundamen-talis-tradisionalis-konservatif” yang memberontak melawan penafsiran Al-Qur’an yang digerakkan oleh tradisi keagamaan, sebagai perla-wanan terhadap penafsiran yang disandarkan pada hermeneutika Al-Qur’an antar teks (intertextual). Menurut Rahman, dalam daftar kosa katanya, “fundamentalis” sejati adalah orang yang komitmen terhadap proyek rekonstruksi atau rethinking (pemikiran kembali).8 Ia menunjuk gerakkan Wahabi yang merupakan gerakan kebangkitan ortodoksi sebagai gerakan yang sering dicap sebagai fundamen-talisme. 9
David Sagiv mengatakan bahwa lebih dua dekade, slogan-slogan al-ushuliyah al-Islamiyah (akar Islam atau fundamentalisme Islam) telah menyihir berjuta-juta kaum muda di dunia Islam pada umumnya dan di Mesir, khususnya, disamping isti-lah-istilah lainnya seperti al-salafiyah (warisan leluhur), al-sahwah al-Islamiyah (kebangkitan Islam), al-ihya al-islami (kebangkit-an kembali Islam) atau al-badil al-islami (alternatif Islam).10
Robert N. Bellah, sosiolog Amerika yang terkenal itu meng-akui bahwa fundamentalisme mun-cul sebagai reaksi defensif terhadap rasa percaya diri kebudayaan Barat yang arogan, meskipun akar per-soalannya sebenaranya jauh lebih dalam lagi.11
Menurut Roger Geraudy fundamentalisme didefinisikan oleh kamus Larous kecil (1966 M) dengan cara yang umum sekali, yaitu: sikap mereka yang menolak menyesuaikan kepercayaan dengan kondisi-kondisi yang baru. Sedang-kan, kamus Larous saku (1979 M) hanya menerapkan istilah itu bagi Kristen Katolik saja, yaitu sikap pemikiran sebagian orang-orang
Katolik yang membenci untuk untuk menyesuaikan diri dengan kondisi kehidupan modern. Dalam kamus Larous besar (1984 M), tertulis fundamentalisme adalah “sikap stagnan dan membeku yang menolak seluruh pertumbuhan dan seluruh perkembangan.” Mazhab konservatif yang membeku dalam masalah keyakinan politik. Semen-tara, dalam kamus Larous tahun 1987 M, tertulis “sikap sebagian orang-orang Katolik yang menolak seluruh kemajuan, ketika mereka menisbatkan diri mereka kepada turats (warisan lama).” 12
Dalam pandangan Richard Nixon, mantan Presiden Amerika, bahwa orang-orang fundannetais (Islam) adalah:
a. Mereka yang digerakkan oleh kebencian mereka yang besar terhadap Barat,
b. Mereka yang bersikeras untuk mengembalikan peradaban Islam yang lalu dengan mem-bangkitkan masa lalu itu,
c. Mereka yang bertujuan untuk mengaplikasikan syariat Is-lam,
d. Mereka yang mengampanye-kan bahwa Islam adalah aga-ma dan negara, dan
e. Meskipun mereka melihat masa lalu, namun mereka menjadikan masa lalu itu sebagai penuntun bagi masa depan. Mereka bukan orang-
f.
orang konservatif, namun mereka adalah orang-orang revolusioner.13
Muhammad Imarah mengguna-kan kata ushuliyah untuk fun-damentalisme seperti dalam buku-nya Al-Ushuliyah Bain al-Gharbi wa al-Islam. Muhammad Imarah menemukan perbedaan yang jelas hingga secara diametral antara pe-mahaman dan pengertian istilah “fundamentalisme” seperti dikenal orang Kristen Barat, dengan pemahaman istilah ini dalam wa-risan pemikiran Islam, serta dalam aliran-aliran pemikiran Islam, baik masa lalu, modern, maupun kon-temporer.14
Kaum ushuliyun (funda-mentalis) di Barat adalah orang-orang kaku dan taklid yang me-musuhi akal, metafor, takwil, dan qiyas (analogi), serta menarik diri dari masa kini dan membatasi diri pada penafsiran literal nas-nas. Sementara kaum ushuliyun dalam peradaban Islam adalah para ulama ushul fiqih yang merupakan kelom-pok ulama yang paling menonjol dalam memberikan sumbangsih dalam kajian-kajian akal atau mereka adalah ahli penyimpulan hukum, istidlal, (pengambilan dalil), ijtihad, dan pembaharuan.15
Tokoh-tokoh yang biasa digo-longkan modernis dan neo-mo-dernis menggunakan istilah funda-mentalisme dengan nada yang berbau sinisme. Fazlur Rahman, misalnya menyebut kaum funda-mentalis sebagai “orang-orang yang dangkal dan superfisial”, “anti in-telektual” dan pemikirannya “ti-dak bersumberkan” Al-Qur’an dan budaya intelektual tradisional Islam.” 16
Akibat istilah yang digunakan oleh media massa, pengertian “kaum fundamentalis muslim” kini cenderung diartikan sebagai kelom-pok Islam yang berjuang mencapai tujuannya dengan meng-gunakan cara-cara kekerasan.” 17
Menurut Leonard Binder, sebagai aliran keagamaan “funda-mentalisme” adalah “aliran yang bercorak romatis kepada Islam periode awal.” Mereka berkeyakin-an bahwa doktrin Islam adalah lengkap, sempurna, dan mencakup segala persoalan. 18
Bagi Allan Taylor, Patrick Bannerman, Daniel Pipes, Bassam Tibi dan Bruce Lawrence, kaum fundamentalis adalah kelompok yang melakukan pendekatan rigid dan literalis. Menurut Bannerman, kaum fundamentalis adalah kelom-pok ortodoks yang bercorak rigid dan ta’ashub yang bercita-cita untuk menegakkan konsep-konsep keaga-maan dari abad ketujuh Ma-sehi, yaitu doktrin Islam dari zaman klasik.19
Karen Armstrong dalam The Battle for God mengatakan bahwa fundamentalisme merupakan gejala tiap agama dan kepercayaan, yang merepresentasikan pemberontakan terhadap modernitas. 20
Sementara Bassam Tibi, dalam buku The Challenge of Funda-mentalism: Political Islam and the New World Disorder (1998), me-mandang fundamentalisme Islam hanya salah satu jenis dari fe-nomena global yang baru dalam politik dunia, di mana isunya pada masing-masing kasus lebih pada ideologi politik.21 Kelompok ini berpendapat, Barat telah gagal dalam menata dunia. Karena itu, perlu diganti dengan tatanan baru berdasar interpretasi politik Islam versi mereka. 22
Pada pandangan Ahmad S Moussali dalam buku Moderate and Radical Islamic Fundamentalism: The Quest for Modernity, Legiti-macy, and the Islamic State (1999), menyebut, Islam fundamentalis sebagai manifestasi awal atas gerakan sosial masif yang meng-artikulasikan agama dan aspirasi peradaban dan mempertanyakan isu-isu di seputar moralitas teknologi, distribusi ala kapitalis, legitimasi non-negara, dan paradigma non-negara bangsa. Islam fundamentalis, lebih dari sekadar gerakan lokal. Ia beraksi dan bereaksi melingkupi negara-bangsa dan tatanan dunia. Ia mempersoalkan tak hanya isu dan aspirasi yang berdimensi lokal, tetapi juga regional dan universal. Funda-mentalisme itu sendiri bisa bersifat moderat dan radikal. Bagi Moussalli, "to radical fundamen-talism, tawhid becomes a jus-tification for the domination of others; to moderate fundamen-talism, it becomes a justification for not being dominated by others".23 (bagi fundamenatlisme radikal, menjadikan tauhid sebagai pem-benaran bagi pendominasian ter-hadap yang lain; (adapun) fun-damentalisme moderat, menjadikan tauhid bukan untuk mendominasi yang lain.
Kekerasan Atas Nama Agama
Dalam bukunya yang berjudul Kekerasan Agama Tanpa Agama, Thomas Santoso mengatakan bahwa menurut pendapat para ahli biologi, fisiologi, dan psikologi, manusia melakukan kekerasan karena kecenderungan bawaan (innate) atau sebagai konsekuensi dari kelainan genetik atau fisiologis. Kelompok pertama (ahli biologi) meneliti hu-bungan kekerasan dengan keadaan biologis manusia, namun mereka gagal memper-lihatkan faktor-faktor biologis sebagai penyebab keke-rasan. Juga belum ada bukti ilmiah yang me-nyimpulkan bahwa manu-sia dari pembawaannya memang suka kekerasan.24
Johan Galtung menunjukkan bentuk kekerasan tidak langsung, tidak tampak, statis serta memper-lihatkan stabilitas tertentu. Dengan demikian kekerasan tidak hanya dilakukan oleh aktor/kelompok ak-tor semata, tetapi juga oleh struk-tur seperti aparatus negara. 25
Berbeda dengan Galtung yang melihat struktur bersifat sistemik dan tunggal, kelompok Pos-Struk-turalis melihat struktur yang tidak sistemik dan lebih dari satu. Pe-mikir Pos-Strukturalis seperti Frank Graziano (1992), Jacques Derrida (1997), Samuel Weber (1997), James K.A. Smith (1998), Robert Hefner (1999) dan James T. Siegel (1999), mengembangkan perhatian pada kekerasan struktural yang berlainan dengan politik-agama.26
Graziano menjelaskan keterli-batan struktur negara lewat pelbagai cara, strategi dan tindak kekerasan, seraya secara munafik mengalihkan tanggung jawab ekses perbuatan tersebut kepada rakyat. Weber menguraikan kekerasan sebagai cara terstruktur untuk menunjukkan identitas diri dalam upaya penen-tuan nasib sendiri. Derrida me-nawarkan investigasi politik ter-hadap kekerasan “atas nama agama” atau “agama tanpa agama” sebagai bentuk kekerasan yang tidak terkendalikan yang menyertai “kem-balinya agama” dalam maknanya yang paling kaku. Hefner mengingatkan bahwa kekerasan bisa terjadi karena negara me-manfaatkan agama, atau bisa pula agama memanfaatkan negara. Sie-gel juga memperkuat dalil Derrida tentang “pembunuhan ganda” da-lam struktur masyarakat dan negara.27
Kelompok ketiga (ahli psiko-logi), menyebut kekerasan sebagai jejaring antara aktor dan struktur seperti dikemukakan Jeniffer Turpin & Lester R. Kurtz (1997). Asumsi dari kelompok ini menyatakan bahwa ialah konflik bersifat endemik bagi kehidupan masyarakat (konflik sebagai sesuatu yang ditentukan), ada sejumlah alat alter-natif untuk menyatakan/ menyam-paikan konflik sosial, untuk me-nyampaikan masalah kekerasan dengan efektif diperlukan perubah-an dalam organisasi sosial dan individu, masalah kekerasan meru-pakan salah satu masalah pokok dari kehidupan modern. 28
Dari ketiga kelompok penger-tian tentang kekerasan, kelompok pertama dan kedua cenderung mengkotak-kotakkan kajian keke-rasan. Kekerasan sebagai tindakan aktor menekankan aspek mikro dan mengabaikan aspek makro, serta pemfokusan pada bentuk kekerasan spesifik yang sering terbatas ruang dan waktunya. Sebaliknya keke-rasan sebagai produk dari struktur menekankan aspek makro dan me-ngabaikan aspek mikro, serta pem-fokusan pada bentuk kekerasan struktural yang sering meniadakan kompleksitas kekerasan spesifik. Oleh karena itu, kekerasan sebagai jejaring antara aktor dengan struktur yang menekankan pendekatan interdisipliner merupakan cara yang paling menjanjikan untuk me-mahami kekerasan secara holistik.29
Hal yang tidak kalah penting untuk diurai ialah ‘mengapa ke-kerasan politik-agama bisa terjadi?’ Seperti dinyatakan Gurr bahwa kekerasan politik dimulai dari diri aktor. Gurr menyatakan bahwa individu yang memberontak sebe-lumnya harus memiliki latar be-lakang situasi, seperti terjadinya ketidakadilan, munculnya kemarah-an moral, dan kemudian memberi respons dengan kemarahan pada sumber penyebab kemarahan ter-sebut. Selain itu, massa juga harus merasakan situasi konkret dan langsung yang menjadi pendorong ungkapan kemarahan mereka, se-hingga mereka bersedia menerima risiko yang berbahaya. 30
Kekerasan politik-agama dalam kerusuhan dipengaruhi secara ber-samaan oleh tekanan struktur sosial yang meghimpit mereka dalam ke-hidupan sehari-hari akibat perlaku-an yang tidak adil, tidak jujur, serta motivasi dan kepentingan pribadi yang bersangkutan. Akumulasi ke-marahan dan frustasi di tengah kehidupan sehari-hari, di samping emotional illiteracy (buta emosi) dan ketidakmampuan mengekspre-sikan emosi secara cerdas serta cara yang ditempuh ternyata tidak membuahkan hasil, telah dibelok-kan menjadi kekerasan massa (deflected aggression) terhadap sasaran-sasaran utama yang sudah ditentukan sebelumnya (precipita-ting factor).31
Kesadaran akan konflik terkait dengn seberapa parah tingkat pen-deritaan suatu komunitas dibanding kelompok lainnya, ketegasan iden-titas kelompok (tingkat penderitaan, tingkat perbedaan kultural, dan intensitas konflik), derajat kohesi dan mobilisasi kelompok, serta kon-trol represif oleh kelompok domi-nan. Perasaan bahwa kelompok agamanya dipinggirkan oleh kelom-pok agama lain juga menimbulkan radikalisasi agama. Persoalan pri-badi yang sepele dapat merebak menjadi konflik antar agama atau suku. 32
Agama semestinya tidak me-nimbulkan kekerasan. Namun fakta menunjukkan bahwa agama dapat menimbukan kekerasan apabila ber-hubungan dengan faktor lain, misal kepentingan kelompok/nasional atau penindasan politik. Agama dapat disalahgunakan dan disalah-arahkan baik dari sisi eksternal maupun internal. Dari sisi eksternal, agama profetik (kenabian) seperti Islam dan Kristen, cenderung me-lakukan kekerasan segera setelah identitas mereka terancam. Dari sisi internal, agama profetik cenderung melakukan kekerasan karena me-rasa yakin tindakannya berdasar kehendak Tuhan. Oleh karena itu, pemahaman agama atau bagai-amana agama diinterpretasi meru-pakan salah satu alasan yang mendasari kekerasan politik-agama.
Politik–agama yang banyak terjadi di negara yang baru mer-deka, yang berjuang untuk me-nentukan identitas nasionalnya dan adanya kelompok minoritas yang menegaskan hak-haknya, meng-akibatkan agama memainkan peran yang lebih besar. Lituania, Arme-nia, dan Azerbaijan adalah beberapa contoh di antaranya. Penguasa menganggap kekerasan, teror dan otoritas mutlak sebagai hak pre-rogatif yang tidak bisa dipisahkan dari kekuasaan. Agama telah dima-nipulasi untuk kepentingan politik sebagai upaya untuk membebaskan dirinya dari kewajiban moral jika merasa eksistensinya terancam. Kekerasan telah dibingkai “agama” sebagai ekspresi keinginan untuk menetralisir dosa. Kekerasan dilegi-timasi oleh negara untuk mem-pertahakan kekuasaan. Merebaknya kekerasan pada masa Orde Baru dengan munculnya kelompok-ke-lompok Islam radikal, peristiwa pembantaian Tanjung Priok, pe-rusakan tempat ibadah merupakan rekayasa pemerintah untuk memar-ginalkan kelompok Islam dan untuk mempertahakan kekuasaan. Dengan demikian, munculnya kelompok-ke-lompok Islam radikal lebih di-sebabkan oleh kepentingan-kepen-tingan kelompok tertentu dengan menggunakan agama sebagai alat legitimasi.33
Kekerasan juga sering diiden-tikkan dengan terorisme yang me-ngandung arti menakut-nakuti. Kata tersebut berasal dari bahasa Latin
terrere (“menyebabkan ketakutan”), dan digunakan secara umum dalam pengertian politik sebagai serangan terhadap tatanan sipil selama Rejim Teror pada masa Revolusi Perancis akhir abad XVIII. Dalam hal ini, respons publik terhadap kekerasan sebagai akibat yang ditimbulkan oleh terorisme—merupakan bagian dari makna istilah tersebut. Madeline Albright, membuat daftar tiga puluh organisasi teroris dunia yang paling berbahaya, lebih dari setengahnya bersifat keagamaan. Mereka terdiri dari kaum Yahudi, muslim, dan Buddhis. Warren Christopher, menyatakan bahwa aksi-aksi teroris agama dan identitas etnis telah menjadi “salah satu tantangan keamanan terpenting yang kita hadapi dalam kaitan dengan bangkitnya Perang Dingin.”34
Salah satu persoalan yang “mengganggu” beberapa analis sarjana agama—di antaranya Emile Durkheim, Marcel Muss, dan Sigmund Freud, adalah mengapa agama tampaknya “memerlukan” kekerasan dan kekerasan agama, dan mengapa “mandat” tuhan untuk melakukan perusakan diterima dengan keyakinan yangs sedemi-kian rupa oleh sebagian orang beriman.
Menurut Francois Houtart, Dalam kenyataannya akar keke-rasan bisa ditemukan langsung dalam agama, dan bahwa karena itulah maka agama bisa dengan mudah menjadi kendaraan bagi tendensi kekerasan.35
Unsur pengorbanan merupakan hal penting dalam kebanyakan agama. Teori-teori Girard tentang hal ini sudah demikian terkenal memberi perhatian pada sifat fundamental kekerasan dan peran pengorbanan sebagai suatu cara melarikan diri dari kekerasan. Di sini pengorbanan menjadi sesuatu yang semakin ritual, yang meng-hasilkan kekerasan simbolik. 36
Pertentangan antara yang baik dan jahat adalah sumber lain ke-kerasan yang sangat terkait dengan agama. Hal ini banyak dipaparkan dalam Kitab Suci, baik Perjanjian Baru maupun Perjanjian Lama. Identifikasi terhadap kebaikan telah membenarkan banyak kekerasan dalam sejarah dari semua agama, dalam sejarah melawan penjajah, melalui penindasan internal heretik dan inquisisi.37
Bila menyentuh sistem-sistem agama besar maka kita akan me-nemukan jejak yang sama. Naskah-naskah landasan agama mencer-minkan ritualisasi kekerasan, peng-gunaan kekerasan untuk mencapai kebaikan tertinggi dan kebutuhan akan kekerasan dalam memper-tahankan iman, bersamaan dengan regulasi etis kekerasan tidak sah, semuanya bertujuan mencapai per-damaian tertinggi.38
Karena itu Hinduisme tidak bisa begitu saja direduksikan menjadi ahimsa (kekerasan), seba-gaimana yang diyakini selama ini. Rig Vedas menawarkan pespektif yang berbeda terutama dalam hubungan dengan pengorbanan. Para raja, meminta para dewa agar memberikan kemenangan peperangan, dan Baghavadgita menilai bahwa mem-bunuh dalam perang dianggap sah, karena jiwa tidak akan mati. Dalam ambivalensi Hinduisme kita me-nemukan suatu tempat penting bagi Kali, Dewi Kehancuran. Sebagaimana dalam usaha pertahanan yang dilakukan Hindutva, yang memiliki wujud politiknya dalam Baratya Janaty Party, dalam kondisi sekarang menunjukkan bahwa perjuangan tanpa kekerasan bukan menjadi pilihannya.39
Buddhisme memiliki reputasi terbaik, karena ia memberi pene-kanan lebih pada ahimsa dan semangat cinta kasih. Dalam pem-bahasan menyangkut etika, Buddhisme menekankan niatnya. Melakukan kekerasan untuk me-lawan kekerasan dengan demikian bukan tujuannya, meskipun ke-kerasan sesunguhnya tidak dicari. Tidak terkecuali dengan Islam, yang memberi penekanan lebih besar pada keadilan daripada cinta kasih, sebagaimana yang diungkap-kan Ali Mazrui. Islam menawarkan sedikit pertahanan atas kecenderungan ke-lompok tertentu untuk melakukan atribut-atribut keadilan ini dalam penggunaan kekerasan.40
Dalam Yudaisme, Andre Wening menyatakan: “Tidak satu-pun kekerasan manusia yang ter-lepas dari Kitab Suci. Atau dengan kata lain, Tuhan secara konstan terlibat di dalamnya, dan sering kali sebagai pelakunya.” Kekerasan paling banyak terjadi di zaman penantian Mesias. Kitab Keluaran mengatakan bahwa Tuhan adalah ksatria dan bahwa intervensi Tuhan justru menimbulkan kehancuran yang dasyat ? Kekristenan, yang memiliki sumber yang sama, me-miliki kultur agama yang sama, sehingga ia tidak diragukan melakukan perang suci dan perang salib. 41
Contoh kontemporer yang paling menonjol menyangkut per-soalan agama dan kekerasan adalah konflik antara Israel dan Palestina. Agama hanya menjadi sebagian faktor relevan bagi kedua pihak, tetapi secara numerik dan sosial agama merupakan faktor penting. Bagi kedua pihak argumen agama merupakan hal penting. Setiap o-rang memiliki argumennya masing-masing, tetapi masing-masing me-reka percaya bahwa mereka berjuang atas nama Tuhan. 42
Perjuangan di beberapa negara seperti Aljazair, Iran, Sudan, Mesir sampai Arab Saudi dilakukan khususnya atas nama Islam, karena Islam merupakan nilai utama dalam menghadapi disintegrasi sosial masyarakat tradisional, kehilangan eksistensinya, dan penegakan adat baru yang menimbulkan kehilangan orientasi. Gerakan-gerakan kaum ekstremis melakukan rekrutmen dari antara kelompok-kelompok yang paling rentan dalam ma-syarakat, khususnya dari kalangan muda yang belum memiliki masa depan. 43
Menurut Max Weber dalam The Sociology of Religion, pengorbanan manusia dengan harapan-harapan keduniawian didorong oleh magis-me atau religiusme. Dengan kata lain, pengorbanan yang dilakukan oleh manusia “yang mengandung unsur kekerasan itu diperintah oleh agama atau magis.”44
Kekerasan agama sering disebut juga dengan radikalisme agama. Secara etimologis, radikalisme ber-asal dari kata radix, yang berarti akar. Orang-orang radikal adalah seseorang yang menginginkan per-ubahan terhadap situasi yang ada dengan menjebol sampai ke akar-akarnya. 45
Secara sosiologis radikalisme kerap muncul ketika masyarakat mengalami anomi atau kesenjangan antara nilai-nilai dengan penga-laman, dan para warga masyarakat merasa tidak mempunyai lagi daya untuk mengatasi kesenjangan itu, sehingga radikalisme dapat muncul ke permukaan. Tentu banyak faktor yang mendorong munculnya radi-kalisme. Sosiolog Max Rudd meng-ingatkan bahwa fungsi politik yang konfrontatif dapat mendorong pro-ses radikalisme. Weber melihat radikalisme dalam konteks politik massa. Kapitalime yang mula-mula begitu optimis terhadap masa depan manusia, kemudian telah menim-bulkan suasana rutinitas-ritualistis, yang sangat monoton dan fatalisme, dan telah menyeret manusia ke penjara besi (iron cage) yang tanpa jiwa, tanpa nurani. Kapitalisme telah menyebabkan manusia ter-alienasi (terasing)--meminjam isti-lah Marx-- dan mendorong godaan radikalisme sebagai solusi utopis. Pudarnya ikatan kelompok primer dan komunitas lokal, tergusurnya ikatan parokial menurut Daniel Bell dalam The End of Ideology juga dapat mendorong munculnya radi-kalisme. Sedangkan dalam istilah Sigmund Freud, yang dapat men-dorong munculnya gagasan radikalisme adalah apa yang dia sebut sebagai melancholia, yaitu kejengkelan mendalam yang me-nyakitkan (a profoundly painful dejection).
Dalam hal radikalisme dan terorisme semua umat beragama memiliki “prestasi” yang cukup tinggi. Bahkan bagi pemimpin Israel seperti David Ben Gurion, Golda Meir, Menachem Begin dan Ariel Sharon, seperti dikatakan Amien Rais, ketiga-tiganya adalah teroris-teroris kelas satu dan bagi para pemimpin Israel itu, terorisme tampaknya telah mejadi bagian integral kehidupan mereka. 46
Menurut Marx Juergensmeyer, yang lebih sering mendorong terjadinya aksi-aksi terorisme ada-lah agama—kadang-kadang melalui suatu perpaduan dengan faktor-faktor lain, yang tidak jarang sebagai motivasi utama. Anggapan umum yang menyatakan bahwa telah terjadi kebangkitan kekerasan agama di seluruh dunia pada dekade terakhir abad XX dibenarkan oleh mereka yang menyimpan catatan-catatan seperti ini. Waren Christopher, menyatakan bahwa aksi-aksi teroris agama dan identitas etnis menjadi ‘salah satu tantangan keamanan terpenting yang kita hadapi dalam kaitan dengan bang-kitnya Perang Dingin.’ 47
James Turner Johnson meng-gambarkan secara gamblang, pe-rang suci bagi penganut pelbagai agama sering dimaknai sebagai perang yang dilakukan atas perintah Tuhan. Bahkan, menurut dia, ada keyakinan yang membentuk kesa-daran kognitif bahwa perang suci adalah perang yang dilakukan Tu-han sendiri. Dalam tradisi Kristiani dan Yahudi, perang suci adalah keterlibatan Tuhan dalam perang. 48
Pemahaman literal terhadap doktrin-doktrin keagamaan mendo-rong pada kekerasan dalam pelbagai bentuknya, baik secara struktural maupun kultural. Doktrin agama dan negara (al-din wa al-dawlah) misalnya, bagi sebagian kalangan senantiasa digunakan untuk me-renggut kekuasaan dengan peran-tara kekerasan. Pemikir muslim, seperti Abid al-Jabiry (1994), melihat peristiwa itu sebagai awal sakralisasi kekerasan guna men-dapatkan otoritas politik. Kekerasan dan ambisi politik ibarat dua sisi mata uang logam yang tak bisa dipisahkan. Kekerasan yang dipra-karsai Israel juga tak luput dari ambisi politik untuk menguasai wilayah Palestina.49
Zuhairi Misrawi, peneliti P3M itu mengatakan bahwa diskursus keagamaan harus mampu melaku-kan terobosan-terobosan baru guna mendekontekstualisasi kekerasan, seperti doktrin perang suci atau jihad, yang kerap dijadikan justi-fikasi untuk menghalalkan keke-rasan. 50
Banyak orang yang tidak se-pakat bila agama atau Tuhan memerintah pemeluknya berbuat kekerasan. Menurut pendapat ini, agama tidak mengandung unsur kekerasan justru mengajarkan per-damaian dan hidup baik. Kekerasan atau pembunuhan adalah masalah oknum-oknum yang menyalah-gunakan agama untuk kepentingan sendiri atau kelompok. Sering orang menuduh aspek politik dan ideologi yang telah mengotori agama. Agama menempati tempat yang suci yang merupakan entitas di luar manusia.51
Ajaran agama di negara-negara berkembang, masih amat potensial sebagai sumber tindakan praktis dalam hubungan antara individu dan kelompok. Oleh sebab itu ia menjadi dasar terbentuknya apa yang disebut Donald E. Smith, “Religio political system”, atau menurut Clifford Geertz “Religions mindedness”, yakni suatu proses tercapainya ideologisasi agama. Pada saat ini, secara nyata agama memiliki kekuatan potensial untuk pembakar fanatisme yang akan mengobarkan pergolakan dan ke-kerasan yang meletus di kala ada kesempatan. Agama dengan posisi itu, mempunyai fungsi ganda, yakni sebagai pembentuk integritas dan pembentuk konfik-konflik kekeras-an.52
Kemungkinan penyalahgunaan agama untuk kepentingan pribadi dan kelompok itu, terkadang se-ring dikomentari masyarakat secara sinis. Tindakan yang dilakukan oleh laskar-laskar yang mengatasnama-kan Islam yang bertindak menutup tempat-tempat yang dianggap tempat maksiat seperti kasus yang terjadi di Jakarta atau beberapa kota lainnya sering mengundang ko-mentar antipati. Meskipun kita tidak tahu persis apa motivasi mereka, boleh jadi tindakan yang dilakukan sekelompok laskar Muslim itu di-dorong oleh motivasi murni ke-agamaan atau boleh jadi karena kepentingan pribadi atau kelom-poknya. Yang jelas tindakan mem-basmi kemungkaran dengan keke-rasan itu kerap mengundang ko-mentar negatif dari masyarakat. 53
Menghentikan Kekerasan Atas Nama Agama
Ada beberapa cara untuk mengakhiri kekerasan seperti dita-warkan oleh Marx Juergensmeyer dalam bukunya Terror in The Mind of God: The Global Rise of Religious Violence.54
Skenario pertama merupakan salah sau dari solusi yang dilakukan melalui kekuatan. Ia meliputi con-toh-contoh yang di dalamnya tero-ris-teroris dibinasakan atau diken-dalikan dengan jalan kekerasan. Cara yang dianggap solusi ini pada kenyataannya bukan solusi yang baik, karena setiap kekerasan yang
dihadapi kekerasan akan menim-bulkan kekerasan baru. Ini-lah yang dilakukan oleh Amerika ketika mendeklarasikan perang total me-lawan terorisme agama dan me-laksanakannya selama bertahun-tahun.
Skenerio kedua seperti dita-warkan Marx Juergensmeyer adalah dalam bentuk ancaman pembalasan dengan kekerasan atau pemenjaraan untuk menakut-nakuti aktivis-akti-vis keagamaan sehingga mereka ragu-ragu untuk beraksi. Cara ini pun dianggap tidak efektif, karena meski para aktivis itu diancam atau dipenjara, bahkan dibunuh sekali-pun tidak akan berpengaruh ter-hadap para aktivis keagamaan lainnya.
Skenario ketiga adalah dengan melakukan kompromi atau nego-siasi dengan para aktivis yang terlibat dalam terorisme. Cara ini pun seperti dikatakan oleh Marx Juergensmeyer sendiri merupakan penyelasaian yang tidak selalu ber-hasil. Beberapa aktivis barangkali menjadi lunak, tapi yang lain men-jadi marah dikarenakan apa yang mereka sebut sebagai penjualan prinsip. Kasus Arafat dan Hamas merupakan contoh dalam skenario ini. Setiap upaya kompromi yang dilakukan sekelompok aktivis Palestina akan membuat marah ke-lompok lainnya.
Skenario keempat pemisahan agama dari politik dan kembali pada landasan-landasan moral dan metafsikal. Politisasi agama dapat dipecahkan melalui sekulerisasi. Solusi seperti ini telah dilakukan di beberapa negara di dunia ini, namun nampaknya belum menunjukkan keberhasilan alih-alih malah me-nimbulkan reaksi keras dari aktivis-aktivis keagamaan yang kadarnya semakin tinggi.
Skenario kelima adalah solusi-solusi yang mengharuskan pihak-pihak yang saling bertikai untuk, paling tidak pada tataran minimal, menyerukan adanya saling percaya dan saling menghormati. Hal ini ditingkatkan dan kemungkinan-ke-mungkinan ke arah penyelesaian dengan jalan kompromi semakin menguat ketika aktivis-aktivis ke-agamaan memandang otorits-oto-ritas pemerintahan memiliki inte-gritas moral yang sesuai dengan, atau mengakomodir, nilai-nilai aga-ma. Hal ini, karena, merupakan cara penyelesaian yan kelima, ketika otoritas-otoritas sekuluer berpegang pada nilai-nilai moral, termasuk di dalamnya yang diasosiasikan de-ngan agama.
Menurut Marx Jurgensmeyer, sangat menyedihkan bahwa peme-rintah-pemerintah dari bangsa-bangsa modern begitu sering dipan-dang mengalami kebobrokan moral dan kehampaan spiritual sejak konsep-konsep pencerahan yang memunculkan negara-negara mo-dern dicirikan dengan sebuah semangat moralistik yang begitu besar. Jean-Jecques Rousseau menggunakan term agama sipil untuk menggambarkan apa yang dia sebut sebagai landasan moral dan spiritual yang esensial bagi ma-syarakat modern yang ingin menopang sebuah tatanan politik yang kokoh. “Agama” Rousseau ini tidak didasarkan pada dogma-dogma agama”, tapi pada apa yang dsebut “kesucian kontrak sosial”.
Basam Tibi dalam bukunya The Challenge of Fundamentalism menawarkan solusi untuk mencegah fundamentalisme dengan menegak-kan demokrasi sekuler dan HAM (that alternative is a based on seculer democracy and human right).54 Baragkali solusi tambahan namun teramat penting untuk menghentikan fundamentalisme dan kekerasan agama adalah dengan menghentikan segala bentuk penin-dasan, menegakkan hak asasi tanpa pandang bulu, memberikan keke-basan kepada bangsa-bangsa ter-jajah, menumbuhkan sikap saling menghargai dan saling meng-hormati berdasarkan prinsip saling menghargai dan saling meng-hormati dalam pergaulan antar bangsa dalam suasana yang penuh persamaan dan persaudaraan.
Bila hal tersebut dilaksanakan secara konisten, maka fundamen-talisme dan kekerasan agama tidak akan muncul, tidak akan menjadi sesuatu yang jauh lebih berbahaya seperti dikatakan Basam Tibi (Islamic fundamentalism are more dangorous) atau dianggap lebih berbahaya dari narkoba seperti dikatakan Nurcholish Madjid, se-hingga perlu untuk melawannya seperti juga dikatakan oleh H.A.R. Gibb.55
Ajaran agama mengajarkan solusi yang paling maslahat dalam mencegah terjadinya kerusakan, yaitu dengan cara-cara yang arif, bijaksana dan damai, kecuali dengan sangat terpaksa harus menggunakan cara kekerasan, itupun tidak diperbolehkan melampaui b-tas (la ta’tadu). Solusi yang ditawarkan adalah berdasarkan kai-dah fiqih (qowa’id al-fiqhiyah) yang menyatakan al-dhororu la yuzalu bi al-dhororo “kerusakan itu tidak bisa dihilangkan dengan kerusakan yang lain”.56
Harus disadari pula agar masyarakat atau siapapun tidak me-mulai dan melestarikan kerusakan serta tindakan-tindakan amo-ral yang dapat mendorong bang-kitnya radikalisme agama. Karena bila tempat-tempat kemaksiatan me-rajalela, maka akan mendorong munculnya tindakan main hakim sendiri denga memakai label agama. Tindakan main hakim dengan memakai label agama sangat sulit dikontrol, dan apakah itu betul-betul demi menghilangkan maksiat atau ada tujuan yang bersifat kepntingan pribadi atau kepentingan bisnis.
Tidak bisa dipungkiri bahwa tindakan kekerasan kerap terjadi dan itu dilakukan oleh orang-orang yang menggunakan label Islam. Namun apakah Islam memerintahkan peme-luknya untuk ber-buat kekerasan, membunuh tanpa alasan yang benar atau menghancurkan gedung, me-rampok penganut agama lain ? Faraj Fuda menjawab bahwa Islam sama sekali tidak memiliki hu-bungan dengan fakta bahwa satu-satunya cara yang ditempuh oleh anggota Organisasi Jihad agar dapat mem-peroleh bantuan finansial adalah menyerang toko-toko perhiasan milik orang-orang Koptik, mem-bunuh mereka dan mencuri harta kekayaan mereka. 57
Hasan Hanafi, seorang pemikir Arab kontemporer menjelaskan bahwa dunia Arab dan Islam tidak dapat dikambinghitamkan sebagai sumber permasalahan dalam dialek-tika kekerasan dan anti-kekerasan. Kekerasan juga terjadi di India, Srilanka, Afrika Selatan, Afrika Utara (Ethiopia dan somalia), Spanyol, dan Amerika Latin (Nikaragua)….Dialektika kekerasan dan anti-kekerasan merupakan deskripsi umum dari sebuah proses yang terjadi di banyak tempat, tidak hanya terbatas di dunia Arab dan Islam. Jika kekerasan hanya dihu-bungkan dengan salah satu tempat, maka hal itu hanyalah karena ada-nya ketertekanan masyarakat di dalamnya dan adanya kekuatan besar yang menekan mereka. Ana-lisis terhadap permasalahan ini tidak tepat dijadikan dasar gam-baran penetapan hukum.58
Dalam wawancara dengan Jurnal al-Musawar mengenai usaha pembunuhan terhadap Makram Muhammad Ahmad, Hasan Abu Basya, Nabawi Ismail dan lain-lain, Khalid Muhammad Khalid mem-berikan tanggapan yang patut juga direnungkan sebagai berikut:
Islam tidak menerima pem-bunuhan, yang diklasifikasikan se-bagai kejahatan yang paling buruk, bukan hanya terhadap warga negara Muslim, tetapi juga terhadap orang-orang Kristen. Demikian pula ketidakadilan, sama sekali tidak di-terima dalam Islam. Ketika kita mengikuti ayat-ayat Al-Qur’an dan ajaran-ajaran Nabi, maka kita tidak boleh menyimpangkan kebenaran ini. Catat bagaimana Rasulullah me-larang seseorang melewati sekelompok orang dengan pedang yang ujungnya terhunus. Di sini pencegahan lebih disukai ketimbang penyembuhan….Catat sabdanya, “Barangsiapa menyakiti orang dzimmi atau seorang seorang sekutu, ia tidak lagi dilindungi oleh Allah atau Muhammad.” Kalau sekedar melukai seorang Muslim atau Kristen adalah dosa dalam Islam, sehingga betapa besarnya dosa membunuh, menyebarkan teror dan anarki (kekerasan-YH) di tengah-tengah masyarakat…Tahukah Anda bahwa Muawiyah menolak hak menjadi khalifah bagi orang yang memang berhak, yaitu Imam Ali, dengan cara menolak otoritasnya, sehingga me-nyebabkan perang saudara.59
Kesimpulan
Sebagai masyarakat beragama (religious society), kita sering diguncang dengan banyaknya peris-tiwa yang sentimentil, rasial, collective violence dengan upaya-upaya mengail di “air keruh” sehingga tampaknya bermuatan ke-agamaan.60 Ada fenomena para-doksal keberagamaan ummat, baik pada level elite politik maupun massa bawah (grass root).61 Suasana paradoks ini sering terjadi, di satu sisi agama mengajarkan nilai-nilai kebajikan yang luhur dan anti-kekerasan kepada umatnya, namun pada wajah lain agama se-ring mengiringi kehidupan manusia dengan wajah tidak bersahabat. Wajah agama (umat beragama) yang tidak bersahabat ini sering dialamatkan kepada kelompok keagamaan yang dicap fundamen-talisme.
Munculnya fundamentalisme dilatarbelakangi oleh berbagai fak-tor yang sangat kompleks dan pelik, yang tidak semata-mata murni bersifat keagamaan, namun ber-kaitan dengan kepentingan politik, ekonomi, sosial dan idiologis.
Menghentikan kekerasan atas nama agama harus menjadi komitmen kita bersama baik secara individu maupun institusi. Upaya mempolitisasi agama harus dihen-tikan dan kembalikan fungsi agama sesuai porsinya, yakni untuk mewujudkan kemaslahatan hidup manusia. Dalam upaya menem-patkan Islam pada fungsinya, yakni menciptakan perdamaian umat ma-nusia, maka kita nyatakan bahwah: Islam, Yes. Politisasi Islam, No.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar