Gallery

Gallery
Asia Leader Forum di Jepang

Minggu, 06 Maret 2011

Artikel Yoyo Hambali

MEMBANGUN JAMA’AH UMAT DALAM KEMAJEMUKAN
Yoyo Hambali


Munculnya berbagai golongan dalam Islam seperti diberitakan oleh Rasulullah hingga tujuh puluh tiga golongan--sementara Syahrastani, seorang ahli ilmu kalam (teologi Islam) Sunni dalam kitabnya al-Milal wa al-Nihal, mencatat lebih dari tujuh puluh tiga golongan—tidak bisa dilepaskan dari sejarah perjalanan Islam itu sendiri terutama setelah wafatnya Rasulullah saw. Terjadinya konflik besar atau lebih dikenal dengan fitnah al-kubra antara pihak Ali dan Muawiyah yang sesungguhnya lebih merupakan konflik politik, berdampak terhadap munculnya berbagai aliran (firqah) keagamaan dalam Islam. Tentu saja, setiap aliran itu mengklaim dirinya sebagai aliran yang paling benar, paling autentik, paling sesuai dengan ajaran Al-Qur’an dan Sunnah Nabi saw. Sementara itu, kelompok lainnya dipandang sesat bahkan tidak sedikit terjadi saling mengkafirkan antara satu aliran dengan aliran lainnya yang berakibat kepada perpecahan dan pertumpahan darah. Seorang ulama yang dipandang sebagai tokoh salafi Ibn Taimiyah seperti dikutip Dr. Tosihiko Izutsu dalam The Structure of the Ethical Term in the Koran mengatakan bahwa kata “kafir” telah digunakan oleh berbagai kelompok Islam untuk menumpahkan darah sesamanya. Bila seseorang atau suatu kelompok dicap sebagai kafir, maka orang atau pengikut kelompok itu menjadi halal darahnya di mata kelompok yang mencapnya. Kelompok khawarij, misalnya, mencap kelompok Muawiyah dan Ali sebagai kelompok kafir yang halal darah dan hartanya.
Dalam sejarah Islam, kasus-kasus saling mengkafirkan itu kerap terjadi bahkan sampai abad modern ini. Munculnya berbagai kelompok yang pada awalnya dilatari oleh kepentingan politik yang kemudian merambah ke dalam wilayah keagamaan telah menimbulkan konflik yang semakin menajam sehingga kesatuan (jama’ah) kaum Muslimin menjadi terancam. Munculnya kelompok Ahl Sunnah wa al-Jama’ah dilatarbelakangi oleh keinginan untuk menjaga solideritas dan kesatuan ummat (jama’ah) dengan senantiasa merujuk kepada Al-Qur’an dan Sunnah Nabi saw. terutama kitab hadits yang enam (al-Kutub al-Sittah) yang menjadi rujukan utama. Kelompok ini sesungguhnya telah dirintis oleh dua orang sahabat Rasulullah yang berupaya menghinadari dirinya dari wilayah politik dan mereka mengembangkan pemikiran dengan menekuni Sunnah Nabi. Kedua orang sahabat ini sebagaimana ditulis Nurcholish Madjid dalam Khazanah Intelektual Islam (1994:16), dikenal dengan dua Abdullah, yaitu Abdullah bin Umar dan Abdullah bin Abbas dipandang sebagai pendahulu terbentuknya kelompok ummat Islam yang kelak dikenal sebagai Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah atau dikenal pula sebagai kelompok Sunni yaitu kelompok yang mengklaim sebagai golongan yang berpegang teguh terhadap al-Qur’an dan Sunnah Nabi juga ditambah dengan sahabat, tabi’it dan tabi’in serta para ulama sunnah dan pengikutnya sampai hari kiamat.
Golongan Sunni pada awalnya bersikap netral terhadap politik, moderat dan toleran dan memiliki kemampuan besar untuk menerima perbedaan dalam ummat sehingga pandangan-pandangan keagamaan mereka mudah diterima sehingga kelompok ini menjadi kelompok mayoritas dalam ummat. Namun dalam perkembangan selanjutnya, kelompok ini lebih dekat kepada kepentingan politik Muawiyah dan berhadapan dengan kelompok lainya terutama kelompok Syi’ah (kelompok yang dikenal sebagai pengikut setia Ali bin Abi Thalib). Dalam perkembangan selanjutnya lagi, kelompok Sunni yang pada awalnya merupakan kelompok keagamaan yang lebih bernuansa kalam dengan munculnya mazhab yang empat dalam fiqih (Hanafiah, Syafi’iah, Malikiah, dan Hanbaliah) lebih dikenal sebagai kelompok yang berpegang teguh kepada empat mazhab tersebut terutama mazhab Sya’fi’i.
Dalam persoalan kalam, salah seorang yang paling ditokohkan sebagai ahli kalam golongan Sunni, yaitu al-Asy’ari merumuskan doktrin-doktrinnya yang kelak menjadi doktrin resmi kalam Sunni dengan revisi dari para pengikutnya. Al-‘Asy’ari, seperti diungkapkan oleh Fazlur Rahman dalam bukunya Islam (1997:126) “tokoh paling tersohor dari gerakan yang baru, berhasil menjungkirbalikkan posisi kaum Mu’tazilah. Asy’ari sendiri pada mulanya merupakan pengikut Mu’tazilah dan ia memisahkan diri dari gurunya yaitu al-Juba’i karena ia memiliki pendapat sendiri tentang keadilan Tuhan yang berbeda dengan gurunya itu.”
Sesungguhnya Asy’ari berupaya untuk merumuskan pandangan-pandangan kalamnya dengan membuat sintesa antara pandangan ortodoks dan Mu’tazili. Ia merumuskan dogma-dogmanya antara lain bahwa semua perbuatan manusia telah diciptakan Tuhan, tetapi perbuatan-perbuatan itu sendiri menempelkan diri pada kehendak manusia yang dengan demikian ‘memperolehnya’. Semua kekuasaan milik Allah sedangkan tanggung jawab ada pada manusia. Tuhan memiliki sifat-sifat yang berbeda dengan makhluknya. Tuhan berkehendak dengan sifat Kehendak-Nya, Mengetahui dengan sifat Pengetahuan-Nya dan seterusnya. Sifat-sifat-Nya itu sendiri tidak sama dengan Zat-Nya.
Mengenai Al-Qur’an, Asy’ari berpandangan bahwa Al-Qur’an adalah qadim. Menurut Asy’ari, Tuhan dapat dilihat di akhirat, Tuhan mempunyai muka, tangan, mata dan sebagainya, tetapi tidak dapat ditentukan bagaimananya (bila kaifa), yaitu tidak mempunyai bentuk dan batasan tertentu (la yukayyaf wala yuhadd), Tuhan tidak mempunyai kewajiban apapun karena ia berkuasa mutlak atas segala sesuatu, orang Islam yang berbuat dosa besar, bagaimanapun, tetap mukmin. Pandangan-pandangan al-Asy’ari tersebut dirumuskannya dalam kitabnya yang amat terkenal berjudul Maqalat al-Islamiyin. Asy’ari dalam kitabnya Maqalat al-Islamiyin, menyebut ahlu sunnah dengan istilah lain, yakni Ahl al-Hadits wa al-Sunnah (golongan yang berpegang pada hadits dan sunnah), sedangkan dalam kitabnya al-Ibanah, ia menggunakan istilah Ahl al-Haq wa al-Sunnah (golongan yang berpegang pada kebenaran dan sunnah Nabi saw.) Permikiran al-Asy’ari tersebut juga diteruskan oleh ulama berikutnya seperti al-Baqilani, al-Juwaini dan muridnya yang terkenal dijuluki sebagai hujjah al-Islam, yakni al-Ghazali. Bahkan yang terakhir ini, seperti dikatakan seorang Orientalis Charles MacDonald, merupakan orang yang paling berjasa kedua setelah Nabi Muhammad dan paling berpengaruh dari paham Sunni di dunia Islam dan melaului al-Ghazali serta murid-muridnya paham ahlu sunnah menyebar ke seluruh pelosok dunia Islam sampai saat ini. Walaupun para Orientalis antara lain Philiph K. Hitti sering menuduh al-Ghazali sebagai penyebab terbelenggunya kreativitas intelektual, kebesaran nama al-Ghazali dan pengaruhnya tidak diragukan di dunia Timur. Mereka itu dikenal sebagai para pengikut al-Asy’ari yang dikenal dengan ulama-ulama Asy’ariyah yang merupakan cikal bakal Ahl Sunnah wa al-Jama’ah, yaitu seperti dikutip dari Harun Nasution dalam Teologi Islam: Aliran-aliran, Sejarah, Analisa Perbandingan, kelompok yang mempertalikan diri mereka dengan sunah (nasabbuhu anfusuhum ila al-sunnah) dan ahli kebenaran agama dan jama’ah (ahl al-haq wa aldin wa al-jama’ah).
Ajaran-ajaran Asy’ariyah-Sunni itu menurut Abu Zahrah dalam Tarikh al-Mazhab al-Islamiyah, dikembangkan berdasarkan dalil-dalil naqli (al-Qur’an dan Sunnah) dan ‘aqli (argumentasi rasional-logis). Teologi kelompok Sunni ini tidak hanya berkisar seputar kalam saja, namun juga berkisar seputar fiqih, yaitu fiqih empat mazhab. Sebagaimana dalam kalam, para ahli fiqh (fuqaha) empat mazhab ini juga menggunakan dalil naqli dan ‘aqli dalam merumuskan formulasi di bidang hukum. Di antara empat mazhab itu mazhab Hanafi dan Syafi’i dipandang lebih liberal karena Hanafi membolehkan ra’y (pendapat) dan Sya’fi’i membolehkan penggunaan qiyas (analogi), sedangkan dua lainnya (Maliki dan Hanbali) sangat ketat dalam memegang nash (teks) Qur’an dan Sunnah dan kurang menerima otoritas selainnya (Lihat Madjid Fakhri, A History of Islamic Philosophy, 1983:17).
Istimbat (pengambilan hukum) yang dilakukan oleh keempat mazhab tersebut dipandang sebagai otoritas final sehingga tidak membuka peluang bagi generasi selanjutnya untuk berijtihad. Dengan kata lain, semua persoalan dalam bidang hukum cukup merujuk kepada empat mazhab tersebut dan tidak diperbolehkan adanya ijtihad lagi selain ijtihad empat mazhab tersebut. Akibatnya, muncullah kemandegan ummat Islam selama berabad-abad lamanya karena terbelenggunya kreativitas intelektual ummat islam sampai kemudian munculnya tokoh ummat Islam salaf yang sangat terkenal keteguhannya terhadap sumber-sumber utama Islam (al-Qur’an dan Sunnah) namun tidak meniadakan peluang terbukanya kembali pintu ijtihad karena banyaknya persoalan baru yang ditemukan dalam masyarakat Islam. Dia adalah Ibn Taimiyah yang dengan lantang mengumandangkan terbukanya kembali pintu ijtihad setelah ditutup selama beratus-ratus tahun. Perbedaan dalam ijtihad merupakan salah satu penyebab munculnya perbedaan paham dan praktek ibadah. Tetapi yang berbahaya adalah perbedaan yang dilatarbelakangi oleh kepentingan yang bersifat politis seperti perebutan kekuasaan.


MEMBANGUN DIALOG LINTAS MAZHAB MENUJU INTEGRASI UMAT
Yoyo Hambali

Salah satu upaya mewujudkan integrasi umat adalah membangun sikap dialogis. Dalam berbagai kasus upaya membangun dialog di antara sekte-sekte (kelompok) Islam yang masih eksis seperti antara Sunni dan Syi’i dilakukan entah untuk mencari titik temu atau tidak jarang untuk mencari titik lemah pihak lawan. (Dialog antara ulama besar Sunni yang diwakili oleh Rektor al-Azhar Kairo Mesir al-Syaikh al-Bisyri al-Maliki dan ulama besar Syi’ah Syarafuddin al-Musawi dibukukan dalam kitab al-Muraja’at yang di-Indoensiakan oleh penerbit Mizan Bandung dengan judul Dialog Sunnah-Syi’ah). Berbagai diskusi yang mempertemukan kelompok Sunni dan Syi’ah dilakukan juga di Indonesia. Beberapa cendekiawan Muslim bahkan merumuskan mazhab baru, meskipun sebatas wacana temporer (sementara), seperti mazhab Ahli Sunnah wa Syi’ah (Susi) seperti dikemukakan oleh Jalaluddin Rahmat, atau mazhab Ahlu Sunnah wa al-‘Adalah seperti pernah dilontarkan oleh Nurcholish Madjid. Dalam membangun dialog itu hendaknya kita lebih mengedepankan Islam dalam maknanya sebagai sikap dan tindakan yang baik. Memang secara etimologis, islam berarti sikap dan tindakan kepasrahan kepada Allah. Di sini islam adalah masalah “memberikan keseluruhan jiwa (raga) seseorang kepada Tuhan demi tujuan yang mulia. Menyerahkan jiwa (raga) seseorang, dalam pengorbanan, seperti yang ditunjukkan oleh Ibrahim. Ibrahim adalah seorang Muslim yang dalam Qur’an menunjuk kepada seseorang yang bertindak dalam ketaatan yang penuh rasa cinta kepada Tuhan yang dibuktikan dengan kerelaan untuk mengorbankan putranya demi pendekatan diri (taqarrub) kepada Allah. Seorang muslim bergerak menuju Allah, menerima tanpa reserve panggilan dan ajaran-ajarannya, bergerak menuju yang absolute, menuju transendensi, merasa dipromosikan ke tingkat menuju tingkat eksistensi yang lebih tinggi (Lihat Muhammad Arkoun, Rethinking Islam, 1996:17). Dengan demikian islam tidak semata-mata kepasrahan yang pasif, namun kepasrahan total yang aktif, kepasrahan yang senantiasa bergerak menuju ridha Allah dengan melakukan pengorbanan jiwa dan raga seperti yang dilakukan oleh Ibrahim, Bapak Tauhid itu. Islam adalah agama Allah satu-satunya yang diturunkan kepada para Nabi Allah sejak Adam alaihi salam yang mengalami evolusi (perkembangan) sampai mencapai taraf kesempurnaan pada risalah Muhammad saw. Dikatakan sebagai satu-satunya agama Allah, karena misi utama Islam adalah tauhid, yakni penyembahan kepada Allah dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun yang dirumuskan dengan doktrin tauhid La ilaha illallah (Tiada Tuhan selain Allah). Hanya saja bila ditinjau dari segi syari’at, islam yang diturunkan kepada para nabi sebelum Muhammad merupakan islam (dengan “i” kecil) karena syari’atnya belum sempurna, sedangkan Islam yang diturunkan kepada Nabi Muhammad merupakan Islam (dengan “I” besar) karena syari’atnya telah mencapai kesempurnaan. (Islam agama semua Nabi, lihat Ibn Taimiyah, al-Iqtidha al-Shirat al-Mustaqim Mukhalifatu Ashab al-Jahim, hlm. 450-451).
Adanya kemajemukan dalam Islam merupakan sunnatullah. Kemajemukan itu harusnya menjadi rahmat bagi segenap ummat Islam sebagaimana disabdakan Rasulullah: “ikhtilaf fi ummati rahmah (perbedaan di kalngan ummatku adalah rahmat)”. Bahkan misi Islam harus dirasakan oleh segenap ummat manusia karena sesungguhnya misi diutusnya Rasullah agar menjadi rahmat bagi segenap alam (wama arsalnaka illa rahmatan lil ‘alamin). Sikap yang harus didorong oleh berbagai kelompok keagamaan itu adalah sikap berlomba-lomba dalam melakukan kebajikan (fastabiqul khairat), menghindari sikap fanatisme butadan berlebihan sehingga dapat menimbulkan perpecahan ummat (kullu hizbin bima laidihim farihun). Lebih-lebih di Indonesia, bangsa Indonesia mayorits beragama Islam dan yang menarik bahwa ummat islam Indoensia hamper seluruhnya kaum Sunni (Ahl Sunnah wa al-Jama’ah), bahkan dalam bidang fiqih pun dapat dikatakan bahwa mereka hampir seleuruhnya bermazhab Syafi’i. Ini merupakan modal besar untuk mewujudkan kesatuan umat Islam di Indonesia. Adanya aliran lain selain Ahl Sunnah mengindikasikan kekayaan khazanah ummat Islam di mana kita harus memandang mereka yang berada di luar kelompok kita semuanya sebagai saudara seiman sebagaimana ditegaskan oleh Allah dalam al-Qur’an surat al-Hujurat/49:10: “Sesungguhnya kaum beriman itu semuanya bersaudara (Innamal mu’minunan ikhwah)”. Dalam sejarah, Ja’far al-Shadiq, imam keenam kaum Syi’ah diakui oleh kaum Sunni sebagai tokoh dalam hukum Islam. Bahkan fiqih Syafi’i yang dianut oleh Ahlu Sunnah dalam banyak hal sangat dekat dengan fiqih Ja’fari (Lihat Muhammad Jawad al-Mughni, al-Fiqh ala Mazahib al-Khamsah).
Berbagai aliran atau pandangan yang dipandang menyimpang, tidak dapat dikatakan menyimpang selama mereka meyakini dasar-dasar iman dan Islam, memegang syari’at dan menunjukkan akhlak yang dicontohkan Nabi. Perbedaan pemahaman dan atau penafsiran belum dapat dikatakan menyimpang selama tidak menyimpang dari prinsip-prinsip dasar tersebut, kecuali mereka membuat penafsiran sewenang-wenang, tanpa metode (manhaj) yang berlandaskan dalil naqli atau dalil ‘aqli. Pemahaman atau penafsiran kita terhadap nash baik menggunakan metode naqli (tekstual) maupun ‘aqli (rasional-kontekstual) merupakan pemahaman yang relatif karenanya tidak boleh dipandang mutlak benarnya, lebih-lebih dalam persoalan yang menyangkut khilafiyah. Karenanya, kita harus melihat sisi-sisi positif pandangan keagamaan dari berbagai aliran pemikiran yang berbeda-beda pemahamannya dengan melihat kontribusi yang mereka berikan dalam konteks sejarah waktu aliran itu muncul. Khawarij, saat kelompok ini muncul, memberikan kontribusi akan pentingnya benar-benar menggunakan al-Qur’an (hukum Allah) dalam penyelesaian konflik ketika al-Qur’an (hukum Allah) itu hanya dijadikan alat untuk melakukan tipu muslihat demi meraih kekuasaan. Semboyan mereka la hukma illallah (tiada hukum selain hukum Allah) mengingatkan pada kelompok Muawiyah dan Ali agar menggunakan Al-Qur’an dengan sesungguhnya sebagai tempat rujukan. Aliran Mu’tazilah memberikan kontribusi untuk menghadapi beberapa pandangan menyimpang dari filsafat Yunani. Pengaruh Yunani telah menyebabkan sebagian ummat Islam menggunakan filsafat untuk memahami ajaran Islam, sementara itu banyak pandangan mereka yang dianggap tidak sesuai dengan aqidah-tauhid Islam, di sinilah kontribusi aliran Mu’tazilah dalam pemhamannya yang rasional dalam berbagai persoalan kalam (lihat Abdurrhaman Badawi, al-Turats al-Yunani fa al-Hadlarah al-Islamiyah). Begitu juga aliran lainnya seperti Asy’ariyah yang telah disinggung di atas yang mendapatkan posisi karena berhasil mensintesakan antara naqli dan ‘aqli dalam berbagai persoalan kalam yang saat itu tidak boleh tidak telah menjadi anutan sebagian ummat Islam. Demikian pula kelompok-kelompok sufi atau tasawuf, mereka memberikan kontribusi di saat ummat Islam terjerumus ke dalam materialisme dan hedonisme serta kekeringan ruhani karena paham dan praktek keagamaan yang terlalu menitikberatkan pada aspek syari’at. Ibn Rushd mengatakan dalam Bidayah al-Mujtahid: “Kaum Muslimin sibuk dalam berbagai aspek syari’at seraya meninggalkan aspek batini (ruhani) dari agama.” Berbagai aliran baik kalam, fiqih, tasawauf dan lain-lain, boleh jadi memiliki perbedaan dalam pemahaman dan prakteknya, namun mereka tidak bisa dipandang sesat selama tidak ada bukti yang kuat secara naqli dan ‘aqli yang membuktikan kesesatan mereka. Dalam hal ini, kita dapat merujuk kepada kitab-kitab ulama untuk sekedar mengetahui aliran-aliran yang mu’tabarah dan yang tidak mu’tabarah dan melihat ciri-ciri mereka dalam konteks dewasa ini bila ada. Karya-karya tersebut banyak dijumpai antara lain Kitab al-Milal wa al-Nihal karya al-Syahrastani, Kitab al-Fishal fi al-Milal wa al-Ahwa wa al-Nihal karya Ibn Hazm, Kitab al-Firaq Bain al-Firaq karya al-Iraqi, Mazahib al-Islamiyyin karya Abdurrahman Badawi, dan lain-lain.
Adanya berbagai aliran lain baik besar maupun kecil merupakan realitas sejarah yang harus diterima sebagai suatu sunnatullah, dan sebaik-baik ummat sebagaimana dinyatakan Allah dalam Al-Qur’an s. Al-Baqarah/2:143, adalah ummat yang mengambil posisi tengah (ummatan wasathan). Abdullah Yusuf Ali, penafsir besar Al-Qur’an menerjemahkan ummatan wasathan dengan an ummat justly balanced (Yusuf Ali, The Holy Quran Translation and Commentary, 1998). Muhammad ‘Abid al-Jabiri, seorang pemikir Islam kontemporer asal Maroko, mengatakan bahwa hendaknya umat Islam tidak terjebak ke dalam ekstrimisme karena fenomena ekstrimisme itu, jika dilihat secara historis, selalu berujung pada kehancuran, misalnya yang dialami kelompok khawarij. Mazhab Asy’ari yang merupakan cikal bakal Ahl Sunnah senantiasa bertengger pada posisi tengah seperti halnya mazhab Itsna ‘Asy’ariyah selalu bertengger pada kelompok tengah di antara berbagai kelompok dalam Syi’ah. Baik Sunni maupun Syi’ah Itsna ‘Asy’ari atau disebut juga Syi’ah Imamiyah, kedunya berhasil membangun ulang metode pemikiran, aqidah dan syari’ah dengan berangkat dari proposisi-proposisi baru dan tujuan-tujuan kontemporer. Sementara itu gerakan-gerakan ekstrim akan surut dari arena ketika posisi tengah muncul. Dengan mengambil kasus revolusi Iran, Loenard Binder dalam bukunya Islamic Liberalism menegaskan bahwa keberhasilan revolusi Iran adalah berkat persatuan berbagai kelompok rakyat Iran tanpa memandang perbedaan idiologi dan kelompok.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar