Gallery

Gallery
Asia Leader Forum di Jepang

Jumat, 04 Maret 2011

Jurnal Maslahah 2010

Dimensi Kemaslahatan dalam Larangan Jual Beli Gharar
Suprihatin

Pendahuluan
Islam adalah agama yang se-lalu memperhatikan berbagai maslahat dan menghilangkan se-gala bentuk madharat di dunia dan di akhirat. Dalam pembahasan ushul fikih, kemaslahatan memiliki relevansi dengan maqashid asy-Syar’i. Hal ini dapat dilihat dari pendapat asy-Syatibi, yang menya-takan bahwa kemaslahatan um-mat merupakan tujuan utama di-tetapkannya syariat. Beberapa ayat yang memberikan legitimasi pada kemaslahatan sebagai ma-qashid asy-Syar’i diantaranya ada-lah surat al-Maidah ayat 6 dan an-Nisa’ ayat 165 sebagai berikut :
                                                                
“Hai orang-orang yang beriman, apa-bila kamu hendak mengerjakan sha-lat, Maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub Maka mandilah, dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, Maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. Allah tidak hendak menyulitkan kamu, teta-pi dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur.” (Q.s. Al-Maidah [5]:6).
     ••          

“(mereka kami utus) selaku rasul-rasul pembawa berita gembira dan pem-beri peringatan agar supaya tidak ada alasan bagi manusia membantah Allah sesudah diutusnya rasul-rasul itu. dan adalah Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana” (Q.s. An Nisa [4]:165).
Dari ayat-ayat di atas Nampak jelas bahwa hukum-hukum Allah mengandung kemaslahatan bagi ummatnya, dalam hal ini ter-masuk hukum-hukum Allah yang berkaitan dengan jual beli. Al-Qur’an memberikan perhatian pada jual beli dalam bentuk kebolehan dan larangan. Kebo-lehan jual beli dapat kita lihat dalam surat surat al-Baqarah ayat 275 sebagai berikut :

                      •                       •     
“Orang-orang yang makan (mengam-bil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kema-sukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan me-reka Berkata (berpendapat), Sesung-guhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah Telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. orang-orang yang Telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), Maka baginya apa yang Telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. orang yang kembali (mengambil riba), Maka orang itu adalah peng-huni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya”.
Sementara larangan jual beli diantaranya ada pada surat al-Jumu’ah ayat 9 sebagai berikut:
                      
“Hai orang-orang beriman, apabila di-seru untuk menunaikan shalat Jum'at, Maka bersegeralah kamu kepada me-ngingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. yang demikian itu lebih baik ba-gimu jika kamu Mengetahui”.
Larangan jual beli tidak saja dikaitkan dengan waktu ibadah tetapi diantaranya juga menyang-kut larangan jual beli yang me-ngandung unsur gharar. Hal ini dijelaskan dalam dalam sebuah hadits sebagai berikut:
عن ابي هريرة قال : نهي رسولالله صلي الله عليه وسلم عن بيع الحصاة و عن بيع الغرر
Diriwayatkan dari Abi Hurai-rah Bahwa Rasulullah saw mela-rang transaksi al-Hashah (dengan melempar batu) dan transaksi al-gharar.
Larangan praktik jual beli ghoror di atas jika diukur dengan teori maqashid al-syariah, dida-lamnya tentu mengandung di-mensi kemaslahatan. Namun ke-maslahatan seperti apa yang dikehendaki dalam larangan jual beli gharar, kami belum banyak mengetahuinya. Oleh karena hal itu dalam makalah ini kami memberanikan diri mengkaji “Di-mensi Kemaslahatan yang ter-dapat dalam larangan jual beli gharar”.

Landasan Teori
1. Garis Besar konsep Ke-maslahatan
Kata maslahah (مصلحة) secara etimologi berasal dari kata اصلح, يصلح , اصلا حا \ مصلحة yang berarti mendatangkan kebaikan. Di dalam al-Qur’an banyak terdapat perkataan yang menggunakan akar kata ini, diantaranya ialah dalam surat al-Baqarah ayat 220 sebagai berikut:
                            •   
“Tentang dunia dan akhirat. dan mereka bertanya kepadamu tentang anak yatim, katakalah: "Mengurus urusan mereka secara patut adalah baik, dan jika kamu bergaul dengan mereka, Maka mereka adalah sau-daramu; dan Allah mengetahui siapa yang membuat kerusakan dari yang mengadakan perbaikan. dan Jikalau Allah menghendaki, niscaya dia dapat mendatangkan kesulitan kepadamu. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.

Pengertian maslahat secara terminology adalah mengambil manfaat dan menolak yang me-nimbulkan madorot. Maslahat merupakan tujuan yang dikehen-daki oleh Allah Swt. melalui hukum-hukum yang ditetapkan-Nya dalam al-Qur’an dan al-Hadis. Tujuan tersebut mencakup 6 (enam) hal pokok, yaitu perlin-dungan terhadap agama, perlin-dungan terhadap jiwa, perlin-dungan terhadap akal budi, perlindungan terhadap keturunan, perlindungan terhadap kehor-matan diri, dan perlindungan ter-hadap harta kekayaan.
Ditinjau dari adanya kebutuh-an atau kepentingan manusia, maslahat terdiri dari beberapa ting-katan, yakni darûriyyât, hâji-yyât dan tahsîniyyât. Sesuatu yang mampu menjamin eksistensi ma-sing-masing dari keenam tujuan pokok di atas merupakan mas-lahat pada tingkat darûriyyât. Se-suatu yang mampu memberi kemudahan dan dukungan bagi penjaminan eksistensi masing-ma-sing dari keenam hal pokok itu merupakan maslahat pada tingkat hâjiyyât. Sesuatu yang mampu memberi keindahan, kesempur-naan, keoptimalan bagi penja-minan eksistensi masing-masing dari keenam hal pokok itu me-rupakan maslahat pada tingkat tahsîniyyât.
Di dalam maslahat itu ter-kandung 2 (dua) unsur yang ber-sifat simultan, yakni dapat mewujudkan sesuatu yang ber-manfaat/baik atau yang mem-bawa kemanfaatan/kebaikan, dan dapat mencegah serta menghi-langkan sesuatu yang negatif-destruktif atau yang membawa kerusakan/mudarat.
Kemaslahatan juga menyang-kut kepentingan individual/ter-batas (al-maslahah al-khâssah) dan kepentingan umum/masya-rakat luas (al-maslahah al-‘âm-mah), dengan pemberian prioritas kepada kepentingan umum/ma-syarakat luas.
Disamping itu, kemaslahatan juga memiliki tiga dimensi. Per-tama, kemaslahatan yang legali-tasnya diakui oleh syara’. Kedua, maslahah yang legalitasnya jelas ditolak oleh syara’. ketiga, masla-hah yang legalitasnya didiamkan oleh syara’. Dimensi kemasla-hatan yang memiliki legalitas dari nash, terdapat pada kebolehan dan larangan jual beli.
Secara implementatif, terda-pat tiga cara dalam mengungkap kemaslahatan yang terdapat da-lam maqashid asy-Syar’i. Perta-ma, melakukan penelaahan pada lafal al-amr dan al-Nahy yang terdapat dalam al-Qur’an maupun al-Hadits secara jelas sebelum dikaitkan dengan permaslahan-permasalahan yang lain. Cara pertama ini memerlukan kepa-tuhan pada ketentuan yang ada dalam nas. Kedua, dengan cara penelaahan illah al-amr dan al-nahy. Ketiga, dengan cara analisis terhadap sikap diam al-syaari’ dari pensyariatan sesuatu. Dengan de-mikian, upaya penetapan mas-lahat harus mengacu kepada ketentuan nas sehingga tidak terjadi penetapan hukum mas-lahat yang kontradiktif dengan nas.

2. Garis Besar Konsep Gharar Dalam Hukum Islam
1. Pengertian Gharar
Dalam kata gharar terdapat kontasi adanya sesuatu yang membahayakan dalam suatu per-buatan bagi manusia. Para Ulama sepakat bahwa dalam istilah gha-rar terdapat sesatu yang tidak pasti atau spekulatif dalam menerima suatu konsekuaensi, utamanya dalam hal jual beli. Adanya unsur bahaya dan tidak adanya kejelasan konsekuensi inilah yang menjadikan alasan adanya keharaman gharar dalam jual beli. Sebab dalam jual beli harus terjadi tukar menukar harta dan diakhiri dengan adanya pemindahan hak milik secara su-karela. Situasi kerelaan akan terjadi jika masing-masing pihak mendapatkan apa yang diingin-kannya dengan syarat atau pun tidak. Gharar secara bahasa berarti khatr (resiko, bahaya). Gharar dalam terminologi para ulama fiqh memiliki beragam difinisi.
Gharar yang meliputi dalam hal yang tidak diketahui penca-paian tujuandan juga atas sesuatu yang majhul (tidak diketahui). Contoh dari definisi ini adalah yang dipaparkan oleh Imam Sarkhasi: “gharar adalah sesuatu yang akibatnya tidak dapat diprediksi. Ini adalah pendapat mayoritas ulama fiqh. Menurut Sarakhsi :Gharar terjadi dimana konsekuensi (dari sebuah transak-si) tidak diketahhui
Gharar dibatasi dengan se-suatu yang majhul (tidak dike-tahui), dan tidak termasuk di dalamnya unsur keraguan dalam pencapaiannya. Definisi ini adalah pendapat murni mazhab Dhahiri. Ibn Hazm mengatakan “unsur gharar dalam transaksi bisnis jual beli adalah sesuatu yang tidak diketahui oleh pembeli apa yang ia beli dan penjual apa yang ia jual.
Gharar dikategorikan dan dibatasi terhadap sesuatu yang tidak dapat diketahui antara tercapai dan tidaknya suatu tuju-an, Seperti definisi yang dipapar-kan oleh Ibn Abidin yaitu, “gharar adalah keraguan atas wujud fisik dari obyek transaksi”.
Dari beberapa definisi di atas dapat diambil pengertian, yang dimaksud jual beli gharar adalah, semua jual beli yang mengandung ketidakjelasan, seperti pertaruhan atau perjudian karena tidak dapat dipastikan jumlah dan ukurannya atau tidak mungkin diserahterima-kan.
Adapun larangan jual beli gharar disandarakan pada hadis Nabi yang diriwayatkan dari Abu Hurairah sebagai berikut :
عن ابي هريرة قال : نهي رسولالله صلي الله عليه وسلم عن بيع الحصاة و عن بيع الغرر
“Diriwayatkan dari Abi Hurairah Bahwa Rasulullah saw melarang transaksi al-Hashoh (dengan melempar batu) dan transaksi al-gharar”
Hadits di atas diperkuat dengan hadits lain yang berbunyi Nabi Saw bersabda: “Janganlah menjual ikan yang ada di laut, karena itu merupakan gharar”.
Dari hadits di atas dapat kita simpulkan bahwa dalam jual beli gharar terdapat empat resiko dan ketidakpastian yaitu: (1) Judi dan spekulasi ini terdapat dalam jual beli yang ditentukan oleh jatuhnya lemparan kerikil; (2) hasil yang tidak menentu, ini dapat dilihat pada transaksi seperti jual beli ikan di dalam laut; (3) keuntungan mendatang yang tidak diketahui; dan (4) ketidaktelitian dalam jual beli.
Berdasarkan pada hadits ten-tang larangan gharar di atas, para ulama telah menyusun kaidah-kaidah fikih sebagai landasan untuk menghindari terjadinya jual beli gharar. Di antara kaidah tersebut adalah :
البيع ما ليس عند الا نسان لا يجو ز
”Seseorang tidak boleh menjual sesuatu yang tidak dimilikinya”.
الغرر يبطل عقود المعاوضات ولا يبطل عقود التبر عا ت
“Gharar membatalkan aqad yang mengandung akad yang bersifat transaksi tijari dan tidak memba-talkan aqad tabarru’”.

2.Bentuk-Bentuk Gharar da-lam Jual Beli
Bentuk-Bentuk jual beli gha-rar telah diterangkan oleh Ibn Rusyd diantaranya adalah sebagai berikut :
a. . Gharar pada jual beli yang ditentukan syara’
1. Bai’ataini fii Ba’iah.
Rasulullah melarang melaku-kan dua kesepakatan dalam satu transaksi (bai’ataini fii ba’iah). Para ulama ahli fiqh sepakat dengan hadis ini secara umum dan mereka melarang seseorang untuk mengadakan dua transaksi dalam satu kesepakatan. Diantara hadis tersebut adalah yang diriwayatkan oleh Ibn Umar Ra., Ibn Mas’ud ra., dan Abu Hurairah ra. Hadits tersebut adalah
ان رسو ل الله ص م نهي عن بيعتين في بيعة (اخرجه التر مد والنسائ)
“Sesungguhnya Rasulullah saw. Melarang dua penjualan dalam satu penjualan". (HR. Tirmidzi dan al-Nasa’i)

2. Jual beli hewan dalam kandungan
نهيه صلي الله عليه وسلم عن بيع حبل الحبله
”Larangan Nabi Saw terhadap jual beli kandungan hewan yang akan mengandung”

b. Jual Beli yang Didiamkan syara’
Jual beli yang didimakan syara yang pernah di bahas oleh ulama diantaranya adalah
1. Jual beli Barang yang Tidak ada
Menurut Imam Syafi’i praktik jual beli yang tidak diketahui barangnya diharamkan karena mengandung penipuan besar. Imam lainnya yaitu Imam Malik membolehkan jual beli yang tidak ada barangnya sepanjang sifat-sifat barang yang akan dijual diketahui oleh pembelinya. Se-mentara Imam Abu Hanifah membolehkan jual beli yang tidak ada barngnya dengan syarat disertai dengan khiyar ru’yah. Disamping itu beliau juga me-nyandarkan pada hadits yang diriwayatkan oleh Ibnul Musayyab sebagai berikut :
قال اصحب النبي ص م : وددنا ان عثمان بن عفان و عبد الرحمن بن عوف تبا يعا حتي نعلم ايهما اعظم جدا في التجار , فاشتري عبدالرحمن بن عوف من عثمان بن عفان فرسا بارض له اخري باربعين الفا هو اربعة الاف فدكر تمام الخبر, وفيه بيع الغائب مطلقا
“Beberapa Sahabat Nabi Saw berkata: Kami ingin agar Utsman bin Affan Abdurrahman bin Auf dan saling berjual beli sehingga kami bias tahu siapa sebenarnya di antara keduanya yang jauh lebih besar dagangannya. Maka Abdur-rahman bin Auf membeli dari Utsman bin Affan kuda yang ber-ada di tanahnya yang lain seharga 40.000 dirham atau 4000 dinar. Kemudia ia (Ibnul Musayyab) me-nyebut berita itu selengkapnya. Dalam cerita ini mengandung jual beli ghaib secara mutlak (barang dagangannya tidak ada)”.

2. Jual Beli dengan Penye-rahan Barang di Kemudian Hari
Merujuk pendapat Ibn Rusyd para fuqaha telah bersepakat bahwa penjualan barang hingga masa tertentu tidak diperbo-lehkan.

Analisis Dimensi Kemaslahatan Dalam Larangan Jual Beli Ghoror
Maslahah memiliki posisi sen-tral dalam Islam. Begitu pen-tingnya maslahah, seorang ulama besar Jamal al-Bana mengutip satu kaidah yang berbunyi, “Tuhan tidak akan menganjurkan sesuatu, kecuali didalamnya mengandung kemaslahatan. Dengan demikian apapun bentuk anjuran, apakah yang bersifat perintah ataupun larangan memiliki kandungan mas-lahat. Begitu juga dalam larangan jual beli gharar yang terdapat dalam hadits yang pernah di bahas sebelumnya dimana mengandung banyak kemudaratan dalam bentuk spekulasi, ketidakpastian dan ketidak telitian dalam jual beli. Terungkapnya kemudaratan dalam larangan jual beli dapat dipahami sebaliknya yaitu adanya kandungan maslahat dalam lara-ngan jual beli gharar. Penentuan adanya kemaslahatan dalam jual beli gharar memiliki dimensi ke-maslahatan yang diakui oleh syara (al-mashlahah mu’tabarah). Ber-bagai kemaslahatan ditinggalkan-nya jual beli gharar sudah di-uraikan dalam nash, baik kemas-hlahatan yang terkandung dalam nash larang jual beli ghoror itu sendiri maupun kemaslahatan yang didapat melalui illah hokum yang terdapat dalam nash la-rangan jual beli.
Ditinjau dari sisi bentuk lafal hadits larangan jual beli gharar yang bersifat muhkam (kokoh) dan mutlaq (keadaan yang asli dan tidak terpengaruh oleh hal lain), menunjukkan bahwa keti-dakbolehan larangan jual beli gharar bersifat pasti dan tidak boleh dilanggar. Namun dalil larangan jual beli gharar ini terdapat pembatasnya (muqay-yad). Hal ini sebagaimana dijelas-kan dengan ketentuan yang mem-bolehkan menghadiahkan buah-buahan sebelum manfaatnya dapat terbukti. Hal ini dibolehkan dengan alasan praktik gharar dalam tabarru apabila tidak ber-hasil mendapatkan barang yang dijanjikan, tidak menimbulkan kerugian karena tidak terdapat iwad apapun untuk menda-patkannya. Sebaliknya gharar da-lam akad tijari yang mem-berikan akibat membayar harga atas barang tidak diperbolehkan kare-na dapat mengakibatkan keru-gian. Disamping mengandung unsur larangan, hadits tentang larangan jual beli gharar juga menyiratkan adanya perintah untuk melakukan hal yang se-baliknya, yaitu jual beli yang bersifat pasti. Hal ini sesuai dengan kaidah ushul fikih yang berbunyi sebagai berikut :
النهي عن شيء امر بضده
”Melarang sesuatu perbuatan itu, mengandung ketentuan perintah melakukan kebalikannya”.
Dalam hal ini, karena lara-ngan goror bersifat muhkam dan mutlak maka hukumnya sesuai dengan kemuhkaman dan kemut-lakannya itu sendiri. Dengan demikian keimanan pada Allah Swt. dibuktikan dengan melak-sanakan larangan dalam hadits ini dan melakukan jual beli yang sebaliknya. Manfaat atau masla-hah dilaksanakannya larangan jual beli gharar adalah adanya sikap iman pada Allah Swt. Dan tidak adanya kontradiksi antara aqidah dengan muamalah.
Kemaslahatan larangan jual beli gharar juga dapat ditentukan dengan menganalisis illah hukum yang terdapat dalam hadist yang melarang menjual ikan di laut yaitu adanya sifat ketidak pastian dalam bertransaksi. Ketidakpas-tian dalam bertransaksi mengan-dung elemen bermain-main. Hal ini bertolak belakang dengan karakter jual beli menurut fikih yang bersifat pasti dengan adanya konsekuensi perpindahan hak kepemilikan. Dengan demikian adanya unsur ketidakpastian da-lam jual beli bersifat bathil. Allah Swt. sendiri sangat mengecam perbuatan bermain-main dalam kebatilan. Hal ini dapat kita lihat dalam surat ath-Thuur ayat 11-13
              •  
“Maka Kecelakaan besarlah di hari itu bagi orang-orang yang mendustakan, (yaitu) orang-orang yang bermain-main dalam keba-thilan, Pada hari mereka didorong ke neraka Jahannam dengan se-kuat- kuatnya”.
Seiring dengan dikecamnya tindakan bermain-main dalam ke-batilan, Allah Swt memerintahkan adanya kepastian dalam ber-transaksi. Hal ini dapat dilihat dalam surat al-Isra’ ayat 35 dan surat al-An’am ayat 152 sebagai berikut :

     •       
”Dan sempurnakanlah takaran apabila kamu menakar, dan timbanglah dengan neraca yang benar. Itulah yang lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibat-nya.”

                                        
“Dan janganlah kamu dekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih bermanfaat, hingga sampai ia dewasa. dan sempurnakanlah takaran dan timbangan dengan adil. kami tidak memikulkan beban kepada se-seorang melainkan sekedar kesang-gupannya. dan apabila kamu berkata, Maka hendaklah kamu berlaku adil, kendatipun ia adalah kerabat(mu), dan penuhilah janji Allah. Yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu ingat.
Dengan demikian, adanya illah dalam bentuk sifat ketidak-pastian dalam jual beli gharar yang mengandung adanya elemen ber-main-main dalam kebatilan meng-hendaki adanya sifat kepastian dalam bertransaksi sebagai suatu kemaslahatan. Sifat pasti dalam jual beli ini meliputi, kepastian dalam mengukur nilai-nilai, pela-ku, aqad, objek, harga dan dasar hokum dari jual beli yang sesuai dengan syariat.
Nilai-nilai atau prinsip jual beli menunjuk pada pengertian tentang berbagai hal yang harus dijadikan patokan yang menen-tukan kesesuaian jual beli dengan nilai-nilai Islam terutama dalam fase proses jual beli yang pada dasarnya prinsip-prinsip tersebut merupakan ciri dari hakikat jual beli itu sendiri. Esensi dari jual beli menurut Islam adalah terjadinya proses penentuan niat atau motivasi jual beli, sikap manusia terhadap jual beli dan penentuan akad jual beli. Gambar 1. Kom-ponen Jual Beli Menurut Islam

.


Komponen perilaku di atas menjadi patokan dalam meru-muskan prinsip-prinsip jual beli. Adapun prinsip-prinsip jual beli menurut Islam yang dapat dikembangkan adalah :
1. Kerjasama dan saling membantu dalam memenuhi kebutuhan

                             •                      •   •   
”Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu melanggar syi'ar-syi'ar Allah, dan jangan melanggar kehormatan bulan-bulan haram, ja-ngan (mengganggu) binatang-bina-tang had-ya, dan binatang-binatang qalaa-id, dan jangan (pula) meng-ganggu orang-orang yang mengun-jungi Baitullah sedang mereka mencari kurnia dan keredhaan dari Tuhannya dan apabila kamu Telah menyelesaikan ibadah haji, Maka bo-lehlah berburu. dan janganlah sekali-kali kebencian(mu) kepada sesuatu kaum Karena mereka menghalang-halangi kamu dari Masjidilharam, mendorongmu berbuat aniaya (kepada mereka). dan tolong-menolonglah kamu dalam (menger-jakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. dan bertakwalah kamu kepada Allah, Sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya”.
2. Kejujuran dalam berjual beli

           
“Sesungguhnya yang mengada-adakan kebohongan, hanyalah orang-orang yang tidak beriman kepada ayat-ayat Allah, dan me-reka Itulah orang-orang pen-dusta”.

لتا جر الصدوق الامين مع النبيين والصديقين والشهداء
“Pedang yang jujur dan terpercaya itu sejajar dengan para nabi, para siddiqin dan para syuhada”

3. Kerelaan dalam jual beli

                    •     
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimu; Sesungguhnya Allah ada-lah Maha Penyayang kepadamu”.

4.Pentingnya Pengadministra-sian dalam jual beli tidak tunai
                                           •       •                      •                 •  •                                           •          
”Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak secara tunai untuk waktu yang diten-tukan, hendaklah kamu menulis-kannya. dan hendaklah seorang pe-nulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya, meka hendak-lah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengu-rangi sedikitpun daripada hutangnya. jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keada-annya) atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, Maka hendaklah wali-nya mengimlakkan dengan jujur. dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di anta-ramu). jika tak ada dua oang lelaki, Maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa Maka yang seorang mengingat-kannya. janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil; dan janganlah ka-mu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu. (Tulislah mu'amalahmu itu), kecuali jika mu'amalah itu per-dagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, Maka tidak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menu-lisnya. dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli; dan janganlah pe-nulis dan saksi saling sulit me-nyulitkan. jika kamu lakukan (yang demikian), Maka Sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada diri-mu. dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu.
5. Kepatuhan pada syariat Allah
                   
”Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, Kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan ter-hadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.
Dalam Q.s. An-Nisa: 65 ditegaskan:
     
”Dan taatilah Allah dan rasul, supaya kamu”.
Adapun kepastian pelaku, akad, obyek dan harga dalam jual beli meliputi terdapat dalam ru-kun dan syarat jual beli. Dalam standar kajian fikih, untuk men-capai keabsahan suatu aktivitas, terdapat rukun dan syarat yang harus dipenuhi. Adapun rukun jual beli yaitu :
1. Al-Muta’aqidain, dalam hal ini syarat orang yang mela-kukan aqad adalah berakal dan orang yang berbeda.
2. Sighat ijab dan qabul. Adapun syarat ijab dan qabul yaitu sighat antara ijab dan qabul harus sesuai maksudnya , dan dan dilakukan dalam satu majlis.
3. Ada barang yang diperjual belikan. Syarat barang yang diper-jual belikan meliputi:
a. Barang itu ada
b. Bersifat halal dan dapat dimanfaatkan dan bermanfaat bagi manusia
c. Milik seseorang
d. Boleh diserahkan saat akad berlangsung atau sesuai dengan kesepakatan.
4. Ada nilai tukar pengganti barang. Syarat yang harus ter-penuhi adalah :
a. Harga yang disepakati ke-dua belah pihak harus jelas jumlahnya.
b. Jenis uang yang digunakan harus jelas
c. Boleh diserahkan pada waktu akad.
Dasar hukum jual beli pada dasarnya adalah boleh. Sebagai dasar tersebut, dapat dipahami firman Allah swt. antara lain dalam QS. Al-Baqarah (2): 275 sebagai berikut:
وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا
“Dan Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba …”.
Disamping itu Rasul juga memperkuat kebolehan jual beli dalam satu hadits yang menjelaskan
سئل النبي صلي الله عليه و سلم اي الكسب اطيب؟ فقال امل الرجل بيده وكل بيع مبرور
”Rasulullah ditanya oleh seorang sahabat mengenai usaha apa yang paling baik. Rasulullah waktu itu menjawab : Usaha yang dilakukan tangan manusia sendiri dan setiap jual beli yang baik.”
Pada ayat lain Allah swt. berfirman dengan memberikan syarat keadaan jula beli dalam keadaan. Hal ini nampak dije-laskan dalam QS. An-Nisa (4): 29.
                    •     
”Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu …”
Syarat adanya dasar hukum kebolehan jual beli dalam keadaan rela membawa para fuqaha merumuskan ketentuan khiyar dalam jual beli. Sebagai aktivitas yang mengandung resiko, Islam memandang perlu untuk mem-berikan perlindungan terhadap hak pelaku jual beli dalam bentuk pemberian khiyar sebagai wujud kerelaan. Hal ini selaras dengan semangat maqashid asy-syar’I yaitu mewujudkan kemaslahatan. Pengertian khiyar sendiri adalah :
“Hak pilih bagi salah satu atau kedua belah pihak yang me-laksankan transaksi untuk me-langsungkan atau membatalkan transaksi yang disepakati sesuai dengan kondisi masing-masing pihak yang melakukan transaksi.”
Adapun jenis-jenis khiyar adalah sebagai berikut :
1. Khiyar al-Majlis. Khiyar majlis adalah hak pilih bagi kedua belah pihak yang berakad untuk membatalkan akad, selama kedua-nya masih berada dalam majelis akad dan belum berpisah badan.
2. Khiyar at-Ta’yin. Khiyar ta’yin adalah hak pilih bagi pembeli dalam menentukan barang yang berbeda kualitas dalam jual beli.
3. Khiyar asy-Syarth. Khiyar asy-Syarth adalah hak pilih yang ditetapkan bagi salah satu pihak yang berakad atau keduanya atau bagi orang lain untuk meneruskan atau membatalkan jual beli selama masih dalam waktu tenggang waktu yang ditentukan.
4. Khiyar al-Aib. Khiyar al-Aib adalah hak untuk membatalkan atau melangsungkan jual beli bagi kedua belah pihak yang berakad, apabila terdapat suatu cacat pada obyek yang diperjualbelikan.
5. Khiyar ar-Ru’yah. Khiyar ar-Ru’yah adalah hak pilih bagi pembeli untuk menyatakan ber-laku atau batal jual beli yang ia lakukan terhadap suatu obyek yang belum ia lihat ketika akad berlangsung

Kesimpulan
Setelah mengkaji konsep maslahah dan konsep gharar, maka dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Kemaslahatan yang ter-kandung dalam larangan jual beli ghoror memiliki dimensi kemas-lahatan mu’tabarah (kemaslahat-an yang diakui oleh syara’) bukan kemaslahatan yang ditolak atau-pun yang didiamkan.
2. Bentuk-bentuk kemasla-hatan dalam larangan jual beli gharar meliputi :
a. Kemaslahatan dalam ben-tuk keimanan pada Allah Swt. Dan tidak adanya kontradiksi (sifat
b. selaras) antara aqidah dengan muamalah. Hal ini terlihat dari sifat lafal larangan dalam jual beli gharar yang bersifat muhkam dan mutlak dan harus dipatuhi.
c. Kemaslahatan dalam ben-tuk adanya keharusan kepastian
secara kuantitas maupun kualitas dalam prinsip, dasar hukum, pelaku, akad,obyek dan harga obyek jual beli. Elemen kepastian dalam jual beli selaras dengan prinsip kerelaan dalam jual beli.

Konstelasi Hukum Adat dan Hukum Islam
di Masa Penjajahan
Muhammad Aiz


Abstract. The modern codification of civil law developed out of the customs, or coutumes of the middle ages, expressions of law that developed in particular communities and slowly collected and later written down by local jurists. Such customs acquired the force of law when they became the undisputed rule by which certain entitlements (rights) or obligations were regulated between members of a community. The Custom of Jawa --the customary law that developed within the city of Jawa-- is an example of custom law. Sharia is derived from the sacred text of Islam (the Qur'an), and Traditions (Hadith) gathered from the life of the Islamic Prophet Muhammad. There are different interpretations in some areas of Sharia, depending on the school of thought (Madh'hab), and the particular scholars (Ulama) involved. Traditionally, Islamic jurisprudence (Fiqh) interprets and refines Sharia by extending it's principles to address new questions. Islamic judges (Qadi) apply the law, however modern application varies from country to country.

Mukaddimah
Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sebuah negara yang terdiri dari berbagai macam suku bangsa. Keragaman suku bangsa ini membawa sebuah konsekuensi kepada munculnya berbagai macam kebiasaan yang hidup di tengah masyarakat. Ber-bagai kebiasaan yang ada di te-ngah masyarakat tersebut menjadi sesuatu yang mengikat dalam ke-hidupan sehari-hari. Kebiasaan ini ada yang berimplikasi hukum dan ada juga yang tidak berimplikasi hukum. Khusus untuk kebiasaan yang mempunyai implikasi hukum, maka kebiasaan tersebut dikenal dengan istilah Hukum Adat. Hu-kum Adat merupakan terjemahan dari istilah bahasa Belanda, yakni adatrecht.1) Istilah adat itu sendiri sebenarnya adalah sebuah kata yang diambil dari bahasa Arab, yang mempunyai arti kebiasaan.
Keberadaan Hukum Adat di Indonesia mungkin sama tuanya dengan keberadaan masyarakat yang menempati kepulauan Indo-nesia itu sendiri. Oleh karenanya Hukum Adat mengalami perubah-an-perubahan seiring dengan ber-ubahnya suatu masyarakat. Di da-lam adat Minangkabau terdapat pepatah yang berbunyi, “sekali air gadang, sekali tapian beranjak, sekali raja berganti, sekali adat berubah” 2)
Pengertian Hukum Adat itu sendiri sebenarnya masih diper-debatkan dan bermacam-macam, antara lain ialah :
• Ter Haar dalam pidato Dies Natalis–Rechtshogeschool, Batavia, 1937, menyatakan Hukum Adat adalah seluruh peraturan yang ditetapkan dalam keputusan-keputusan yang penuh wibawa, dan yang pelaksanaannya diterap-kan “begitu saja”, artinya tanpa adanya keseluruhan peraturan, yang di dalam kelahirannya dinya-takan mengikat sama sekali.3)
• Van Dijk menyatakan bahwa Hukum Adat adalah hukum yang tidak terkodifikasi dikalangan orang Indonesia asli dan kalangan timur asing.4)
Istilah Hukum Adat atau adatrecht pertama kali diperguna-kan oleh Snouck Hurgronje tahun 1839. Namun demikian istilah tersebut baru secara resmi diper-gunakan di dalam perundang-undangan pada tahun 1920, yakni Stbl. 1920 nr 105 tentang UU Perguruan Tinggi di Belanda.
Pengaruh sejarah terhadap Hukum Adat itu sendiri terlihat dengan banyaknya hal-hal yang berasal dari luar masyarakat itu sendiri. Di antara pengaruh yang cukup meresap di masyarakat ada-lah yang berasal dari agama. Oleh sebab itu tidaklah mengherankan apabila ada hal-hal yang terkait dengan masalah Hukum Adat bernuansa agamis, baik Islami, Kristen, Hindu, maupun Budha di beberapa lingkungan masyarakat. Sebagai contoh pengaruh Islam dapat dilihat di masyarakat Mi-nangkabau dan Jawa, Kristen di Manado, dan Hindu di Bali. Bagi pemeluk agama Islam berdasarkan pembagian golongan masyarakat, yakni pribumi, maka hukum yang berlaku dalam peradilan adalah Hukum Islam. Hal ini sesuai de-ngan teori Receptio in complexio yang dicetuskan oleh Van Den Berg.
Keberadaan adat sebagai sua-tu instrumen hukum, sudah lama diperhatikan ketika penjajah B-elanda tiba di Indonesia. Keber-adaan Hukum Adat ini terus ber-langsung meskipun penjajahan Be-landa di Indonesia telah berakhir ketika pemerintah Kerajaan Negeri Belanda di bawah pimpinan Let-nan Jendral Ter Poorten menan-datangani perundingan di Kalijati Subang, tanggal 9 Maret 1942 dengan Kerajaan Jepang di bawah pimpinan Letnan Jendral Hitoshi Imamura, yang isinya menyatakan bahwa Belanda menyerah kepada Jepang. Pada saat dikuasai Jepang, Indonesia dibagi menjadi dua, yakni:
1. Pulau Jawa dan Sumatera di bawah komando Angkatan Da-rat yang berpusat di Jakarta.
2. Pulau Kalimantan, Sula-wesi, dan Maluku di bawah komando Angkatan Laut yang berpusat di Makassar.
Berdasarkan hal tersebut maka ada beberapa hal yang menarik untuk dikaji berkaitan dengan konstelasi Hukum Adat dan Hukum Islam di masa pen-jajahan Belanda dan Jepang, me-ngingat antara Hukum Adat dan Hukum Islam terkadang memiliki persamaan dan perbedaan yang sangat dalam.

Eksistensi Hukum Adat dan Hukum Islam
Islam adalah agama samawi atau agama wahyu. Dasar-dasar hukum Islam adalah al-Quran sebagai kitab yang berisikan wah-yu-wahyu yang telah diterima Nabi Muhammad SAW. Dasar hukum yang kedua adalah apa-apa yang telah dilakukan, diucapkan, dan disetujui Rasul sebagai contoh untuk melakukan al-Quran terse-but, yang selanjutnya disebut hadits. Dasar hukum ketiga adalah ijma’ dan qias. Keduanya baru dilakukan manakala ada keha-rusan penetapan hukum semen-tara tidak ditemukan aturannya baik dalam al Quran ataupun ha-dits. Walaupun begitu, hukum Islam mengenal dan membenar-kan hukum adat. Para ahli ushul fikih menerima adat yang dalam bahasa fikih disebut dengan urf dengan batasan sebagai sesuatu yang dilakukan atau diucapkan berulang-ulang oleh banyak orang, sehingga dianggap baik dan dite-rima jiwa dan akal yang sehat. Dalam hal akidah dan ibadah urf tak lazim digunakan, sementara para ahli usul fikih yang menerima cenderung untuk membatasinya dalam masalah masalah muama-lah.
Ada dua alasan mengapa hu-kum adat dapat diterima dalam hukum Islam dalam menentukan status hukun atas sesuatu. Per-tama, sebuah hadis yang menga-takan, "Apa-apa saja yang diang-gap ummat Islam baik, maka di sisi Allah juga akan dianggap baik dan apa-apa saja yang dianggap ummat Islam buruk, maka di sisi Allah juga buruk "(H.R.Bukhori Muslim). Kedua, dalil: “Jadilah Engkau Pema'af dan suruhlah orang mengerjakan yang ma'ruf, serta berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh. (Q.S.Al A’raaf [7]:199)
Sebagai salah satu dalil hu-kum (dalam Islam), Islam mem-bagi hukum adat jadi dua bagian. Pertama, urf sahih, yaitu hukum adat yang tidak bertentangan dengan al-Quran dan sunnah (ha-dits), tidak menghalalkan yang haram, dan tidak mengharamkan yang halal. Contohnya sesan da-lam adat perkawinan di Lampung, tetapi bukan bagian dari mahar melainkan hadiah untuk memulia-kan.)
Kedua, urf fasid (ditolak syara) karena menghalalkan yang haram atau mengharamkan yang halal. Contohnya menghalalkan riba atau khamar (minuman keras) pada waktu waktu tertentu, seperti pesta dan sebagainya.
Hukum adat atau urf sahih dalam Islam dapat dibagi dua: (1) urf ‘amm yakni hukum adat yang berlaku di berbagai tempat, dan (2) urf khass yakni hukum adat yang berlaku di tempat tertentu. Baik ‘amm ataupun khass dapat dijadikan hukum Islam sejauh ha-nya meliputi muamalah dan tidak bertentangan dengan hukum Is-lam yang berdasarkan al Quran dan sunah. Para ulama fikih me-nyepakati hukum adat sebagai dalil penetapan hukum Islam. Bagi Imam Hanafi, jika ’urf ’amm ber-tentangan dengan kias, ia akan memilih ’urf amm. Sementara Imam Maliki menggunakan hukum adat sebagai dalil dalam me-netapkan hukum dengan qaidah al-maslahah al-mursalah (masa-lah yang tidak didukung dan tidak pula ditolak oleh nash). Dengan demikian, dalam menetapkan hu-kum Islam, hukum adat dapat dijadikan latar hukum Islam. Para pelaku penetap hukum Islam (mujtahid) harus mempertimbang-kan hukum adat dalam menetap-kan hukum Islam seperti kese-pakatan ahli hukum Islam (fuqaha) yang menetapkan rumus dalam ilmu fikih ’addah muhakkamah (hukum adat dapat dijadikan landasan hukum Islam), dan juga qaidah lain al-ma’ruf ’urfan ka al-masyrut syartan (yang baik itu menjadi kebiasaan, sama halnya dengan yang disyaratkan menjadi syarat).

Perubahan Budaya di Masa Pen-jajahan Jepang
Kebiasaan yang tumbuh di tengah masyarakat tidak semua-nya mempunyai implikasi hukum. Kebiasaan inilah yang dapat dika-tegorikan budaya atau culture. Pada masa pendudukan penjajah Jepang, bangsa Indonesia meng-alami suatu perubahan dalam hal budaya dibandingkan saat penja-jahan Belanda. Melalui kegiatan yang tampaknya sudah terprog-ram dengan baik berdasarkan pengalaman restorasi Meiji yang dilakukan oleh Shogun Tokugawa, di Indonesia pun dilakukan juga restorasi, yang mungkin lebih sesuai disebut dengan istilah reformasi. Sebab untuk membang-kitkan bangsa Indonesia agar mau bekerjasama dengan Jepang, maka perilaku budaya yang sudah dibina oleh Belanda harus segera ditata kembali secara total. Gerakan reformasi yang sudah dirumuskan dengan mantap ini diterapkan ke seluruh lapisan masyarakat, baik di kota maupun pelosok desa.
Perilaku penjajah Belanda terhadap bangsa Indonesia adalah dengan menjadikan manusia Indo-nesia sebagai kuli kasar yang tidak perlu dididik untuk mengenal disiplin, etika, dan estetika, serta dihilangkannya rasa kepercayaan dirinya untuk tetap takut dan patuh menjalankan peraturan. Namun pada zaman Jepang tidak demikian sepenuhnya. Walaupun kita mengenal kerja paksa Romus-ha tapi dilain sisi anak-anak usia sekolah baik tingkat Sekolah Rakyat (SD) maupun Sekolah Menengah Tinggi (SMU) dilatih dan dibina secara militer. Pel-ajaran baris berbaris dan perang-perangan juga diajarkan, termasuk kampanye yang dilakukan secara efektif bahwa musuh bangsa Indonesia adalah Belanda, Ame-rika, dan Inggris. Berbagai lagu perjuangan untuk menunjang se-mangat baik yang berbahasa Indo-nesia maupun Jepang diajarkan hingga hafal karena setiap hari selalu mendengar lewat radio yang disiarkan oleh Jakarta Hoso Kyoku.6) Namun demikian pel-ajaran di sekolah masih menggu-nakan pola pelajaran Belanda, hanya bahasanya yang diganti menjadi bahasa Jepang, seperti buku Maki-Chi, Maki-Nya, Maki-San, dan Maki-Yon.7)
Reformasi yang diterapkan Jepang selama 3,5 tahun ternyata telah berhasil mengubah perilaku budaya dan sikap mental bangsa Indonesia untuk percaya diri. Kepercayaan diri inilah yang men-jadi modal utamabangsa Indonesia untuk meraih kemerdekaan. Na-mun meskipun reformasi budaya telah menjadikan bangsa Indone-sia kuat tapi penderitaan selama 3,5 tahun ternyata lebih menye-dihkan dibandingkan saat penja-jahan Belanda

Perkembangan Hukum Adat Antara Tahun 1928 – 1945.
Dalam periode antara tahun 1928–1945, menjelang berakhir-nya masa penjajahan Belanda di Indonesia tahun 1942, terjadi be-berapa hal yang signifikan terhadap perkembangan Hukum Adat itu sendiri. Oleh Ter Haar dalam karangannya Halverwege de nieuwe adatrecht politiek tahun 1939 disebutkan 8)
• Usaha untuk memper-baiki Peradilan Agama dengan diubahnya pasal 134 IS menurut Ind. Stbl.1929 nr 221 jo nr 487.
• Susunan dan kompetensi Pengadilan Agama, yang diun-dangkan dalam Ind. Stbl. nr 53 . Juga dengan diundangkannya Ordonansi dalam Ind. Stbl. nr 116 pada tanggal 1 Januari 1931.
• Pada tahun 1932 dibuat ordonansi tertanggal 18 Februari 1932 yang diundangkan dalam Ind. Stbl. Nr. 80 yang berisikan tentang pemberian aturan-aturan dasar dan peraturan penyeleng-garaan yang dibuat oleh residen setempat bagi peradilan adat yang secara langsung diperintah.
• Pada tahun 1937 didiri-kan Hof voor Islamitische Zaken, sebagai pengadilan banding atas keputusan pengadilan agama (Raad Agama), dengan dikeluar-kannya Ind.Stbl. 1937.nr 610.
• Pada tanggal 1 Januari 1938, pada Raad van Justitie di kota Jakarta (Betawi) didirikan adatkamer yang mengadili dalam tingkat banding mengenai perkara hukum privat adat yang telah diputuskan oleh Landraad-land-raad di pulau Jawa, Bangka dan Belitung, Kalimantan, Bali, Palem-bang, dan Jambi.
Memasuki pecahnya Perang Dunia II telah menutup suatu masa yang mengenal aktivitas besar yang berhubungan dengan Hukum Adat, baik di bidang ilmu hukum maupun politik hukum. Hal ini bisa dilihat dengan tidak dilanjutkannya penyelidikan ten-tang Hukum Adat yang dilakukan oleh Mr. Kusumadi Pudjosewodjo, yang akan menyelidiki Hukum Adat di Jawa Timur dan Mr. Chabot yang hendak menyelidiki Hukum Adat di Sulawesi Selatan.
Dalam perkembangan sejarah Hukum Adat di zaman Jepang tidak banyak mengalami per-ubahan yang berarti, sehingga se-cara umum tidak mengalami perbedaan dengan zaman Belanda di bidang Hukum Adat. Tak ada satupun produk perundangan-undangan yang dihasilkan pada masa itu. Sebagian besar produk perundang-undangan Belanda yang terkait dengan Hukum Adat tetap dipertahankan dan diper-gunakan selama tidak berten-tangan dengan kepentingan Je-pang tentunya. Sesungguhnya hal ini dapat dimengerti karena sing-katnya masa penjajahan Jepang di Indonesia dan fokus perhatian Je-pang lebih terarah ke masalah pertahanan dari ancaman serang-an sekutu.
Seiring dengan perjalanan waktu, tatkala Jepang telah tun-duk kepada tentara sekutu, ternyata banyak diantara serdadu-serdadu Jepang yang memutuskan untuk menetap di wilayah terse-but dan bergabung dengan ma-syarakat setempat. Dalam konteks Hukum Adat tentunya para bekas serdadu Jepang tersebut harus mentaati hukum setempat. Tanpa mentaati hukum setempat maka mustahil masyarakat asli akan me-nerimanya. Sebagai contoh kasus adalah yang terjadi di Bali. Di sana banyak bekas serdadu Jepang yang memutuskan untuk tinggal dan menetap di Bali. Mereka ikut berjuang bersama masyarakat Bali di dalam memerangi tentara NICA. Beberapa nama tercata pernah bergabung dengan para pejuang Bali, diantaranya ialah Haraki yang telah mengubah namanya menjadi I Made Sukri. Haraki gugur dalam pertempuran di Puputan Marga-rana pada tanggal 20 September 1946 bersama dengan pahlawan nasional I Gusti Ngurah rai.9)

Perbandingan Kedudukan Hukum Adat di Zaman Jepang Dengan di Zaman Belanda.
Hukum Adat yang merupakan hukum tidak tertulis yang tumbuh di setiap lingkungan masyarakat merupakan suatu pegangan bagi masyarakat di dalam bertindak dan bergaul di antara sesama. Dengan demikian Hukum Adat
sangat dibutuhkan untuk meng-atur tingkah laku manusia di ling-kungannya. Hal ini telah disadari oleh penjajah Belanda sehingga mereka menempatkan Hukum Adat sebagai salah satu sumber hukum yang diakui. Di samping itu juga pemahaman terhadap Hukum Adat oleh penjajah Belanda meru-pakan salah satu penyebab ber-hasilnya Belanda menjajah Indo-nesia dalam jangka waktu yang lama.
Apabila kita bandingkan ke-dudukan Hukum Adat antara masa penjajahan Belanda dengan masa penjajahan Jepang, maka akan nampak perbedaan yang jauh. Saat penjajahan Jepang keber-adaan Hukum Adat kurang men-dapat perhatian dari penguasa Jepang. Hal ini dapat dilihat dengan tidak adanya tokoh-tokoh atau ilmuwan Jepang yang meng-ekplorasi keberadaan Hukum Adat Indonesia. Kurangnya perhjatian ini bukan disebabkan karena keti-daktertarikan Jepang atas hukum asli yang berkembang di masya-rakat Indonesia, namun alasan yang paling utama adalah ter-pusatnya konsentrasi seluruh pemimpin Jepang dalam meng-hadapi serangan sekutu. Hal ini juga yang menyebabkan tidak adanya perpecahan diantara ma-syarakat adat karena tidak ada pihak yang memprovokasi. Hukum Adat tidak dijadikan alat untuk memecah belah bangsa Indonesia. Bahkan disadari atau tidak disadari Jepang lah yang telah memberikan kepercayaan diri kepada bangsa Indonesia untuk berjuang.
Keadaan ini bertolak bela-kang jika dibandingkan pada saat penjajahan Belanda dimana kita mengetahui bahwa Belanda sangatlah memperhatikan keber-adaan dan perkembangan Hukum Adat Indonesia. Sebagai contoh tentunya kita mengenal dengan Snouck Hurgronje, Van Vollen-hoven, Van Den Berg dan seba-gainya.
Sebenarnya apa yang menyebabkan penjajah Belanda begitu memperhatikan Hukum Adat di Indonesia? Menurut hemat penulis ada beberapa hal yang menjadi penyebab hal tersebut, diantaranya ialah :
• Politik penjajahan
Di sini penjajah Belanda mempunyai kepentingan yang sangat dominan dalam upaya me-langgengkan misi penjajahan me-reka. Oleh sebab itu pemerintah Kerajaan Belanda membuat kebi-jakan yang mana menugaskan be-berapa orang ahli atau ilmuwan untuk mempelajari secara khusus karakteristik dan budaya masya-rakat Indonesia. Dengan kebijak-an tersebut pemerintahan Belan-da dapt mengetahui seluk beluk dari Hukum Adat itu sendiri, yang pada akhirnya justru dipergunakan untuk membuat lemah masya-rakat adat itu sendiri. Adu domba antar masyarakat (politik devide et impera) merupakan salah satu ha-sil dari eksplorasi yang dilakukan oleh para ahli atau ilmuwan ter-sebut. Selain itu adu domba antar masyarakat, pemerintah Belanda
juga menggunakan isu agama untuk di bentrokan dengan adat. Hal ini dapat dilihat pada teori yang diungkapkan oleh Snouck Hurgro-nje dan Van Vollenhoven yaitu teori Receptie, dimana dikatakan bahwa yang berlaku di Indonesia adalah Hukum Adat, Hukum Islam baru dapat berlaku jika tidak bertentangan dengan Hukum Adat. Jelaslah bahwa dengan adanya keragaman Hukum Adat di Indonesia selain sebagai kekayaan budaya juga sebagai alat yang dipergunakan oleh pemerintah Belanda di dalam mempertahankan wilayah jajahan-nya.
• Kekayaan budaya
Sebagai sebuah negara maka Indonesia merupakan salah satu dari sedikit negara yang mempu-nyai keragaman budaya. Hukum Adat sebagai produk budaya dari setiap lingkungan masyarakat ten-tunya merupakan kekayaan yang tak ternilai harganya jika dapat diekplorasi dan dieksploitasi de-ngan baik dan tepat. Inilah salah satu yang menjadikan alasan juga
bagi penjajah Belanda dalam usa-
ha untuk memahami dan me-nyelami keberadaan Hukum Adat .

Kesimpulan
Dari uraian di atas dapat di-tarik beberapa kesimpulan se-bagai berikut:
Pertama, Hukum Adat dan Hukum Islam dapat bersanding selama tidak melanggar ketentuan syariat.
Kedua, Hukum Adat adalah hukum yang mengatur tingkah laku manusia Indonesia dalam hubungan satu sama lain, baik yang merupakan kelaziman mau-pun keseluruhan peraturan yang mempunyai sanksi yang ditetap-kan oleh penguasa adat.
Ketiga, dalam masa penja-jahan Jepang tidak banyak per-ubahan yang terjadi dalam per-kembangan Hukum Adat di Indo-nesia.
Keempat, pada masa Jepang Hukum Adat tidak dijadikan seba-gai alat untuk memecah belah ma-syarakat Indonesia.
Kelima, Disadari atau tidak, Je-pang telah memberikan perubah-an budaya atau adat, dalam pe-
ngertian kebiasaan, yang telah di-arahkan oleh Belanda.

Daftar Pustaka


Adat istiadat Lampung Tengah http://www.wahana-budaya-indonesia.com AAdatdat i
“Beberapa Orang Jepang Menjadi “tumbal” Saat Revolusi Bali,” dalam Baliaga.com.
Departemen Agama RI , Al Qur’an al-Karim,
Darsoprajitno,Soewarno,“3,5 Abad Terhapus Reformasi 3,5 Tahun,” Pikiran Rakyat, Edisi 27 Juli 2001.
Ka’bah, Rifyal, Indonesian Legal History, Universitas Indonesia 2001.
Muhammad, Bushar, Asas-asas Hukum Adat Suatu Pengan-tar, Pradnya Paramita Jakarta, 1986.
Ter Haar (Terjemahan Soebakti Poesponoto), Asas-asas Dan Susunan Hukum Adat, Prad-nya Paramita Jakarta, 1980.
Van Vollenhoven, “Orientasi Dalam Hukum Adat Indo-nesia”, Djambatan Jakarta, 1981.




Hukum Bom Bunuh Diri Menurut Islam Radikal dan Islam Moderat
Yoyo Hambali


Abstract: Imam Samudra published a jailhouse autobiography, Aku Melawan Teroris. In his autobiography, Imam Samudra explains his justification for the Bali attracts, which killed 202 people, most of them foreign tourists. Imam Samudra argues fellow Muslim radicals to take the holy war (jihad fi sabilillah). According to him, the main duty of Muslims is jihad in the name of Allah, to raise arms against the infidels, especially now the United States and its allies. Some of moderate Moslems scholars criticize the Samara’s concept of jihad and his justification Bali’s bombing. Muhammad Haniff Hassan, a researcher at Nan yang Technology University, Singapore, writes his book Unlicensed to Kill: Countering Imam Samudra’s Justification for the Bali Bombing (Singapore, 2005). The primary objective of this book is to provide a map of Imam Samudra's thinking behind Bali bombing I as written in his book Aku Melawan Teroris to those who are not able to read the book in its original Indonesian language with an assumption that counter ideological effort cannot be executed effectively without understanding the ideas held by terrorism perpetrators. The other moderate Moslem scholar’s Gamal al-Banna and Yusuf Qaradawi also explain about the concept of jihad. According to Gamal al-Banna in his book, Jihad, jihad in the means of war is not relevant in this modern time. Yusuf Qardhawi his monumental book, Fiqh Jihad has condemned attacks on all civilians except within Israel. He denies that Palestinian suicide bombing attacks constitute terrorism. Qaradawi has suggested the legitimate use of suicide bombings against enemy combatants in modern times if the defending combatants had no other means of self-defense.

Pengertian Islam Radikal dan Islam Moderat
Berbagai predikat diberikan kepada penganut Islam radikal antara lain Islam fundamentalis, Islam garis keras, Islam ektrimis bahkan Islam teroris. Walaupun predikat-predikat di atas tidak se-penuhnya bisa dibenarkan namun sering digunakan terutama dalam media-media Barat dan sangat bernada pejoratif atau memiliki kesan negatif.
Berbicara mengenai istilah fundamentalisme, banyak sarjana yang mengakui bahwa pengguna-an istilah ‘fundamentalisme” itu problematik dan tidak tepat. Is-tilah ini seperti dikatakan William Montgomery Watt, pada dasarnya merupakan suatu istilah Inggris kuno kalangan Protestan yang
secara khusus diterapkan kepada orang-orang yang berpandangan bahwa al-Kitab harus diterima dan ditafsirkan secara harfiah. Watt mendefinisikan bahwa kelompok fundamentalis Islam adalah ke-lompok muslimin yang secara sepenuhnya menerima pandangan dunia tradisional serta berkehen-dak mempertahankannya secara utuh.
James Barr dalam bukunya Fundamentalism mengkritik defi-nisi yang mengatakan bahwa kaum fundamentalis adalah ke-lompok yang menafsirkan kitab suci secara harfiah. Menurutnya definisi itu jauh dari tepat. Ia mengemukakan ciri-ciri funda-mentalisme (Kristen) sebagai be-rikut: Penekanan yang amat kuat pada ketiadasalahan (inerrancy) Alkitab. Bahwa Alkitab tidak mengandung kesalahan dalam bentuk apapun; kebencian yang mendalam terhadap teologi mo-dern serta terhadap metode, hasil dan akibat-akibat studi kritik modern terhadap Alkitab; jaminan kepastian bahwa mereka yang tidak ikut menganut pandangan keagamaan mereka sama sekali bukanlah ‘Kristen sejati”.
Fazlur Rahman Revival and Reform in Islam, tampaknya ku-rang suka memakai istilah fun-damentalisme, ia lebih suka me-makai istilah revivalism. Menurut Rahman, dalam daftar kosa katanya, “fundamentalis” sejati adalah orang yang komitmen terhadap proyek rekonstruksi atau rethinking (pemikiran kembali). Fazlur Rahman menggunakan istilah kebangkitan kembali (revi-valism) ortodoksi untuk kemun-culan gerakan fundamentalisme Islam. Gerakan ortodoksi ini bangkit dalam menghadapi keru-sakan agama dan kekendoran ser-ta degenerasi moral yang merata di masyarakat muslim di sepan-jang propinsi-propinsi Kerajaan Utsmani (Ottoman) dan di India. Ia menunjuk gerakkan Wahabi yang merupakan gerakan kebangkitan ortodoksi sebagai gerakan yang sering dicap sebagai fundamen-talisme.
David Sagiv, seorang penulis Yahudi menyebutkan beberapa istilah antara lain: al-ushuliyah al-Islamiyah (akar Islam atau fun-damentalisme Islam) al-salafiyah (warisan leluhur), al-sahwah al-Islamiyah (kebangkitan Islam), al-ihya al-islami (kebangkian kembali Islam) atau al-badil al-islami (alternatif Islam).
Robert N. Bellah, sosiolog Amerika yang terkenal itu menggunakan istilah skripturalis daripada fundamentalis. Kelom-pok skripturalis melihat Al-Qur’an dan Sunnah sebagai suatu entitas yang sempurna, yang suci, yang datang dari Tuhan, dan sama sekali terhindar dai berbagai kemungkinan kritik.
Menurut Roger Geraudy fun-damentalisme didefinisikan oleh Kamus Larous kecil (1966 M) de-ngan cara yang umum sekali, yaitu: sikap mereka yang menolak menyesuaikan kepercayaan de-ngan kondisi-kondisi yang baru. Sedangkan, Kamus Larous Saku (1979 M) hanya menerapkan istilah itu bagi Kristen Katolik saja, yaitu sikap pemikiran sebagian orang-orang Katolik yang mem-benci untuk untuk menyesuaikan diri dengan kondisi kehidupan modern. Dalam Kamus Larous Besar (1984 M), tertulis funda-mentalisme adalah “sikap stagnan dan membeku yang menolak seluruh pertumbuhan dan seluruh perkembangan.” Mazhab konser-vatif yang membeku dalam masalah keyakinan politik. Sementara, dalam kamus Larous tahun 1987 M, tertulis “sikap sebagian orang-orang Katolik yang menolak seluruh kemajuan, ketika mereka menisbatkan diri mereka kepada turats (warisan lama).”
Dalam pandangan Richard Nixon, mantan Presiden Amerika, bahwa orang-orang fundamentalis (Islam) adalah: Mereka yang digerakkan oleh kebencian mereka yang besar terhadap Barat; me-reka yang bersikeras untuk mengembalikan peradaban Islam yang lalu dengan membangkitkan masa lalu itu; mereka yang ber-tujuan untuk mengaplikasikan sya-riat Islam; mereka yang mengam-panyekan bahwa Islam adalah agama dan negara, dan meskipun mereka melihat masa lalu, namun mereka menjadikan masa lalu itu sebagai penuntun bagi masa depan. Mereka bukan orang-orang konservatif, namun mereka adalah orang-orang revolusioner.
Muhammad Imarah menggu-nakan kata ushuliyah untuk fundamentalisme seperti dalam bukunya Al-Ushuliyah Bain al-Gharbi wa al-Islam..
Kaum ushuliyun (fundamen-talis) di Barat adalah orang-orang kaku dan taklid yang memusuhi akal, metafor, takwil, dan qiyas (analogi), serta menarik diri dari masa kini dan membatasi diri pada penafsiran literal nas-nas.
Menurut Fazlur Rahman, istilah ‘fndamentalisme digunakan secara negatif untuk menyebut gerakan-gerakan Islam “berhaluan keras’ seperti di Lybia, Aljazair, Lebanon, dan Iran.
Akibat istilah yang digunakan oleh media massa, pengertian “kaum fundamentalis muslim” kini cenderung diartikan sebagai ke-lompok Islam yang berjuang men-capai tujuannya dengan meng-gunakan cara-cara kekerasan. ”Fundamentalime Islam” bagi media-media Barat tidak lain ber-arti “Islam yang kejam”, “Islam yang terbelakang dan sebagai-nya”. Golongan-golongan yang ku-rang simpati, menyebutnya de-ngan istilah muta’ashibun (orang-orang fanatik) atau pun mutathar-rifun (orang-orang radikal). Me-nurut Yusril Ihza Mahendra, di Malaysia, istilah “puak pelampau” (orang-orang ekstrim) atau “puak pengganas” (orang-orang kejam) telah lazim digunakan oleh media massa untuk mengganti istilah kaum fundamentalis.
Bagi Allan Taylor, Patrick Ban-nerman, Daniel Pipes, Bassam Tibi dan Bruce Lawrence, kaum funda-mentalis adalah kelompok yang melakukan pendekatan rigid dan literalis. Menurut Bannerman, kaum fundamentalis adalah ke-lompok ortodoks yang bercorak rigid dan ta’ashub yang bercita-cita untuk menegakkan konsep-konsep keagamaan dari abad ketujuh masehi, yaitu doktrin Islam dari zaman klasik.
Fundamentalisme ternyata tidak muncul begitu saja. Seba-gaimnana dikatakan Karen Arms-trong, dalam bukunya The Battle for God, fundamentalisme meru-pakan gejala tiap agama dan kepercayaan, yang merepresen-tasikan pemberontakan terhadap modernitas.
Sementara Bassam Tibi, da-lam buku The Challenge of Fundamentalism: Political Islam and the New World Disorder (1998), seperti dikutip Alfan Alfian M., seorang peneliti dari Yayasan Katalis, memandang fundamen-talisme Islam hanya salah satu jenis dari fenomena global yang baru dalam politik dunia, di mana isunya pada masing-masing kasus lebih pada ideologi politik. Ke-lompok ini berpendapat, Barat telah gagal dalam menata dunia.
Barangkali perlu diajukan pula pandangan Ahmad S Mous-sali dalam buku Moderate and Radical Islamic Fundamentalism: The Quest for Modernity, Leg-itimacy, and the Islamic State (1999), menyebut, Islam funda-mentalis sebagai manifestasi awal atas gerakan sosial masif yang mengartikulasikan agama dan as-pirasi peradaban dan memper-tanyakan isu-isu di seputar mo-ralitas teknologi, distribusi ala kapitalis, legitimasi non-negara, dan paradigma non-negara bang-sa. Islam fundamentalis, lebih dari sekadar gerakan lokal. Ia beraksi dan bereaksi melingkupi negara-bangsa dan tatanan dunia. Ia mempersoalkan tak hanya isu dan aspirasi yang berdimensi lokal, tetapi juga regional dan universal. Fundamentalisme itu sendiri bisa bersifat moderat dan radikal. Bagi Moussalli, “to radical funda-mentalism, tawhid becomes a justification for the domination of others; to moderate fundamen-talism, it becomes a justification for not being dominated by others”. [bagi fundamentalisme radikal, menjadikan tauhid sebagai pembenaran bagi pendominasian terhadap yang lain; (adapun) fundamentalisme moderat, men-jadikan tauhid bukan untuk mendominasi yang lain].
Kekerasan agama sering disebut juga dengan radikalisme agama. Secara etimologis, radikal-isme berasal dari kata radix, yang berarti akar. Orang-orang radikal adalah seseorang yang meng-inginkan perubahan terhadap situasi yang ada dengan menjebol sampai ke akar-akarnya. Sebuah kamus menerangkan bahwa “se-orang radikal adalah seseorang yang menyukai perubahan-per-ubahan cepat dan mendasar da-lam hukum dan metode-metode pemerintahan” (a radical is a person who favors rapid and sweeping changes in laws and methods of government). Jadi radikalisme dapat dipahami seba-gai suatu sikap atau posisi yang mendambakan perubahan terha-dap status quo dengan jalan menghancurkan status quo secara total, dan menggantinya dengan seseuatu yang baru, yang sama sekali berbeda. Biasanya cara yang digunakan bersifat revolusioner, artinya menjungkirbalikkan nilai-nilai yang ada secara drastis lewat kekeraan (violence) dan aksi-aksi yang ekstrem.
Secara sosiologis radikalisme kerap muncul ketika masyarakat mengalami anomi atau kesen-jangan antara nilai-nilai dengan pengalaman, dan para warga ma-syarakat merasa tidak mempunyai lagi daya untuk mengatasi kesen-jangan itu, sehingga radikalisme dapat muncul ke permukaan. Tentu banyak faktor yang men-dorong munculnya radikalisme. Sosiolog Max Rudd mengingatkan bahwa fungsi politik yang kon-frontatif dapat mendorong proses radikalisme. Weber melihat radi-kalisme dalam konteks politik massa. Kapitalime yang mula-mula begitu optimis terhadap masa depan manusia, kemudian telah menimbulkan suasana rutinitas-ritualistis, yang sangat monoton dan fatalisme, dan telah menyeret manusia ke penjara besi (iron cage) yang tanpa jiwa, tanpa nurani. Kapitalisme telah me-nyebabkan manusia teralienasi (terasing) dan mendorong godaan radikalisme sebagai solusi utopis. Pudarnya ikatan kelompok primer dan komunitas lokal, tergusurnya ikatan parokial menurut Daniel Bell dalam The End of Ideology juga dapat mendorong munculnya radikalisme. Sedangkan dalam isti-lah Sigmund Freud, yang dapat mendorong munculnya gagasan radikalisme adalah apa yang dia sebut sebagai melancholia, yaitu kejengkelan mendalam yang menyakitkan (a profoundly painful dejection).
Berkaitan dengan istilah Islam moderat, istilah istilah “moderat” (moderate) berasal dari bahasa Latin ‘moderare’ yang artinya “mengurangkan atau meng-kon-trol”. Kamus The American Her-itage Dictionary of the English Language mendefinisikan mode-rate sebagai: (1) not excessive or extreme (tidak melampau/ektrim) (2) temperate (sederhana) (3) average; mediocre (purata; seder-hana) (4) opposed to radical views or measures (berlawan dengan radikal dari segi pendapat-pen-dapat atau langkah-langkah).
Islam moderat dalam bahasa Arab diambil dari istilah Islam wasathiyah. Menurut Muham-mad Imarah, sering disalahartikan. Dalam bukunya, “Ma’rakah al-Mushthalahat bayna al-Gharb wa al-Islam”. Istilah “al-wasathiyah” dalam pengertian Islam mencer-minkan karakter dan jatidiri yang khusus yang dimiliki oleh manhaj (jalan/pegangan) Islam dalam pe-mikiran dan kehidupan; dalam pandangan, pelaksanaan, dan penerapannya. Sikap wasathiyah Islam adalah satu sikap penolakan terhadap ekstrimis dalam bentuk kezaliman dan kebathilan. Ia tidak lain tidak bukan merupakan cerminan dari fitrah asli manusia yang suci dan belum tercemar dengan pengaruh-pengaruh nega-tif. Umat yang adil dan umat pilihan adalah ‘ummatan wasatha’ (umat pertengahan). Untuk saat ini, terjemahan “umat perte-ngahan” atau “umat yang adil dan pilihan” mungkin lebih tepat daripada istilah “umat moderat”, kerana terlalu banyak kesamaran dalam istilah “moderat” yang digunakan oleh Barat dan kaum sekular-liberal ketika ini. Makna “ummatan wasathan”, umat pertengahan, umat yang adil, umat yang menjadi saksi atas ummat yang lain, dengan me-nyampaikan risalah Islam kepada seluruh umat manusia. Dengan pandangan dan sikap ‘wasatha’, setiap Muslim dilarang melakukan tindakan ‘tatharruf’ atau ekstrim dalam menjalankan ajaran aga-ma.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Islam moderat itu merupakan sikap keber-agamaan yang mengambil jalan tengah dan tidak ekstrem. Sikap keberagamaan seperti ini tidak menyetujui jalan kekerasan dalam memperjuangkan cita-cita dan ideal-ideal Islam dan lebih memilih jalan damai, sikap toleran, meng-hargai pluralitas, dan memandang Islam sebagai pembawa perda-maian (rakhmat) bagi segenap alam. Sedangkan Islam radikal sebaliknya mengambil jalan ektrem, membolehkan kekerasan, dan cenderung mengklaim Islam sebagai kebenaran tunggal yang harus dipraktekkan secara kaffah sesuai dengan praktek masa lalu.

Jihad Menurut Imam Samudra
Pengertian Jihad. Secara har-fiah jihad berarti memberikan yang terbaik, mengeluarkan tena-ga untuk mencapai tujuan. Secara definitif, jihad berarti melakukan yang terbaik untuk menegakkan hokum Allah, membangun dan menyebarkannya. Dari sudut pan-dang syariah, jihad berarti me-lawan mereka yang tidak beriman dengan Islam. Jihad ini terkenal dengan nama jihad fi sabilillah (berjuang di jalan Allah). Menurut Imam Samudra, pengertian-pe-ngertian ijtihad di atas sesuai dengan kesepakatan para ulama salaf al-saleh terutama mazhab empat. Pendapatnya itu juga sesuai dengan ulama amilin (ulama yang mempraktekkan).
Bom Bali I=jihad fi sabilillah. Aksi Bom Bali merupakan pem-balasan kekuatan kolonial yang telah menyerang kaum muslimin yang tidak berdaya. Hal ini sesuai dengan ayat: “Dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana merekapun meme-rangi kamu, (wahai orang-orang yang bertakwa), semuanya dan ketahuilah bahwasannya Allah beserta orang-orang yang ber-takwa.” (Q.S. 9:36).
Dibolehkannya membunuh orang-orang sipil sebagai balas dendam. Menurut Imam Sa-mudra diperbolehkan membunuh orang-orang sipil termasuk pada bom Bali I sebagai respon umat Islam yang menyadari dan me-mahami arti dari membela harga diri mereka. Walaupun hukum dasar membunuh atau menyerang penduduk sipil adalah haram da-lam hal ini membunuh wanita dan anak-anak; menghancurkan tana-man; membunuh orang tua dan mereka yang menyembah Tuhan, tetapi karena AS dan sekutunya juga telah melampaui batas dengan membunuh kaum muslim termasuk wanita dan anak-anak-nya, maka menyerang dan mem-bunuh penduduk sipil kaum penjajah merupakan tindakan se-timpal dan adil. Ayat Al-Qur’an menegaskan: “Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang me-merangi kamu, (tetapi) janganlah kamu melampaui batas, karena Sesungguhnya Allah tidak me-nyukai orang-orang yang me-lampaui batas.” (Q.s. 2: 190). Firman-Nya lagi: “Barangsiapa yang menyerang kamu, maka seranglah ia, seimbang dengan serangannya terhadapmu. Bertak-walah kepada Allah dan keta-huilah, bahwa Allah beserta orang-orang yang bertakwa. Dan jika kamu memberikan balasan, Maka balaslah dengan Balasan yang sama dengan siksaan yang ditim-pakan kepadamu. Akan tetapi jika kamu bersabar, sesungguhnya Itulah yang lebih baik bagi orang-orang yang sabar.” (Q.s. 16:126).
Perang itu kejam, dan darah mengucur, tetapi ketidakadilan tidak bisa dibiarkan tanpa hukum-an. Tindakan kaum musyrikin yang melampaui batas dan kejam harus dilawan, walaupun peperangan sering tidak disukai oleh manusia. Perang melawan kaum kafirin (AS dan sekutu-sekutunya) harus dilakukan sebagai kewajiban agar kedudukan seimbang. Demikian kata Imam Samudra seraya me-ngutip firman Allah: “Diwajibkan atas kamu berperang, padahal berperang itu adalah sesuatu yang kamu benci. boleh Jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia Amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui”. (Q.s. 2: 216).
Tahapan Jihad. Imam Sa-mudra mengklaim bahwa operasi Bom Bali I dilakukan dengan memperhatikan tahapan jihad. Ia merujuk pada buku Tarbiyah Jihadiyah karya Syekh Asy Syahid Abdullah Azzam dan Tafsir Ibn Katsir. Tahapan jihad adalah: Per-tama, tahapan menahan diri. Me-nahan diri sebagaimana dipraktek-kan oleh Rasulullah dan kaum muslimin ketika merasakan siksa-an kaum musyrikin. Walaupun penganut Al-Kitab (Yahudi dan Kristen) serta kaum Musyrik melakukan pemkasaan kepada kaum Muslim, kaum Muslim diperintahkan shalat, zakat, dan memaafkan kekejaman mereka (Q.s. 2:109; 4:77). Ini adalah periode kafful yad, yaitu periode menahan diri. Tahapan kedua adalah Diizinkan berperang, yaitu apabila penyiksaan dan kekejaman semakin bertambah sebagaimana firman Allah:
      •                     ••                       
“Telah diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi, karena Sesungguhnya mereka telah dianiaya. dan Sesungguhnya Allah, benar-benar Maha Kuasa menolong mereka itu, (yaitu) orang-orang yang telah diusir dari kampung halaman mereka tanpa alasan yang benar, kecuali karena mereka berkata: "Tuhan Kami hanya-lah Allah". dan Sekiranya Allah tiada menolak (keganasan) sebagian manu-sia dengan sebagian yang lain, tentulah telah dirobohkan biara-biara Nasrani, gereja-gereja, rumah-rumah ibadat orang Yahudi dan masjid- mas-jid, yang di dalamnya banyak disebut nama Allah. Sesungguhnya Allah pasti menolong orang yang menolong (agama)-Nya. Sesungguhnya Allah be-nar-benar Maha kuat lagi Maha per-kasa” (Q.s. 22:39-40).
Tahapan ketiga adalah kewajiban melawan dengan pe-rang yang terbatas (Q.s. 2:190; 2:216). Tahapan keempat adalah kewajiban memerangi seluruh kaum kafir dan musyrik, “…maka bunuhlah orang-orang musyrik itu di manapun kamu jumpai mereka…” (Q.s. 9:5).
•                                    •    
“Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, da-lam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di an-taranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri ka-mu dalam bulan yang empat itu, dan perangilah kaum musyrikin itu se-muanya sebagaimana merekapun memerangi kamu semuanya, dan ketahuilah bahwasanya Allah beserta orang-orang yang bertakwa” (Q.s. 9:36).
Imam Samudra juga me-ngutip sebuah hadits: ”Ketahuilah bahwa surga adalah di bawah bayangan pedang-pedang” (H.R. Bukhari dan Muslim).
Walaupun Imam Samudra menyadari terdapat banyak kri-tikan terhadap penggunaan ayat-ayat dan hadits di atas, namun empat tahapan jihad di atas ada-lah hukum final mengenai jihad bahkan mengandung perintah jihad secara opensif. Jihad itu ha-rus dilakukan oleh kaum muslimin sampai tidak ada lagi kemungkaran di muka bumi dan sampai agama Allah unggul di atas agama lain (Q.s. 9:33; 61:9).
Adapun mengenai aksi bom bunuh diri Imam Samudra men-dapat pembenaran pada beberapa hadits dan ayat Al-Qur’an. Ia merujuk pada kitab karya Ibn Nuhas yang memuat 16 hadits tentang aksi beberapa orang yang menyerang musuh tanpa menghi-raukan keselamatan dirinya. Aksi ini sesuai dengan ayat Al-Qur’an yang pernah dibacakan Abu Hurairah di hadapan orang ramai, “(Tetapi) ada juga di antara ma-nusia yang mengorbankan dirinya untuk mencari keriudhaan Allah…” (Q.s. 2:207). Karena itu, menurut-nya operasi bunuh diri, istimata atau istisyhad adalah sah. Bahkan bila merujuk pada Ibn Nuhas, aksi demikian menurut Imam Samudra bahkan sangat dianjurkan.
Menurut Muhammad Haniff Hassan pengarang Pray to Kill, ada beberapa pandangan ulama yang mirip dengan pandangan Imam Samudra. Di antara pandangan yang mirip berasal dari Majid Khudduri, Abdul Karim Zaidan dan Sayyid Qutb yang membagi dunia ini kepada Dar al-Islam (negeri Islam) dan Dar al-Harb (negeri Perang). Perspektif ini melahirkan, dalam pandangan Imam Samudra, kawan dan lawan atau perspektif “binary”, di mana Dar al-Islam di-wajibkan berperang melawan Dar al-Harb.

Tanggapan Muhammad Haniff Hassan
Menanggapi dalil-dalil dan pendapat Imam Samudra di atas, Muhammad Haniff bin Hassan menyampaikan tanggapan bahwa dasar hubungan Muslim dan non-Muslim dalam Islam adalah keda-maian dan keharmonisan, bukan jihad (perang). Muhammad Haniff bin Hassan mengemukakan bebe-rapa prinsip sebagai berikut: Pertama, Islam adalah agama yang mencintai kedamaian (Q.s. 8:61): “Dan jika mereka condong kepada perdamaian, Maka condonglah kepadanya dan bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Dia-lah yang Maha mendengar lagi Maha mengetahui”. Kedua, Islam adalah agama rahmat bagi semua umat manusia (Q.s. 21:107). Nabi bersabda, “Mereka yang tidak me-ngasihi sesama, maka Allah tidak mengasihinya” (H.R. Bukhari dan Muslim). Ketiga, Islam menghor-mati dan menghargai semua ma-nusia (Q.s. 17:70) dan Q.s. 5:32: 32. “Barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan dimuka bumi, Maka seakan-akan Dia telah membunuh manusia seluruhnya dan Barang-siapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, Maka seolah-olah Dia telah memelihara ke-hidupan manusia semuanya. dan Sesungguhnya telah datang kepa-da mereka Rasul-rasul Kami dengan (membawa) keterangan-keterangan yang jelas, kemudian banyak diantara mereka sesudah itu sungguh-sungguh melampaui batas dalam berbuat kerusakan dimuka bumi.” Prinsip keempat tidak ada paksaan dalam ber-agama (Q.s.2:256) dan ayat: “Dan jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang di muka bumi seluruhnya. Maka Apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang ber-iman semuanya” (Q.s. 10:99). Kelima, Islam memperbolehkan pernikahan dengan perempuan ahli kitab (Q.s. 5:5). Tujuan pernikahan adalah dalam rangka mencapai cinta dan ketenangan bukan permusuhan dan keben-cian. Keenam, Islam mewajibkan kepada Muslim untuk mendak-wahkan ajaran Islam dengan hikmah dan pelajaran yang baik (Q.s. 16:125) dan bukan dengan rasa benci dan permusuhan. Ke-tujuh, Allah menciptakan manusia berbeda-beda, termasuk keragam-an akidah dan agama. Namun keragaman itu tidah menjadi sumber konflik, tetapi kesempatan untuk saling mengenal (Q.s. 49:13).
Muhammad Haniff Hassan juga merujuk pada Syekh Faisal Wawlawi mengenai beberapa tipe relasi Muslim dan non-Muslim: Perkenalan, hidup berdampingan (co-existence), dan saling mem-bantu. Muhammad Haniff bin Hassan juga menanggapi ayat-ayat Al-Qur’an yang digunakan Imam Samudra untuk membanarkan perbuatannya. Menurut Muham-mad Haniff bin Hassan ayat-ayat al-Qur’an yang dipakai Imam Samudra tidak sesuai dengan konteks dari pewahyuannya. Imam Qurthubi dan At-Tabari menunjukkan pandangan Mujahid bahwa (“Musuhmu) tidak akan berhenti memerangi kamu (2:217) diwahyukan karena kekejaman suku Quraisy Mekah terhadap Muslim.
Ayat-ayat Al-Qur’an yang digunakan Imam Samudra setelah dilakukan penelitian dan meng-ikuti metodologi yang standar sehingga tidak sembarangan da-lam menerapkannya. Misalnya ayat mengenai perintah perang, dalam aplikasinya dan contoh masa Nabi dan Khulafaur Rasyidin tidak setiap individu boleh me-nyatakan keadaan perang tetapi deklarasi perang itu dilakukan oleh Negara atau khalifah. Jadi, ayat-ayat Al-Qur’an diaplikasikan tidak sembarangan namun ada prose-dur-prosedur dan metodologinya. Pandangan yang muktabar dari mayoritas ulama bahwa semua ayat mengenai jihad (termasuk yang dijadikan dalil oleh Imam samudra), tidak dapat diinter-pretasikan sendiri-sendiri. Semua ayat mengenai jihad dalam Al-Qur’an perlu dipelajari secara menyeluruh untuk memperoleh pengertian yang sebenarnya. Ayat Al-Qur’an yang memerintahkan memerangi kaum musyrikin, mi-salnya Q.s. 9:36), “Dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana mereka memerangi kamu..”, tidak dapat digeneralisir terhadap semua non-Muslim seperti Ahli Kitab, namun ayat ini bertalian dengan kaum Musyrikin Quraisy sebagaimana dalam asbab al-nuzul-nya ayat tersebut. Bah-kan walaupun terhadap kaum Musyrikin pun bila terikat pada perjanjian dilarang memerangi mereka sebagaimana firman-Nya: “Kecuali orang-orang musyrikin yang kamu telah mengadakan perjanjian (dengan mereka) dan mereka tidak mengurangi sesuatu pun (dari isi perjanjian)mu dan tidak (pula) mereka membantu seseorang yang memusuhi kamu, Maka terhadap mereka itu pe-nuhilah janjinya sampai batas waktunya. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaqwa” (Q.s. 9:4).
Mengenai pembagian dunia menjadi Dar al-Islam (Negara Islam) dan Dar al-Harb (Negara Perang) menurut Tariq Ramadan dalam bukunya To Be a European Muslim, konsep tersebut tidak ditemukan dalam Al-Qur’an dan Sunnah. Keduanya sebenarnya tidak berakar pada sumber-sumber dasar Islam yang prinsip-prinsipnya dipersembahkan bagi seluruh dunia (lil ‘alamin), me-nembus batas waktu dan geografis. Bila pun ada pem-bagian wilayah tersebut tidak berarti harus membuat permu-suhan dengan non-Muslim. Tariq Ramadan juga mengatakan bahwa konsep Dar al-Islam dan Dar al-Harb sudah tidak sesuai dalam dunia yang telah berubah menjadi sebuah desa dan perubahan yang semakin kompleks….adalah mus-tahil untuk terus berpegang ke-pada pandangan lama yang bersifat simplistik dan ‘binary’. Perspektif demikian bias mem-bawa kepada kesalahan yang besar dalam menganalisa dunia hari ini.
Demikianlah tanggapan Muhammad Haniff Hassan terhadap pendapat Imam Samudra tentang jihad dan bom bunuh diri.
Sejak Imam Samudra me-luncurkan buku memoirnya, Aku Melawan Teroris, Kritikan datang dari berbagai pihak bahkan dari orang-orang yang selama ini dikategorikan Islam garis keras seperti Jafar Umar Thalib dan Abu Bakar Ba’asyir. Inti kritikan dari kedua orang ini adalah bahwa karena kurangnya ilmu dalam bi-dang agama maka Imam Samudra bisa saja “sesat” dalam pendapat-pendapatnya tentang jihad dan bom Bali. Akibat emosi yang tidak didukung dengan ilmu maka men-jerumuskan dia kepada berbagai penyimpangan-penyimpangan pe-mahaman yang demikian parah dan inilah sesungguhnya bukti bahwa sungguh besar dosa ketika orang yang berilmu tetapi tidak beramal dengan ilmunya atau orang yang beramal tetapi tidak didasarkan amalnya itu atas ilmu”
Jihad Menurut Ibn Rusyd dan Imam Taqiyddin Abu Bakar
Ibn Rusyd dalam Bidayah al-Mujtahid fi Nihayah al-Muqtashid menjelaskan tentang jihad. Ia mengidentikan jihad dengan pe-rang. Ia menjelaskan tugas ber-jihad dan pelakunya, siapa yang wajib berjihad, yang boleh dirampas, syarat perang, hukum berdamai, tujuan memerangi orang kafir dan mengenai harta rampasan perang. Menurut Ibn Rusyd, hukum berjihad menurut ijma ulama adalah fardhu kifayah, bukan fardhu ‘ain. Sedang me-nurut Abdullah bin al-Hasan ada-lah sunat. Fardhu kifayah ber-dasarkan Q.s. 9: 122): “Tidak sepatutnya orang-orang mukmin itu pergi semuanya ke medan perang”. Adapun yang wajib berjihad itu adalah orang mer-deka, dewasa, mampu, sehat, tidak berpenyakit kronis dan izin orang tua. Adapun mengenai sya-rat perang adalah perang dapat dilaksanakan apabila orang kafir yang akan diperangi itu telah menerima dakwah Islam dan ajakan itu dilakukan berulang-ulang. Apabila mereka menolak maka boleh diperangi. Pihak mus-limin juga boleh melakukan perdamaian bila langkah damai tersebut membawa maslahat bagi kaum muslim. Demikian pula boleh mengikat perjanjian yang menurut Syafi’i maksimal sepuluh tahun. Adapun tujuan peperangan adalah agar mereka mau masuk Islam atau mau membayar jizyah (Q.s. 9:29).
Sebagaimana Ibn Rusyd dari mazhab Maliki, Imam Taqiyuddin Abu Bakar dari mazhab Syafi’i juga mengidentikan jihad dengan pe-rang. Memang dalam kitab-kitab fiqih, nampaknya jihad identik dengan perang. Menurut Imam Taqiyuddin jihad adalah fardhu kifayah sebagai kalau fardhu ‘ain akan terbengkalai urusan penghi-dupan dan pertanian, dan run-tuhlah Negara. Jihad di sini adalah menjaga batas-batas negeri de-ngan mengangkat sejumlah orang untuk mempertahankan diri dari serangan musuh. Jihad di sini berarti depensif. Kedua, peme-rintah (imam) memasuki negeri kafir dengan dengan mengirim pasukan dan orang-orang Islam yang memenuhi syarat. Setidak-nya wajib mengadakan jihad setahun sekali atau lebih bila diperlukan. Demikian keterangan Imam Taqiyuddin dalam kitabnya Kifayah al-Akhyar.
Bila merujuk pada hukum jihad menurut dua ulama di atas dan juga ulama-ulama lainnya, maka jihad hukumnya fardhu ‘ain sebagaimana dikemukakan oleh Imam Samudra tidak ada dasar-nya dalam fiqih. Bila jihad diarti-kan sebagai perang dan hukumnya fardhu ‘ain (kewajiban setiap individu), maka urusan lain akan terbengkalai karena setiap orang berangkat ke medan perang. Pendapat Imam mengenai hukum jihad (qithal) fardhu ‘ain juga tidak ada dasarnya dalam Al-Qur’an, sunnah dan ijma para ulama baik itu ulama salaf (terdahulu) mau-pun ulama khalaf (belakangan).
Jihad Menurut Gamal al-Banna
Dalam bukunya Jihad, Gamal al-Banna bahwa telah terjadi kesalahpahaman yang me-nempatkan bahwa jihad sama de-ngan qital. Padahal, antara jihad dengan qital jelas berbeda makna-nya. Makna jihad menunjukkan kandungan tertentu yang memiliki pengertian sebagai sebuah alat atau tujuan yang bisa meng-hantarkan pada tujuan ibadah, yaitu kebebasan berakidah dan kebebasan diri. Sementara qital yang berarti “pembunuhan” meru-pakan perbuatan menumpahkan darah, menyia-nyiakan hidup, dan mempecundangi orang lain.
Gamal Al Banna mengatakan bahwa semua kata jihad yang ada dalam alquran adalah mengacu pada makna mencurahkan sege-nap usaha. Makna ini tidak terbatas pada salah satu bidang dengan meninggalkan bidang yang lain, bahkan makna ini mesti dijadikan sebagai sebuah prinsip hidup, pedoman, karakter, serta perilaku dan prinsip tersebur sa-ngat sesuai dengan prinsip jihad yang terdapat dalam Islam. Beliau berpendapat bahwa jihad dengan cara yang dilakukan dengan pe-rang sebagaimana yang pernah terjadi pada masa nabi adalah merupakan sebuah “kewajiban yang telah hilang”(al faridhah al gharibah).
Yang menarik, dalam pan-dangan Gamal al-Banna, jihad hari ini tidaklah mengharuskan kita untuk mati di jalan Allah, akan te-tapi bagaimana supaya kita bisa hidup di jalan Allah. Jihad pada masa awal-awal islam, baik masa kenabian, khulafaur rasyidin ada-lah menghadapi kekuatan kisra dan kekaisaran dengan paham kasta yang membuat rakyat tertindas. Sehingga jihad paling penting waktu itu adalah me-ngembalikan hak kemerdekaan rakyat dengan berpolitik dengan menumbangkan penjajahan yang dilakukan oleh kaum penindas, sementara saat ini jihad yang tepat untuk kita perjuangkan adalah pembebasan negeri dan rakyat dari cengkeraman subordi-nasi ekonomi, keterbelakangan, keterpurukan serta bagaimana bisa menyikapi arus globalisasi. Karena itu bila motto masa dahulu “siapa yang mau berbaiat padaku untuk mati di jalan Allah”, maka motto jihad sekarang adalah “sia-pa yang mau baiat padaku untuk hidup di jalan Allah”.

Jihad Menurut Yusuf Qardhawi
Yusuf Qardhawi termasuk dalam jajaran ulama moderat, tapi sering menjadi rujukan para pe-ngikut salaf. Dalam bukunya Fiqih Jihad. Dalam bukunya yang di-nyatakan lahir dari kegelisahan Qardhawi terhadap aksi-aksi keke-rasan selama ini dinyatakan pen-dapat-pendapat Qardhawi menge-nai jihad. ” Oleh karena itu, saya condong untuk tidak memperluas cakupan fi sabilillah dengan men-cakup seluruh perbuatan baik dan bermanfaat, sebagaimana saya juga tidak mempersempit cakup-annya sehingga tidak terbatas ke-pada jihad yang berarti pepe-rangan secara militer saja. Ka-dang-kadang jihad itu meng-gunakan pena dan lisan seba-gaimana juga menggunakan pe-dang dan tombak. Kadang-kadang jihad berbentuk pemikiran, pen-didikan, sosial, ekonomi atau politik sebagaimana kadang ber-upa militer.
Juga berkata,” Sesungguhnya yang terpenting dan pertama kali dianggap fi sabililillah saat ini adalah bekerja dengan sungguh-sungguh untuk memulai kehi-dupan Islami dan benar, dite-rapkan di dalamnya seluruh hu-kum Islam baik itu aqidah, pe-mahaman, syiar-syiar, akhlaq dan adat istiadat/budaya.
Menurut Yusuf Qardhawi, sesungguhnya mendirikan pusat-pusat dakwah, untuk menyeru kepada agama Islam yang benar, menyampaikan risalahnya kepada selain kaum muslimin di seluruh benua di dunia ini yang mana berbagai agama dan aliran saling bertarung adalah jihad fi sabilillah.
Pandangan Yusuf Qardhawi mengenai jihad yang bukan saja dalam arti perang mengangkat senjata, mendapatkan banyak kri-tik apalagi ketika Yusuf Qardhawi menyebut kelompok Al-Qaeda sebagai pihak yang paling ber-tanggung jawab atas menyebar-nya Islam garis-keras di Dunia Islam. Qardhawi secara terang-terangan mengecam sikap Al-Qaeda yang menyatakan perang secara terbuka kepada dunia. Menurut para pengkritiknya bah-wa atas dasar-dasar Al Qur’an, As sunah dan pendapat para ulama salaf yang menyimpulkan makna syar’i dari kata jihad adalah pe-rang melawan orang-orang kafir. Ini makna asasi dan pokok dari kata jihad. Meski demikian ada makna lain dari kata jihad ini seperti jihad melawan hawa nafsu, jihad dengan lisan, harta dan makna sekunder lainnya.
Namun apabila kita membaca buku Fiqih Jihad karya Yusuf Qardhawi, beliau tidak meng-ingkari jihad dalam arti qithal (perang). Jihad dalam arti perang memang diakui oleh Islam, namun hal itu tidak meniadakan anjuran Islam untuk menebarkan per-damaian dan sebisa mungkin menghindarkan orang-orang mus-lim dari peperangan serta meng-hindari motif-motif perang demi pemaksaan agama dan semata-mata perang demi motif eko-nomi. Selain itu ada syarat-syarat lain melakukan perang sebagai-mana dirinci dalam kitab-kitab fiqih.
Dalam kaitannya dengan bom bunuh diri, Yusuf Qardhawi bah-kan mengabsahkan bom bunuh diri (istisyhadiyyah) khusus di Palestina sebagai perlawanan ter-hadap zionis Israel. Yusuf Qar-dhawi menegaskan:
“Praktik bom bunuh diri (istisy-hadiyyah) yang dilakukan kelom-pok-kelompok perlawanan Pa-lestina untuk melawan pendu-dukan Zionis, termasuk ke dalam bentuk teror (irhab) yang dila-rang dengan alas an apapun, walaupun yang menjadi korban adalah penduduk sipil. Hal ini dapat dibenarkan dengan bebe-rapa alas an sebagai berikut: Pertama, rakyat Israel yang telah melewati masa kanak-kanak, baik laki-laki maupun perem-puan adalah militer seluruhnya yang bias dipanggil pada saat perang. Kedua, rakyat Israel me-miliki kekhasan dari masyarakat lainnya, yakni masyarakat aggre-ssor yang datang dari luar wilayah untuk menduduki tanah air yang bukan milik mereka. Ketiga, bahwa syariat Islam menyebut sifat non-Muslim de-ngan dua sifat, yakni yang berdamai atau yang memerangi. Zionis merupakan non-Muslim yang memerangi atau harbiyyun (musuh yang memerangi) yang wajib pula diperangi. Keempat, bahwa para ahli fiqih sepakat tentang bolehnya membunuh sesama Muslim yang dijadikan perisai hidup dan menempatkan mereka di barisan depan. Jika membunuh orang-orang Islam tak berdosa yang dipaksa melin-dungi musuh saja dibolehkan maka membunuh non-Muslim untuk membebaskan tanah kaum Muslim dari penjajahan orang-orang zalim lebih pantas dan lebih layak untuk diboleh-kan. Kelima, dalam perang mo-dern seluruh rakyat dimobilisasi untuk membantu perang sehing-ga dapat mengalahkan musuh-nya termasuk bom bunuh diri yang dilakukan rakyat terjajah diperbolehkan. Keenam, dalam kondisi darurat di mana tidak memiliki senjata yang dapat mengancam dan membinasakan musuh, maka “bom manusia”, yakni pemuda yang membawa bom dan meledakkan diri di samping musuhnya, itu diper-bolehkan.”

Demikian pendapat Yusuf Qardhawi mengenai bom bunuh diri di Palestina. Yusuf Qardhawi memperingatkan bahwa aksi bom bunuh diri di tempat lain dengan menganalogikan kondisi di Pales-tina tidak pada tempatnya dan tidak dapat diterima oleh syari-’at. Dengan demikian, bila me-rujuk pada pendapat Yusuf Qardhawi itu, aksi bom bunuh diri di Indonesia atau di tempat lain selain Palestina/Israel tidak sesuai dengan syari’at Islam.

Kesimpulan
Imam Samudra mengemu-kakan bahwa “jihad” itu berarti perang melawan orang-orang kafir yang dapat dilakukan secara defensif dan opensif. Ia men-dasarkan “ijtihad”-nya pada ayat-ayat Al-Qur’an dan hadits-hadits Nabi Muhammad saw. Menu-rutnya, kewajiban jihad itu tetap berlaku sampai kemung-karan lenyap dari muka bumi dan tegaknya keunngulan agama Allah di atas agama-agama lainnya. Di masa kini, kaum Muslim wajib berperang terutama di saat umat Islam berada dalam kekejaman “kaum kafirin” Amerika dan sekutu-sekutunya. Dunia terbelah menjadi Dar al-Islam dan Dar al-Harb dan kaum Muslim yang berada di Dar al-Islam memerangi kaum kafir yang berada di Dar al-Harb sampai mereka mengakui kebenaran Islam dan berada di dalam wilayah kekuasaan Dar al-Islam.
“Ijtihad” Imam Samudra berikut dalil-dalilnya dibantah oleh Muhammad Haniff Hassan dalam bukunya Pray to Kill. Menurutnya, ayat-ayat yang dipakai Imam Samudra untuk membenarkan aksi Bom Bali I tidak sesuai dengan konteksnya dan terlalu men-generalisir karenanya tidak sesuai dengan metodologi para ulama mayoritas. Menurutnya pula, bah-wa ayat-ayat Qur’an dan juga hadits-hadits Nabi saw. Hen-daknya ditafisrkan secara benar dan komprehensif sehingga akan diperoleh tafsiran yang sebenar-nya mengenai jihad. Selain itu, “ijtihad” Imam Samudra yang menempatkan non-Muslim secara keseluruhan sebagai musuh yang harus diperangi bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam yang mengajarkan kedamaian, tole-ransi, menghargai perbedaan dan menjadi rahmat bagi seluruh alam.
Nampaknya sanggahan M. Haniff Hassan juga didukung oleh Gamal al-Banna dalam bukunya Jihad dan Yusuf Qardhawi dalam bukunya Fiqih Jihad. Baik Gamal al-Banna maupun Yusuf Qardhawi tidak setuju kalau jihad hanya dimaknai sebagai perang (qithal). Memang diakui bahwa para ulama ahli fiqih seperti Ibn Rusyd dan Imam Taqiyuddin mengidentikkan jihad dengan perang (qithal), namun bila merujuk kepada ayat-ayat Al-Qur’an dan hadits-hadits Nabi, kata jihad juga memiliki makna umum (amm), selain makna khash (khusus), yakni perang. Bila istilah jihad dimaknai hanya sebagai qithal, maka akan menghilangkan makna jihad se-cara umum tadi yang jelas-jelas bahwa dalam Al-Qur’an dan hadits jihad bukan saja perang tetapi juga memiliki makna yang lain, seprti jihad melawan hawa nafsu, menuntut ilmu sebagai jihad, dan sebagainya. Menurut Ibn Qayyim, jihad itu ada jihad melawan hawa nafsu, jihad melawan syetan, jihad memerangi kaum kafir dan muna-fik, dan jihad melawan kezaliman dan kefasikan.
Selain itu, bila jihad hanya dimaknai perang akan mem-perkuat kesan negatif terutama dari dunia Barat, bahwa jihad identik dengan perang atau kekerasan. Dengan demikian, semakin memperkuat citra Islam sebagai agama yang disebarkan dengan “pedang”, mengedepan-kan kekerasan, mensahkan tindakan teror (ihrab) terutama mensahkan bom bunuh diri.
Bom bunuh diri menurut Yusuf Qardhawi diperbolehkan hu-kumnya khusus di Palestina. Adapun menurut Imam Samudra bom bunuh diri di manapun orang kafir berada merupakan tindakan yang sah, bahkan dianjurkan sebagai “jihad” melawan “orang kafir”. Namun menurut Islam moderat seperti Yusuf Qardhawi dan Gamal al-Banna, bom bunuh diri ala Imam Samudra cs. sebagai tindakan yang tidak ada dasarnya dari sumber-sumber Islam, ber-tentangan dengan ijtihad para ulama mayoritas dan tidak sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan serta misi Islam sebagai agama yang cinta damai, toleran dan rahmat bagi segenap manusia. Wallahu a’lam.


Daftar Rujukan


Azis, Abdul alias Imam Samudra alias Qudama, Aku Melawan Teroris, Editor Bambang Sukirno, Penerbit Jazeera, 2004.
Al-Banna, Gamal, Jihad, Jakarta: Mata Air Publishing, 2006.
Al-Husaini, Imam Taqiyuddin Abu Bakar bin Muhammadi, Kifayah al-Akhyar, (diterjemahkan oleh K.H. Syarifuddin Anwar dan K.H. Mishbah Musthafa), Bab Jihad, Jilid 2, Surabaya: Bina Ilmu, Tanpa Tahun.
Armstrong, Karen, Berperang Demi Tuhan: Fundamentalisme dalam Islam, Kristen dan Yahudi, penerjemah Satrio Wahono, Mu-hammad Helmi, dan Abdullah Ali, Jakarta: Serambi, Bandung: Mizan, 2001.
Barr, James, Fundamentalisme, Jakar-ta: PT BPK Gunung Mulia, 1996.
Bellah, Robert N., Beyond Belief Esei-esei tentang Agama di Dunia Modern, Jakarta: Paramadina, 2000.
Hassan, Muhammad Haniff, Pray to Kill, Jakarta: Grafindo Khazanah Ilmu, 2006.
Ibn Rusyd, Muhammad, Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muq-tashid, Bab al-Jihad, Beirut: Dar al-Jiil, 1409 H./1989 M.
Imarah, Muhammad, Fundamen-talisme Dalam Perspektif Barat dan Islam, Gema Insani Press, 1999.
Mahendra, Yusril Ihza, Modernisme
dan Fundamentalisme dalam Politik Islam, Jakarta: Paramadina, 1999.
Moussali, Ahmad S., Moderate and Radical Islamic Fundamentalism: The Quest for Modernity, Legit-imacy, and the Islamic State, 1999.
Qardhawi, Yusuf, Fiqih Jihad, Ban-dung: Mizan, 2010.
Qutb, Sayyid, Milestones, diterje-mahkan dari edisi Arab, Ma’alim al-Thariq, Maktabah Publishers, 2007.
Qutb, Sayyid, In the Shade of the








Qur'an, diterjemahkan dari edisi Arab Fi Zilal al-Qur’an oleh M.A.
Salahi and A.; A. Shamis, Mark-field, Leicester, and Nairobi, Kenya: The Islamic Foundation 1999.
Rahman, Fazlur, Gelombang Peru-bahan dalam Islam: Studi tentang Fundamentalisme Islam, Jakarta: Rajawali Press, 2000.
Sagiv, David, Islam Otentisitas Liberalisme, Yogyakarta: LKis, 1995.
Tibi, Bassam, The Challenge of Funda-mentalism: Political Islam and the New World Disorder, Berkeley, Los Angeles, London: University of California Press, 1998.
Watt, William Montgomery, Funda-mentalime Islam dan Modernitas, Jakarta: PT RajaGrafido Persada, 1997.
www.oocities.com/tau_jih/c-jhdqardawi.htm.
www.hidayatullah.com.
www.islamlib.com.


Hukum Jihad dan Terorisme: Perspektif Al-Qur’an
H. Ma'mun Efendi Nur


Abstract: According to the Holy Qur’an, The word 'jihad' itself is usually translated as 'struggle' or 'effort' and most broadly defined as "striving in the way of God". This can either be understood as a 'fight' against one's own spiritual shortcomings (what some have called the 'greater jihad'), or as a physical struggle for the sake of the Islamic community (the 'lesser jihad'). This article explores about jihad and terorism in the Qur’anic prspective. From this article we know that jihad is not same with terrorism. Jihad is not only war and terrorism is manifestation of violent. The essence of Islamic values, according to Qur’an that terrorism is not permitte and there is no base on the Qur’an. Jihad is one of the main duty of Muslim but terrorism is forbidden of Islamic values.



Pendahuluan
Salah satu persoalan serius yang harus segera dijawab umat Islam saat ini adalah menunjukkan seberapa relevan konsep Islam "رحمة للعلمين/sebagai agama ramat" bisa dijadikan alat sekaligus solusi atas berbagai persoalan sosial kemanusiaan kontemporer; kemis-kinan, keterbelakangan, dan keti-dakberdayaan menghadapi peru-bahan-perubahan global (ekono-mi, politik, pertahanan maupun keamanan). Pasalnya, konsep Is-lam sebagai rahmatan lil ‘alamin yang bergema sejak 15 abad yang silam, hingga kini tak henti-hen-tinya dipertanyaan berbagai pihak, mengingat realitas yang ver-kembang justru menunjukkan umat Islam berada dalam kondisi yang memprihatinkan; miskin, ter-belakang, dan lemah dalam segala hal.
Kehadiran fenomena-feno-mena tersebut, ikut mewarnai di-namika Islam selama ini telah menyedot perhatian dan meng-habiskan energi pikir dari kalangan intelektual . Karena fenomena yang hadir itu menjadi diskursus aktual yang tidak pernah mem-bosankan untuk dibicarakan. Hal ini dapat kita lihat fenomena yang membawa “perselingkuhan” anta-ra agama dan realitas sosial itu menjadi komoditi media dan Pub-lik .
Fenomena perintah Jihad, misalnya. Disatu sisi, Islam seolah-olah membenarkan kekerasan. De-ngan adanya doktrin jihad yang dipahami oleh sebagian ulama hanya sebagai tindakan meng-angkat pedang terhadap musuh Islam, dan juga adanya perintah perang. Di sisi yang lain sangat menekankan perdamaian. Padahal perang dalam Islam hanya meru-pakan salah satu aspek dari jihad yang pengertian dasarnya adalah melawan keburukan, baik yang ada dalam individu maupun ma-syarakat. Sayyid Qutub, pemikir Muslim paling berpengaruh abad ke-20, melihat jihad sebagai perjuangan melawan penindasan di mana pun berada. Jihad tidak boleh dipakai untuk memaksa orang memeluk Islam, tetapi untuk membebaskan mereka dari penin-dasan, tanpa memandang agama yang mereka anut. Namun demi-kian, tetap saja ada strotipe yang buruk mengenai Islam di Barat. Islam dipandang sebagai problema yang mengherankan, karena seca-ra langsung ia telah menantang keyakinan dasar agama Kristen dan melawannya dalam claim sebagai risalah universal terakhir bagi umat manusia .
Terlebih setelah terjadinya tragedi Sabtu Kelabu 11 Septem-ber 2001 (peledakan menara kem-bar Warld Trade Center -WTC- dan Pentagon) di New York, Amerika Serikat. Penyerangan teroris ini, tidak saja mengejutkan dan sangat memilukan. Karena Amerika de-ngan dalih dan berkedok teroris-me, menghalalkan segala cara untuk menguasai negara-negrara Muslim. Sekalipun belum terbukti siapa pelaku pemboman tersebut, Amerika secara membabi buta me-nuduh umat Islam sebagai pela-kunya. Dan tidak sekedar itu saja, Amerika juga telah membuat stig-ma yang mendalam bahwa Islam menjadi agama yang menakutkan di Barat.
Islam seakan-akan telah obok-obok oleh Barat. Beberapa tuding-an dan “stempel” serta tudingan yang sinis juga jelek dialamatkan terhadap Islam, bah-wa yang melakukan peledakan gedung tersebut adalah umat Islam, sehingga secara tidak langsung prasangka itu telah membangunkan “virus” yang kadang-kadang tidur tetapi tidak pernah benar-benar mati, menjadi hidup kembali. Barat menyerukan “crusade” atau “holy war” (perang suci) terhadap Islam yang dianggap sebagai green peril (bahaya hijau) -walaupun dalam tragedi ini sebenarnya tidak mengandung unsur holy warnya- . Hal yang sa-ma juga dilakukan pihak Islam, seruan “jihad”/perang melawan Amerika dan sekutunya. Dengan demikian telah terjadi konfrontasi total antara kedua kubu itu, sama-sama melancarkan serangan dalam bentuk kekerasan. Kubu yang satu melancarkan “jihad” dan kubu yang lain beralasan menumpas “terori-sme”, walaupun harus dengan cara “membajak” (mem-presure) bahasa demi melegalkan aksi kekerasannya .
Sehingga banyak penulis dan masyarakat Islam yang hidup di Amerika merasa batin dan rasa imannya terpukul, sebab dengan peristiwa tersebut, membuat me-reka marah dan malu, bahkan takut akan terus dikenang sebagai “horor peradaban”.
Sebenarnya pencitraan Barat yang buruk terhadap Islam ter-sebut tidak hanya terjadi pasca tragedi WTC saja. Akan tetapi jauh sebelum itu, pencintraan negatif yang dialamatkan kepada Islam telah terjadi, seperti sejak Perang Salib. Pencitraan negatif itu lantas diejawantahkan dan dikristalkan dalam orientalis/Islamolog) yang dilakukan Barat untuk memahami atau bahkan menelanjangi Islam. Bagi Barat melalui islamolog, Islam adalah "the work of devil", al-Qur’an adalah "a tissue of ab-surdities" dan Nabi Muhammad adalah "a fals prophet", "a im-postor", atau "antichrist" .
Orientalis/Islamalog beranjak dari kajian ilmiah yang diselubungi oleh berbagai kepentingan dan mengkristal ketika terjadi Perang Salib di Palestina dan Syam dan reconquista (perebutan Spanyol ke dalam kekuasaan Barat Kristen). Jadi, diakui atau tidak, suasana pe-perangan atau rivalitas ideologis dan budayalah yang menjadi salah satu latar belakang munculnya orientalisme ini. Oleh karena itu, dapat dimengerti jika kemudian jika dalam perjalanan sejarah, Orientalis diwarnai oleh sejarah “dendam” dan hasrat penguasaan terhadap budaya lain, yang sebe-lumnya dianggap sebagai ancaman bagi eksistensi bangsa Barat .
Dari sinilah, tantangan agama menjadi semakin kompleks yang tidak bisa dijawab sekenanya, na-mun dibutuhkan empati agar fokus persoalan menjadi lebih trans-paran. jihad, terorisme, fundamen-talisme, sekuler, radikalisme, libe-ralisme dan sebagainya merupa-kan persoalan yang cukup menyu-litkan posisi agama dalam batas-batas kemapanan tradisionalnya. Terhadap persoalan-persoalan ter-sebut agama perlu “keluar dari dirinya sendiri” untuk mengenali problem di dalam maupun di luar agama. Dengan begitu, akan bisa menghindarkan agama menjadi rumus idealitas menara gading, namun sekaligus mampu mem-bumi sesuai fitrah asalnya .
Maka, agenda yang kita bu-tuhkan kedepan adalah bagaimana mengembalikan al-Qur’an sebagai guide/petunjuk sesuai dengan esensi dan fungsinya. Langkah pertama menuju kesitu adalah dengan membuka wawasan dan membuang partikel-partikel yang tidak penting sehingga akan mam-pu melahirkan gagasan sistem nilai yang akan menjadi pedoman dalam hablun main Allah dan hablun min annas yang akan menghasilkan konsep-konsep luar biasa yang menjadi titik perhatian al-Qur’an, tentunya disamping tentang keimanan kepada Allah, tentang keimanan terhadap hari Akhir, tentang keimanan kepada Nabi-nabi, tentang keistimewaan manusia sebagai khalifah di muka bumi, dan tentang keutamaan terhadap nilai-nilai utama al-Qur’an dalam kedudukannya se-bagai sumber inspirasi -setiap pembahasan diupayakan selaras dengan apa yang diinginkan oleh al Qur’an-. Salah satunya adalah pengertian jihad dan teroris. Oleh karena itu, agar teks tetap hidup, ia harus ditafsirkan kembali ber-dasarkan konteksnya. Disini, terdapat tawar menawar yang ketat antara ayat qauliyyah (teks) dan ayat kauniyah (konteks). De-ngan cara seperti ini, universalitas teks akan senantiasa terjaga, disamping juga dalam pember-lakuannya akan lebih relevan dengan obyek situasi .
Dengan cara inilah al-Qur’an akan merealisasikan pesannya, dengan cara ini pula perubahan dikalangan masyarakat akan ter-cipta, tanpa pertumpahan darah atau pelanggaran terhadap sistem hukum. Akhirnya akan mendapat keutuhan pembahasan dan pengu-kuhan keimanan kita yang mem-punyai fungsi sebagai khalifah di muka bumi ini .

Pengertian Jihad dan Terorisme
I. Pengertian Jihad
Pengertian jihad secara baha-sa berasal dari bahasa Arab الجـهاد. Kata ini memiliki beberapa akar kata al-Juhd atau al-Jahd. Dalam kamus Lisan al-Arab -referensi otoritatif dalam kajian bahasa- disebutkan, الجهاد أي المشـقة (kesulitan). Sedangkan al-Juhd: al-Thaqah (kemampuan, kekuatan). Menurut al-Laits, al-Juhd dan al-Jahd satu arti, segala sesuatu yang diusahakan seseorang dari penderitaan dan kesulitan ما جاهد الإنسان من مرض وأمر شـاق . Al-Azhari, Ibn al-Kasir, dan al-Fara' me-nyebutkan makna lain dari kata ini, yaitu, الغـأيـة/tujuan dan al-Jidd/kesungguh-sungguhan, se-mentara al-Sya’bi berpendapat al-Juhd digunakan dalam kemam-puan dan kekayaan, sedangkan al-Jahd dalam pekerjaan al-‘Amal. Menurut Ibnu ‘Arafah al-Jahd dimaknai بـدل الوسـع/mengerahkan kemampuan, sedangkan al-Juhd dimaknai al-Mubalaghah wa al-Ghayah/berlebihan dan bertujuan .Wahbah al-Zuhaili dalam kitabnya الفـقـه الإسـلامي أدلتـه memberi pengertian bahwa Jihad menurut bahasa berasal dari kata juhd الجُهد yang berarti kemampuan, atau mengeluarkan sepenuh tenaga dan kemampuan dalam menger-jakan sesuatu. Kata jihad juga berasal dari kata jahdالجَهد yang berarti kesukaran yang untuk mengatasinya dilakukan dengan sungguh-sungguh. Jihad juga ver-arti perang .
Jihad secara leksikal berarti mencurahkan segala upaya dan kemampuan untuk mendapatkan sesuatu perkara yang sulit dan berat. Dalam hal ini jihad juga ber-arti menyampaikan nasehat yang benar di hadapan penguasa yang lalim .
Secara morfologis, kata jihad berasal dari kata kerja جاهـد - يجاهـد, yang berarti mencurahkan daya upaya atau bekerja keras, pe-ngertian ini pada dasarnya meng-gambarkan perjuangan keras atau upaya maksimal yang dilakukan oleh seseorang untuk menda-patkan sesuatu dan menghadapi sesuatu yang mengancam dirinya .
Ibnu Faris menjelaskan bah-wa setiap kata yang berinisial huruf hijaiyah ج هـ د pada dasarnya berarti kepayahan atau yang semakna dengannya. Sedang-kan menurut ar-Raghib al-Asfa-hani kata الجهاد dan المجاهدة berarti mencurahkan kemampuan dalam menghadapi musuh . Said Aqil Sirodj menerangkan bahwa Jihad berasal dari kata kerja “jahada”, berarti usaha atau upaya. Deri-vasinya, jahada, yajhadu, jahda, jihad, dan mujahadah. Maka membicarakan jihad berarti mem-bicarakan juga derivasi atau musy-taqqad-nya, yaitu ijtihad dan mujahadah. Baik jihad, ijtihad, maupun mujahadah berasal dari satu akar kata yang bermakna keseriusan dan kesungguh-sung-guhan .
Jadi, ber”jihad” adalah mem-bangun atau mengupayakan se-suatu yang bersifat fisik maupun non fisik. Sebutan lain, yakni ijtihad berarti usaha membangun sisi intelektualitas manusia, seperti ijtihad/nalar para ulama. Semen-tara mujahadah berarti upaya sungguh-sungguh dalam mem-bangun spiritualitas manusia. Da-lam perkembangannya kemudian, jihad mengarah pada pengertian tertentu yang menekankan se-suatu yang bersifat fisik atau material. Sedangkan ijtihad dan mujahadah penekanannya lebih pada non fisik atau immaterial. Masing-masing dari ketiganya ini menempati nilai dan posisi ter-sendiri dalam Islam. Dalam tradisi kesufian misalnya, ketiga-tiganya akan bisa membawa manusia pada tingkatan yang disebut “insan kamil” .
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jihad diterjemahkan sebagai, 1) usaha dengan segala daya upaya untuk mencapai ke-baikan, 2) usaha sungguh-sungguh membela agama Islam dengan mengorbankan harta benda, jiwa dan raga, 3) perang suci melawan orang kafir untuk memper-tahankan agama Islam .
Sedangkan menurut Ensiklo-pedi Islam Indonesia, Jihad makna asalnya ialah berbuat sesuatu secara maksimal, atau mengorban-kan segala kemampuan. Arti lain dari jihad ialah berjuang dengan sungguh-sungguh.
Adapun Jihad secara termino-logi sebagaimana yang dikemu-kakan oleh sebagian ulama me-miliki pengertian "mengerahkan segala kemampuan yang ada atau sesuatu yang dimiliki untuk menegakkan kebenaran dan kebaikan serta menentang keba-tilan dan kejelekan dengan mengharapkan ridha dari Allah"
Ahmad Warson Munawir da-lam Kamus Arab-Indonesia al-Munawwir mengartikan lafal jihad sebagai kegiatan mencurahkan segala kemampuan. Jika dirangkai dengan lafal fi sabilillah, berarti berjuang, berjihad, berperang di jalan Allah. Jadi kata jihad artinya perjuangan .
Hans Wehr dalam A Dictonary of Modern Written Arabic me-nerangkan, “Jihad: fight, battle, holy war (against the infidles as a relegious duty)”. Jihad ialah perjuangan, pertempuran, perang suci melawan musuh-musuh seba-gai kewajiban agama .
Hasan al-Banna sebagaimana dikutip Yusuf al-Qardhawi, menyebutkan, jihad adalah suatu kewajiban muslim yang berkelan-jutan hingga hari kiamat; tingkat terendahnya berupa penolakan hati atas keburukan atau kemung-karan dan tertinggi berupa jalan di jalan Allah. Di antara keduanya adalah perjuangan dengan lisan, pena, tangan berupa pernyataan tentang kebenaran di hadapan penguasa dzalim .
Sedangkan pengertian jihad di kalangan para ulama sering diarti-kan sebagai perang mengangkat senjata, melawan musuh yang tampak oleh panca indera manu-sia dan hal ini sering ditulis oleh para ulama fiqih. Tetapi, hal ini bukan berarti mereka berang-gapan bahwa jihad hanya memiliki makna perang. Sebenarnya mere-ka hanya mengartikan jihad hanya untuk memudahkan pembahasan dalam keadaan perang .
Menurut ulama tasawuf, kata jihad juga bisa diartikan meme-rangi hawa nafsu itu lebih berat dan lebih besar memerangi orang-orang kafir. Dalam kitab-kitab tasawuf disebutkan bahwa kata Mujahadah, berasal dari kata Al jihad, berarti mengeluarkan segala kesungguhan, kekuatan dan ke-sanggupan pada jalan yang di-yakini manusia bahwa jalan itulah yang hak dan benar. Tetapi kata tersebut juga dapat diartikan sebagai perang sabil, memerangi musuh-musuh dan membela diri dari serangan dan gangguan mereka .
Ibnu Atsir, seorang ahli ba-hasa terkenal menerangkan bahwa Al jihad berarti memerangi orang-orang kafir secara sungguh-sungguh dengan menghabiskan daya dan tenaga untuk meng-hadapinya, baik dengan perkataan atau perbuatan atau dengan harta benda. Dengan merujuk pada firman Allah swt (QS. At Taubah [9]: 20) .
Sedangkan jihad dengan pe-ngertian yang luas adalah ver-usaha meng-Islamkan orang-orang yang belum Islam dan merupakan suatu tanggung jawab setiap muslim .
Al-Raghib al Isfahani dalam kitab Mu’jam Mufradat li al-Fadz al Qur’an dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan jihad adalah mengerahkan segala kemampuan untuk menangkis serangan dan menghadapi musuh yang tidak tampak yaitu hawa nafsu setan dan musuh yang tampak yaitu orang kafir yang memusuhi Islam .
Dengan demikian arti jihad bukan saja berjuang dengan ver-perang, namun bisa juga berusaha dengan sungguh-sungguh. Jihad fi sabilillah berarti juga berusaha bersungguh-sungguh di jalan Allah , atau dengan kata lain, bahwa tiada jihad yang diridhai Allah kecuali jihad pada jalan Allah (QS. Al-Maidah [5]: 54, al-Anfal [8]: 72, dan at-Taubah [9]: 41, 81). Misalnya, memerangi kemiskinan dan kebodohan, meningkatkan de-rajat kesehatan rakyat dengan membangun pusat-pusat pelayan-an kesehatan atau rumah sakit, dan membantu anak-anak jalanan. Semua ini bisa disebut jihad fi sabilillah. Hanya saja, yang populer adalah dalam arti sempit, yaitu perjuangan secara fisik dengan mengangkat sensata .
2. Pengertian Terorisme
Pada dasarnya, wacana teror-isme mulai mencuat ke permukaan setelah terjadi tragedi 11 Sep-tember 2001. Konstelasi politik global menjadi berubah total. Se-bab, Amerika melalui Presiden Bush mengeluarkan kebijakannya yang cukup mengejutkan dunia. Ia mengatakan bahwa pihak-pihak yang tidak bergabung dengan Amerika untuk memerangi teroris, maka akan menjadi musuh Ame-rika. Kalimat ini sering dikutip di mana-mana: “Now for all nations of the world, there only two choice: either they join America, and if they don’t, they join the terorrism.”
Dengan pernyatan ini, seti-daknya tekanan Amerika ter-hadap Indonesia dapat dilihat sejak tragedi itu .
Kata terorisme definisinya ti-dak ditemukan dari kalangan Ula-ma terdahulu, sebab istilah tersebut digunakan bermula dari Ideologi Eropa pada masa Revolusi Perancis tahun 1789-1794 M. Manusia pada zaman ini pun masih berselisih dalam memberikan defi-nisi tentang terorisme, padahal terorisme adalah kalimat yang paling banyak digunakan di tahun-tahun terakhir ini, dimana sering dihubung-hubungkan dengan aksi kekerasan yang dilakukan oleh kelompok-kelompok yang tidak di-akui oleh pemerintah yang secara terpisah berupaya mendapatkan kekuasaan atau pengaruh. Walau-pun kelompok ini tidak bisa me-lakukan pembunuhan atau pem-bantaian dalam skala besar seperti yang dilakukan pemerintah de-ngan kekuatan militernya. Tetapi lebih sering lagi aksi terorisme dilandasi oleh kepentingan-kepen-tingan agama -terkadang bersa-maan dengan faktor-faktor lain, juga sebagai motivasi primer- yang menampilkan aksi-aksi terror-isme. Persepsi umum di mana kekerasan agama muncul secara global dalam dekade Abad XX dika-renakan adanya catatan peristiwa aksi kekerasan semacam itu .
Teror berasal dari bahasa Latin Terrere, artinya "Menimbul-kan rasa gemetar dan cemas". Terorisme berarti menakut-nakuti (to terrify). Kata ini secara umum digunakan dalam pengertian poli-tik, sebagai suatu serangan ter-hadap tatanan sipil, semasa Pemerintahan Teror Revolusi Perancis akhir abad ke-18. Oleh karena itu, respons publik terha-dap kekerasan -rasa cemas yang diakibatkan oleh terorisme- meru-pakan bagian dari pengertian tema tersebut .
Secara bahasa: "Terorisme adalah "Melakukan sesuatu yang menyebabkan orang menjadi pa-nik, takut, gelisah, tidak aman dan menimbulkan gangguan dalam bidang kehidupan dan interaksi manusia".
Sementara secara syari'at: "Terorisme adalah "Segala sesuatu yang menyebabkan goncangan keamanan, pertumpahan darah, kerusakan harta atau pelampauan batas dengan berbagai bentuk-nya" .
Menurut Majma' Al-Fiqh Al-Islamy (Lembaga Fiqh Internasio-nal) yang membuat pertimbang-an secara syar'i pada tanggal 15-10-1421H [10-01-2001M] mende-finisikan terorisme sebagai:
Terorisme adalah: "Suatu per-musuhan yang ditekuni oleh individu-individu, kelompok-ke-lompok atau negara dengan penuh kesewenang-wenangan terhadap manusia baik bidang agama, darah, akal, harta maupun kehormatan” .
Adapun pengertian terorisme secara istilah adalah :

1. Menurut Persatuan Bang-sa-Bangsa (PBB): "Terorisme ada-lah perbuatan-perbuatan yang membahayakan jiwa manusia yang tidak berdosa atau meng-hancurkan kebebasan asasi atau melanggar kehormatan manusia".
2. Menurut Qonun Antar-negara: "Terorisme adalah sejum-lah perbuatan yang dilarang oleh peraturan-peraturan kenegaraan pada kebanyakan negara".
Sedangkan menurut Literatur Sosiologi Barat, Terorisme adalah Salah satu bentuk aksi yang bermotif politik yang mengga-bungkan unsur-unsur psikologi (seperti mengancam: kondisi akibat diancam) dan fisik (aksi kekerasan) yang dilakukan oleh individu-individu atau kelompok kecil dengan tujuan pengajuan tuntutan teroris terpenuhi .
Untuk memahami makna terorisme lebih jauh dan menda-lam, kiranya perlu dikaji terlebih dahulu pengertian atau definisi terorisme yang dikemukakan baik oleh beberapa lembaga maupun beberapa penulis/pakar atau ahli, yaitu:
a. US Central Intelligence Agency (CIA): “Terorisme intern-asional adalah terorisme yang dilakukan dengan dukungan pe-merintah atau organisasi asing dan/diarahkan untuk melawan negara, lembaga atau pemerintah asing” .
b. US Federal Bureau of Investigation (FBI): “Terorisme adalah penggunaan kekerasan tidak sah atau kekerasan atas seseorang atau harta untuk meng-intimidasi sebuah pemerintah, penduduk sipil, elemen-elemennya untuk mencapai tujuan sosial atau politik”.
c. US Departemens of State and Defense: “Terorisme adalah kekerasan bermotif politik yang dilakukan oleh agen negara atau kelompok sub-nasional terhadap sasaran kelompok. Biasanya de-ngan maksud untuk mempe-ngaruhi audien. Terorisme Inter-nasional adalah terorisme yang melibatkan warga negara atau wilayah lebih dari satu negara” .
Sedangkan kesepakatan bang-sa-bangsa Arab dalam menghadapi terorisme memberikan penger-tian: "Terorisme adalah setiap perbuat-an dari aksi-aksi kekerasan atau memberi ancaman dengannya, apapun pemicu dan maksudnya".

Adapun pendapat Majma' al-Buhus Al-Islamiyah di Al-Azhar adalah: "Terorisme yaitu membuat takut orang-orang yang aman, menghancurkan kemaslahatan, tonggak kehidupan mereka dan melampaui batas terhadap harta, kehormatan, kebebasan dan kemuliaan manusia dengan penuh kesewenang-wenangan dan keru-sakan di muka bumi".

Majelis Ulama Indonesia, memberikan pengertian: “Teror-isme adalah tindakan kejahatan terhadap kemanuaiaan dan per-adaban yang menimbulkan an-caman serius terhadap kedau-latan negara, bahaya terhadap keamanan, perdamaian dunia serta merugikan kesejahteraan masyarakat” . Terorisme adalah salah satu bentuk kejahatan yang diorganisasi dengan baik (well-organized), bersifat transisional dan digolongkan sebagai kejahat-an luar biasa (extra ordinary crime) yang tidak membeda-bedakan saasaran (indiscrimi-native) .
Menurut Konvensi PBB tahun 1939:
“Terorisme adalah segala bentuk tindak kejahatan yang ditujukan langsung kepada negara dengan maksud menciptakan bentuk terror terhadap orang-orang
tertentu atau kelompok orang atau masyarakat luas” .
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia: "Terorisme adalah penggunaan kekerasan untuk menimbulkan ketakutan dalam usaha mencapai tujuan (terutama tujuan politik), praktek tindak teror" . "Teror adalah usaha menciptakan ketakutan, kengeri-an, dan kekejaman oleh seseorang atau golongan. Meneror adalah berbuat keja, (sewenang-wenang, dan sebagainya) untuk menim-bulkan rasa ngeri atau takut. Teroris adalah orang yang menggunakan kekerasan untuk menimbulkan rasa takut, biasanya untuk tujuan politik" .

Sedangkan menurut kamus Webster’s New School and Office Dictionary,
“Terrorism is the use of violenc, intimidation, etc to gain to end; especially a system of govern-ment ruling by terror,…” (Teror-isme adalah penggunaan keke-rasan, intimidasi, dan sebagainya untuk merebut atau menghan-curkan, terutama, sistem peme-rintahan yang berkuasa melalui terror..) .

Demikian beberapa definisi terorisme dan masih banyak lagi definisi lain yang tidak mungkin penulis sebutkan disini, sebab bila kita hendak berbicara الإرهاب irhab/terorisme selayaknya mele-takkan gambaran tentang makna-nya baik secara bahasa maupun istilah.
Sedangkan terorisme menú-rut para pakar hádala: "Tindakan untuk mencapai tujuan tertentu yang dibingkai dalam kekerasan yang menciptakan teror dan memakan korban rakyat sipil yang tak berdosa". Sebagaimana yang diungkapkan Masdar Farid Mas’-udi .
Secara lebih spesifik, Ikram Azzam menyatakan bahwa: "Terorisme meliputi serangkaian aksi yang bertujuan pada pene-baran kepanikan, intimidasi dan kerusakan dalam masyarakat. Menurutnya, pelbagai aksi ter-sebut bisa saja dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang yang mengambil posisi sebagai oposan terhadap negara" .

Jihad dan Terorisme dalam al-Qur’an

1. Jihad dalam al-Qur'an
Term Jihad digunakan dalam al-Qur’an sebanyak 14 kali dalam bentuk ism (kata benda) dan 27 kali (70 persen) dalam bentuk fi’il (kata kerja). Hal ini penting dike-tahui, karena menurut Hasan Hanafi, sebagaimana yang dikutip Quraish Shihab, bentuk kata yang digunakan al-Qur’an mempunyai makna tersendiri. Bentuk ism memberi kesan kemantapan, se-dangkan bentuk fi’il mengandung arti pergerakan. Bentuk rafa’ menunjukkan subjek atau upaya, nashab yang menjadi objek dapat mengandung arti ketiadaan upa-ya, sedangkan bentuk jar memberi kesan keterkaitan dalam keikut-an .
Atas dasar pemikiran ini, maka ajaran jihad yang ditunjuk-kan al-Qur’an merupakan ajaran agama yang mengandung arti gerakan dan kesungguhan diri sebagai upaya untuk mencapai tujuan. Ajaran jihad harus dijadi-kan sebagai inovasi diri untuk mempertahankan kepentingan dan harga diri. Jihad yang diperin-tahkan al-Qur’an hendaknya dapat dijadikan sebagai etos kerja dalam menjalankan tugas-tugas kehidup-an. Karena itu, apabila semangat jihad sudah tumbuh pada diri seseorang, ia akan rela berkorban dan sanggup menanggung semua beban yang akan terjadi .
Dalam al-Qur’an, kata jihad disebut sebanyak 41 kali yang tersebut dalam beberapa surat. Sebanyak 28 ayat berisi perjuangan, misalnya dalam QS. al-Baqarah [2] : 216. Ali ‘Imran [3] : 142, an-Nisa [4] : 95, al-Maidah [5] : 35, 54, al-Anfal [7] : 72,74-75, at-Taubah [9] : 16, 19, 20, 24, 41, 44, 73, 81, 86, 88, an-Nahl [16] : 110, al-Hajj [22] : 78, al-Furqan [25] : 52, al-‘Ankabut [29] : 6, 69, Muhammad [47] : 31, al-Hujarat [49] : 15, al-Mumtahanah [60] : 1, as-Shaff [61] : 11, dan at-Tahrim [66] : 9, ayat-ayat Jihad tersebut sebagian turun pada periode Makkah, dan sebagian lainnya turun pada periode Madinah .
Jihad selain mengandung makna perjuangan sebagaimana tersebut di atas, juga mengandung makna ujian dan cobaan, seperti yang tersirat dalam QS. Ali-Imran [3] : 142, al-Baqarah [2] : 155, at-Taubah [9] : 79, dan Luqman [31] : 15 .

2. Terorisme dalam al-Qur'an
Al-Qur’an sendiri telah menjelaskan kita tentang karak-teristik dan watak Yahudi yang mengisyaraktkan bahwa mereka bangsa yang rasis, penumpah darah, cinta keburukan, sampai-sampai mereka berani membunuh para Nabi tanpa sungkan-sungkan .

وَضُرِبَتْ عَلَيْهِمُ الذِّلَّةُ وَالْمَسْكَنَةُ وَبَاءُوا بِغَضَبٍ مِنَ اللهِ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ كَانُوا يَكْفُرُونَ بِآيَاتِ اللهِ وَيَقْتُلُونَ النَّبِيِّينَ بِغَيْرِ الْحَقِّ ذَلِكَ بِمَا عَصَوْا وَكَانُوا يَعْتَدُونَ
“Lalu ditimpakanlah kepada mereka nista dan kehinaan, serta mereka mendapat kemurkaan dari Allah. Hal itu (terjadi) karena mereka selalu mengingkari ayat-ayat Allah dan membunuh para nabi yang memang tidak dibenarkan. Demikian itu (terjadi) karena mereka selalu ber-buat durhaka dan melampaui batas" (QS. Al Baqarah [2]:61).

Demikian halnya, al-Qur’an te-lah menengarahi, bahwa bangsa Yahudi adalah bangsa yang keras hatinya tidak mengenal belas kasihan.

ثُمَّ قَسَتْ قُلُوبُكُمْ مِنْ بَعْدِ ذَلِكَ فَهِيَ كَالْحِجَارَةِ
Kemudian setelah itu hati-mu menjadi keras seperti batu, bahkan lebih keras lagi. (QS. Al Baqarah [2]:74)

Mereka juga sebagai bangsa yang tamak sebagai bangsa yang berperilaku sangat buruk
وَأَخْذِهِمُ الرِّبَا وَقَدْ نُهُوا عَنْهُ وَأَكْلِهِمْ أَمْوَالَ النَّاسِ بِالْبَاطِلِ وَأَعْتَدْنَا
لِلْكَافِرِينَ مِنْهُمْ عَذَابًا أَلِيمًا
“Dan disebabkan mereka me-makan riba, padahal sesungguhnya mereka telah dilarang daripa-danya, dan karena mereka me-makan harta orang dengan jalan yang batil. Kami telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir di antara mereka itu siksa yang pedih” (Qs. An Nisaa [4]: 161).

Dan mereka juga sebagai bangsa yang rusak dan pembuat kerusakan.

وَقَالَتِ الْيَهُودُ يَدُ اللهِ مَغْلُولَةٌ غُلَّتْ أَيْدِيهِمْ وَلُعِنُوا بِمَا قَالُوا بَلْ يَدَاهُ مَبْسُوطَتَانِ يُنْفِقُ كَيْفَ يَشَاءُ وَلَيَزِيدَنَّ كَثِيرًا مِنْهُمْ مَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ مِنْ رَبِّكَ طُغْيَانًا وَكُفْرًا وَأَلْقَيْنَا بَيْنَهُمُ الْعَدَاوَةَ وَالْبَغْضَاءَ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ كُلَّمَا أَوْقَدُوا نَارًا لِلْحَرْبِ أَطْفَأَهَا اللهُ وَيَسْعَوْنَ فِي الأَرْضِ فَسَادًا وَاللهُ لا يُحِبُّ الْمُفْسِدِينَ
“Orang-orang Yahudi berkata: "Tangan Allah terbelenggu", sebe-narnya tangan merekalah yang dibelenggu dan merekalah yang dila`nat disebabkan apa yang telah mereka katakan itu. (Tidak demi-kian), tetapi kedua-dua tangan Allah terbuka; Dia menafkahkan sebagai-mana Dia kehendaki. Dan Al Qur'an yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu sungguh-sungguh akan menambah kedurhakaan dan keka-firan bagi kebanyakan di antara mereka. Dan Kami telah timbulkan permusuhan dan kebencian di antara mereka sampai hari kiamat. Setiap mereka menyalakan api peperangan, Allah memadamkannya dan mereka berbuat kerusakan di muka bumi dan Allah tidak menyukai orang-orang yang membuat kerusakan” (Qs. Al Maidah [5]: 64).

Pembangkangan dan penghi-naan terhadap penguasa, aksi ini terjadi di negeri Islam yang ter-masuk penentangan dan peng-hinaan terhadap penguasa (Ulil Amri). Sebagaimana firman Allah swt :

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ
"Wahai orang yang beriman! Ta'atilah Allah dan ta'atilah Rasul (Muhammad) dan Ulil Amri (pemegang kekuasaan) diantara kamu" (QS. an-Nisa' : 59).

Terorisme kadang diperboleh-kan dan kadang dilarang, sebagaimana firman Allah swt :
وَأَعِدُّوا لَهُمْ مَا اسْتَطَعْتُمْ مِنْ قُوَّةٍ وَمِنْ رِبَاطِ الْخَيْلِ تُرْهِبُونَ بِهِ عَدُوَّ اللهِ وَعَدُوَّكُمْ وَءَاخَرِينَ مِنْ دُونِهِمْ لاَ تَعْلَمُونَهُمُ اللهُ يَعْلَمُهُمْ وَمَا تُنْفِقُوا مِنْ شَيْءٍ فِي سَبِيلِ اللهِ يُوَفَّ إِلَيْكُمْ وَأَنْتُمْ لاَ تُظْلَمُونَ
Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggentarkan musuh Allah, musuhmu dan orang-orang se-lain mereka yang kamu tidak mengetahuinya; sedang Allah mengetahuinya. Apa saja yang kamu nafkahkan pada jalan Allah niscaya akan dibalas dengan cukup kepadamu dan kamu tidak akan dianiaya (dirugikan). (QS. al-Anfal : 60).

Adapun kebolehan terorisme adalah, keberadaan umat Islam yang mempersiapkan diri, menam-bah kekuatan latihan senjata (militer) membuat senjata dan menciptakan kekuatan yang mem-buat musuh tidak lancang terhadap mereka, agama, aqidah dan individu umat. Sedangkan terorisme yang tercela adalah,
terorisme yang diuraikan definisi dan maksudnya tersebut di atas. Disamping itu dalam surat yang lain juga diterangkan, seperti dalam QS. al-Maidah [5]: 32-33, al-Hajj [22] : 39-40, al-Anfal [8] : 60, dan al-Baqarah [2] : 195 .


Penutup
Dari uraian singkat diatas dapat diambil kesimpulan inti bahwa :
1. Jihad memiliki arti dan dimensi yang angat luas dari memerangi nafsu sampai berjuang fisabilillah .
2. Terorisme pengertian asas diambil dari bahasa latin yang bermuda dari Perancis dan ber-kembang sejalan dengan kepen-tingan politik dunia yang dimotori oleh kepentingan-kepentingan Amerika dan sekutunya .
3. Masing-masing dari Jihad dan Terorisme terdapat dalam al-Qur'an .

Tidak ada komentar:

Posting Komentar