Gallery

Gallery
Asia Leader Forum di Jepang

Minggu, 20 Maret 2011

Artikel Isu Pendidikan: Drs. H. Abdul Khoir, M.Pd,

Abdul Khoir
2/20/2011




Kurikulum Padat Siswa Terperanjat
Tak jarang dijumpai kegundahan orang tua setelah melihat wajah murung anaknya yang baru saja pulang dari sekolah ditingkat sekolah dasar. Apa gerangan yang terjadi pada anak di sekolah? Tak jarang pula jawaban si anak malah “geleng kepala”, pertanda tak tahu kalimat apa yang dapat menggambarkan kebingungan yang dirasakan.
Mengapa ini terjadi? Benarkan sekolah justeru menjadikan siswa murung dan selalu bingung? Bukankah sejatinya sekolah adalah tempat anak-anak yang paling menyenangkan?, karena ketemu dan bermain dengan banyak teman. Belajar,berdialog dan berlindung dengan para gurunya? Tempat yang oleh Ki Hadjar Dewantara (1977) disebut dengan Taman Siswa atau oleh Mohammad Sjafei (1972) menyebutnya dengan sekolah Kayu Taman. Sekolah memang harus menjadi taman. Taman dimana semua orang dapat senang dan gembira karena dengan perasaan itulah seseorang dapat dengan mudah mengembangkan segala potensi dasarnya. Gagne (The Condition of Learning,1977) mengatakannya sebagai suasana yang menumbuhkan berfikir kreatif dan demokratis. Lantas faktor apa saja yang menyebabkan sekolah mejadi “menyebalkan” bagi anak-anak?
Dalam banyak penelitian terutama tentang kesulitan siswa dalam mengikuti kegiatan pembelajaran khususnya di tingkat sekolah dasar, salah satu faktor yang cukup tinggi adalah padatnya kurikulum di sekolah. Dampak langsung faktor ini adalah timbunya rasa bosan dan jenuh siswa dalam mengikuti pembelajaran.
Kepadataan kurikulum dapat didentifikasi melalui kerangka dasar dan struktur kurikulum dikaitkan dengan cakupannya. Apakah desain instruksional dari masing-masing matapelajaran yang dikembangkan disekolah benar-benar telah mempertimbangkan kebutuhan, potensi, perkembangan dan karakteristik siswa? Belum lagi dilihat dari aspek materi/isi pelajaran dari masing-masing mata pelajaran dikaitkan dengan beban waktu yang tersedia.
Kondisi inilah yang dianggap paling krusial karena prinsip pengembangan kurikulum tingkat satuan pendidikan jenjang pendidikan dasar dan menengah dikembangkan oleh sekolah dan komite sekolah berpedoman pada standar kompetensi lulusan dan standar isi serta panduan penyusunan kurikulum yang dibuat oleh BSNP (lampiran permendiknas No 22 tahun 2006).
Di tingkat praktis krusial dalam kurikulum disebabkan karena pemahaman implementasi kurikulum tidak dibarengi dengan kemampuan teknis penyusunannya. Jika memilki kemampuan teknis pun, persoalan berikutnya adalah kemampuan menjabarkan cakupan kelompok matapelajaran menjadi lebih jelas dan terukur. Ditambah lagi dengan anggapan bahwa cakupan dari satuan matapelajaran harus diakomodasi secara sekaligus, bila perlu semua cakupan dari prinsip-prinsip pengembangan kurikulum dapat diurai dalam bentuk standar kompetensi dan kompetensi dasar. kompetensinya ideal sebagaimana menjadi tujuan pendidikan nasional agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.(UU sisdiknas No 20 tahun 2003)
Prinsip dalam pelaksanaan Kurikulumnya harus menegakkan kelima pilar belajar, yaitu: (a) belajar untuk beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, (b) belajar untuk memahami dan menghayati, (c) belajar untuk mampu melaksanakan dan berbuat secara efektif, (d) belajar untuk hidup bersama dan berguna bagi orang lain, dan (e) belajar untuk membangun dan menemukan jati diri, melalui proses pembelajaran yang aktif, kreatif, efektif, dan menyenangkan.
Hemat penulis kata kunci keberhasilan pembelajaran berdasar dari prinsip pelaksanaan kurikulum adalah menciptakan pembelajaran yang aktif, kreatif, efektif dan menyenangkan. Dengan demikian prinsip ini akan bertabrakan dengan desain kurikulum yang padat, dipaksakan mengakomodasi semua cakupan sehingga melampaui beban belajar, dan mengejar target ketuntasan penyampaian materi pelajaran. hal lain juga karena ketidak piawaian guru dalam menggunakan metode dan media pembelajaran. keadaan ini dapat ditelisik dari sajian materi yang diajarkan guru di kelas dalam buku paket pelajaran.
Pada kasus kesulitan belajar siswa pada mata pelajaran Sains di kelas IV sekolah dasar. Dijumpai gambaran yang meyakinkan bahwa kesulitan siswa mengikuti pelajaran sain di sekolah adalah 1). Materi terlalu banyak memperkenalkan istilah asing. 2). Materi terlalu banyak dan terkesan sangat padat. 3).Materi yang disampaikan miliki kecenderungan harus banyak dihafalkan oleh para siswa. (Abdul khoir, 2008)
Penggunaan istilah asing dalam pelajaran Sains, lihat buku paket pelajaran yang berjudul “SAINS untuk Sekolah Dasar Kelas 4”, Editor; Chrisnawati, penerbit Erlangga,2006, sistematika tulisan buku dibagi menjadi dua semester, masing-masing terdapat 2 unit terdiri dari 8 bab untuk semester 1 dan 2 unit dengan 7 bab untuk semester 2. Ditemukan 123 kata atau istilah asing dan 56 kalimat yang sulit dimengerti bagi siswa.
Penggunaan istilah asing pada pelajaran Sains memang tidak perlu dipersoalkan mengingat istilah itu sudah dibakukan menjadi istilah yang berlaku dalam Sains. Persoalannya adalah bagaimana memberikan kemudahan pemahaman siswa pada istilah-istilah asing dan kalimat-kalimat (pernyataan) ilmu pengetahuan Sains. persoalan ini tentu saja hanya bisa dijawab dengan hadirnya guru yang kompeten baik dalam penguasaan materi pelajaran, penggunaan metode dan yang terpenting keterampilan menggunakan media dan sumber belajar. Ketersediaan sarana jika tidak didampingi oleh guru yang handal tentu juga tidak menjawab persoalan. Namun demikian penggunaan istilah asing harus disertai dengan penjelasan yang lebih sederhana dan mudah dimengerti siswa dan menghindari penggunaan kata atau kalimat yang ambigu.
Materi Sains yang dipelajari sangat banyak dan terkesan padat. Ruang lingkup kajian dari setiap pokok bahasan sangat luas ditambah pokok bahasan berikutnya yang juga memiliki karakter yang sama. Dalam satu kali jam pelajaran guru harus mampu mengejar target kurikulum yang sangat banyak, sementara muatan materi berikutnya kurang memiliki jatah waktu penyampaian yang cukup. Sehingga pada beberapa pertemuan guru harus memadatkan materi yang tentunya hal ini cukup menjadi salah satu penyebab munculnya kesulitan siswa dalam mempelajari Sains.
Materi pelajaran Sains cenderung harus banyak dihafal oleh siswa agar dapat mengikuti pelajaran pada pertemuan berikutnya. Materi yang sedang mereka pelajari sangat memungkinkan untuk dikuasai apabila memulai cara menghafal. Sebab pengenalan banyak istilah, dan guru menuntut membuat laporan hasil para siswa membaca sajian materi tersebut hanya akan dapat dilakukan siswa dengan menghafal.
Indikator padatnya kurikulum di tingkat satuan pendidikan dapat dilihat juga pada materi mata pelajaran lainnya. Seperti IPS, Pendidikan Agama, Matematika dan Seni Budaya. Indikator lain yang dapat menjadi ukuran juga adalah sulitnya menerapkan metode belajar koorperatif atau active learning yang menjadi basis pembelajaran aktif, kreatif, efektif dan menyenangkan karena waktu yang tersedia hanya 35 menit atau menjadi 70 menit dengan asumsi 2 jam pada satu kali kegiatan pembelajaran di kelas.
Pilihan guru dengan kondisi ini lebih banyak menentukan kegiatan pembelajaran dengan metode ceramah dan penugasan. Bentuk pembelajaran dilangsungkan dengan lebih banyak guru menjelaskan materi pokok bahasan dan memberikan tugas (pekerjaan rumah) baik berupa hapalan maupun pengisian lembar kerja siswa (LKS). Bisa dibayangkan beban waktu terutama bagi siswa menghabiskan waktu kurang lebih 420 menit di kelas setiap harinya di sekolah (dengan rasio 35 menit perjam dikali dua rata-rata kegiatan pembelajaran yakni 70 menit dikali 6 mata pelajaran dalam satu hari) hanya untuk mendengarkan penjelasan guru dari semua mata pelajaran dan kemudian pulang dengan membawa tugas sekolah juga dari semua mata pelajaran di hari itu. Tak terasa lalu ketemu dengan ulangan mingguan dan terakhir ketemu ujian akhir.
Kegiatan pembelajaran yang tidak menumbuhkan kreatifitas dan menyenangkan yang berlangsung selama lama ini menurut Ace Suryadi Dirjen PLS Kemendiknas jelas hanya kegiatan teaching untuk memorizing lalu remembering merangkak ke forgeting akhirnya nothing.
Lalu apa yang bisa dilakukan guru untuk memberikan jawaban masalah ini? Sesungguhnya kebijakan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) memberikan ruang yang cukup untuk guru menyusun kurikulum yang menciptakan proses pembelajaran yang efisien dan efektif. Kurikulum yang dirancang secara sistematik sejak penentuan tujuan yang harus dicapai, materi yang harus dipelajari, proses pembelajaran yang harus diterapkan, dan sistem evaluasi yang harus dikembangkan dan dilaksanakan (Soedijarto, 2004).
Patut dipertimbangkan rumusan model pembelajaran yang di dikemukakan oleh Whitehead sampai pada “joy of discovery” yang diharapkan proses pembelajaran itu bermakna sebagai proses pembudayaan dan proses penguasaan seni menggunakan ilmu pengetahuan. Rumusan itu diambil dari empat pilar belajar UNESCO melalui International Commision on Education for The Twenty Firs Century, yaitu “learning to know, learning to do, learning to be, and learning to live together”.
Menerapkan empat pilar tersebut berarti bahwa proses pembelajaran memungkinkan peserta didik dapat menguasai cara memperoleh pengetahuan, berkesempatan menerapkan pengetahuan yang dipelajarinya, berkesempatan untuk berinteraksi secara aktif dengan sesama peserta didik sehingga dapat menemukan dirinya. Model pembelajaran seperti ini hanya dapat berlangsung dengan tenaga guru yang penuh konsentrasi, peralatan yang memadai, dengan materi yang terpilih dan waktu yang cukup tanpa harus mengejar target untuk ujian nasional. Ujian nasional akan mengurangi kreatifitas belajar sampai tingkatan “joy of discovery”. (Soedijarto, 2004).
Guru dalam melaksanakan pembelajaran dapat menjadikan rambu-rambu pembelajaran sebagai berikut , pertama; bahan kajian/ sub pokok bahasan sebagai mata pelajaran yang berdiri sendiri, tetapi diajarkan secara sistematis. Kedua; aspek kerja ilmiah, bukanlah bahan ajar melaikan cara untuk menyampaikan bahan pembelajaran. Karena itu terintegrasi dalam kegiatan pembelajaran. Pemilihan dalam kegiatan pembelajaran harus disesuaikan dengan tingkat perkembangan anak. Ketiga; pendekatan yang digunakan berorientasi pada siswa. Peran guru bergeser dari menentukan “apa yang akan dipelajari” ke “bagaimana menyediakan dan memperkaya pengalaman belajar siswa”. Pengalaman belajar diperoleh melalui serangkaian kegiatan untuk mengeksploitasi lingkungan melalui interaksi aktif dengan teman, lingkungan dan nara sumber lain.
Biasanya tidak akan secara penuh memahami suatu konsep pada saat pertama kali diajarkan. Oleh karena itu dalam merancang kegiatan pembelajaran guru perlu menyadari keberadaan anak-anak dalam tahapan belajar. Mulyono Abdurahman dalam penelitiannya tentang pendidikan bagi anak berkesulitan belajar, 2003. mengemukakan ada empat tahapan belajar yang perlu diperhatikan yaitu perolehan (acquisition), kecakapan (proficiency), pemeliharaan (maintenance) dan generalisasi (Generalization).














Daftar Pustaka

1. Dewantara, Ki Hadjar, 1977. Pendidikan dan Kebudayaan, Yogyakarta: Majelisiluhur Persatuan Taman Siswa.
2. Sjafei, Mohammad, 1979. Dasar-Dasar Pendidikan, Jakarta: Yayasan Proklamasi dan CSIS.
3. Delors, Jacques, et. Al,. 1998. Education for the Twenty-first Cemtury. Issues and Prospeccts, UNESCO Publishing.
4. Gagne, Robert M, 1977. The Condition of Learning,
5. UU Sisdiknas Nomor 20 tahun 2003
6. Permendiknas Nomor 22 tahun 2006
7. Khoir, Abdul, 2008,. Kesulitan Belajar Sains; studi pada pembelajaran Sains Siswa Kelas IV Sekolah Dasar Negeri di Kabupaten Bekasi, Tesis, Universitas Negeri Jakarta.
8. Soedirjarto, 2004,. Kurikulum, Sistem Evaluasi, dan Tenaga Pendidikan sebagai Unsur Strategis dalam Penyelenggaraan Sistem Pengajaran Nasional, Jurnal Pendidikan Penabur-no 03/ th.III

Identitas Penulis
Abdul Khoir HS, Lahir di Bekasi, 24 Pebruari 1969. Menyelesaikan studi S1 di Fakultas Dakwah IAIN SGD Bandung tahun 1993 dan S2 jurusan Teknologi Pendidikan di UNJ Jakarta tahun 2008. saat ini sedang menyelesaikan program doktoral di UNJ Jakarta. Sejak tahun 1994 hingga sekarang masih menjadi dosen tetap di Fakultas Agama Islam Universitas Islam “45” Bekasi. Aktif diberbagai kegiatan penelitian baik bidang agama, sosial, budaya, dan pendidikan. Hingga sekarang ini dipercaya menjadi direktur Lembaga Penelitian Pendidikan dan Kajian Agama (LP-dika) UNISMA Bekasi. Anggota aktif Pusat Kajian Otonomi dan Pembangunan Daerah (PUSKOTDA) Bekasi. Pernah menjadi pimpinan nasional delegasi pertukaran Pemuda Indonesia-Jepang bidang Local Development tahun 2003 dan delegasi Indonesia dalam Regional Leaders Forum ASEAN di Bangkok Thailand tahun 2008. Penulis dan penyusun Buku Kamus Dialek Bekasi 2002 dan Ensiklopedia Sejarah dan Budaya Bekasi 2006. Pemandu sekaligus Narasumber tetap dialog interaktif dalam program Gali Sejarah dan Budaya (GSB) Bekasi radio dakta 107 FM Bekasi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar