Gallery

Gallery
Asia Leader Forum di Jepang

Kamis, 03 Maret 2011

Artikel

Pemikiran Abdul Qodir Bafaqih antara Ahlusunnah dan Syi’ah serta Kontribusinya terhadap Pendidikan Pesantren (Sebuah Studi Komparasi Pemikiran Islam
dari Tanah Jawa)
Hudori

Abstract. Abdul Qadir Bafaqih role against the development of Islamic thought, especially in Central Java region can not be considered small, especially if associated with the development of Shiites in Indonesia. Therefore it is not too much what was raised by Ahmad Shafi in his research, that the Shiites understand the development in Indonesia in the twentieth century of which is inseparable from the business that was founded by Abdul Qadir bafaqih, one of the scholars who took an interest and attention large enough on the development of thought and Islamic education in Indonesia. Prior to 1974, Abdul Qadir Bafaqih has attended religious understanding and practice at the time claimed by the majority of Muslims in the environment is a familiar and Ahl al-Sunnah wal Jama practice. If observed from the travel and biography and his works, it can be concluded that the patterns of thought Abdul Qadir Bafaqih lead to the observation of religious behavior in the surrounding community, as well as the influence of Shiites who had indeed been deeply rooted as a result of education and that since the early indoctrination instilled by his father. This is of course an impact on his thinking pattern that has a tendency to separate and more or less different from the mode of thinking scholars in general, including Shiite clerics. Whatever form of thinking that has been offered by Abdul Qadir Bafaqih as already described above and apart from the concept of the Sunni - Shi'ite, is still being debated and per-bincangan in the discourse of Islamic thought, the effort of ijtihad has done commendable and at least can be used as an alternative thoughts that will enrich the intellectual heritage of Islam in Indonesia, although the ideas and thoughts that still require review and further research. On the other hand, demonstrated consistency Abdul Qadir Bafaqih Islamic thoughts and the discourse it offers, most are not going to lead to the conclusion that there is essentially no difference between Sunni - Shi'ite. Bafaqih contribution lies in Islamic boarding school education is an attempt to engage in dialogue between Sunni and Shi'ite sects so that the expected occurrence of tolerance and pluralism in Islam.

Islamisasi dan Tradisi Keagamaan Masyarakat Jawa
Penyebaran Islam di tanah Jawa telah dimulai pada abad kelima belas masehi yang ditandai dengan men-daratnya para pedagang Arab dan negara-negara lain di sepanjang Pantai Utara Laut Jawa, meskipun ber-dasarkan bukti-bukti peninggalan sejarah menunjukkan bahwa besar kemungkinan pada abad ketiga belas masehi sudah ada orang-orang Islam yang menetap di Jawa. Sebab jalur perdagangan melalui laut, yang melintasi Pantai Timur Sumatera melalui Laut Jawa ke Indonesia bagian Timur sudah ditempuh jauh sebelum masuknya Islam ke Indonesia. Proses Islamisasi tersebut ternyata mem-buahkan hasil yang cukup besar secara kuantitas, dalam waktu yang relatif singkat hampir seluruh masyarakat Jawa mengakui Islam sebagai agamanya.
Realitas sejarah menunjukkan, Islam masuk ke tanah Jawa lebih bercorak sufistik yang dibawa oleh tokoh-tokoh spiritual yang oleh masyarakat Jawa kemudian dikenal dengan sebutan wali atau utusan Islam berjumlah sembilan orang, sehingga dikenal dengan sebutan wali sanga ingkang arif wicaksana. Mereka yang disebut sebagai wali tidak lain adalah ulama setempat yang bertindak sebagai khalifah atau penghulu di berbagai kelompok masyarakat Islam di sepanjang Pantai Utara Pulau Jawa. Corak sufistik yang berkembang pada masa itu sejalan dengan paham Ahlussunnah wal Jama’ah, khususnya madzhab Syafi’i yang masuk ke Indonesia pada abad ketiga belas masehi. Hal ini dibuktikan dengan proses penyebaran Islam di Jawa yang dilakukan oleh wali songo tersebut ternyata bercorak madzhab Syafi’-iyyah, sehingga para wali tersebut dikenal sebagai pengikut paham Ahlussunnah wal Jama’ah
Para wali tersebut oleh masyarakat Jawa dipercaya sebagai peletak dasar batu pertama berkembangnya agama Islam di tanah Jawa. Proses penye-baran Islam yang dilakukan oleh wali sembilan tersebut tentu saja membawa pengaruh cukup besar terhadap kondisi masyarakat Indonesia ketika itu yang sebagian besar adalah masyarakat petani yang tinggal di daerah pedesaan. Pada gilirannya, pengaruh tersebut tidak memung-kinkannya Islam berkembang secara lebih rasional dan modern. Hal ini disebabkan karena paham Syafi’iyyah yang masuk dan berkembang di Indonesia pada abad ketiga belas masehi lebih menekankan aspek loyalitas kepada ulama, kyai, dan pemuka-pemuka agama lainnya, sehingga yang berkembang kemudian adalah sikap taqlid kepada pemuka-pemuka agama tersebut. Konsepsi ajaran Islam yang disampaikan oleh para pemuka agama di atas lebih banyak dipusatkan pada bidang-bidang ritual yang disesuaikan dengan tradisi masyarakat Indonesia ketika itu, hal ini menyebabkan pemahaman terhadap ajaran Islam yang bersifat rasionalistis kurang mendapat per-hatian.
Kenyataan lain menunjukkan bah-wa kelompok tradisional Islam Indonesia banyak dianut oleh ma-syarakat luas, terutama mereka yang tinggal di daerah pedesaan yang kehi-dupan, tingkah laku, dan cara berpikir masyarakatnya masih sangat seder-hana. Dengan kata lain, tradisi-onalisme Islam telah menjadi suatu kekuatan sosio-kultural keagamaan dan politik yang cukup menentukan dalam perkembangan Islam di Indo-nesia, khususnya di tanah Jawa.
Adapun ciri lebih ideologis yang kemudian mempengaruhi seluruh tingkah laku keagamaan, politik dan kemasyarakatan mereka, adalah keter-ikatan pada paham Ahlussunnah wal Jama’ah yang dipahami secara lebih khusus. Keterikatan mereka pada paham ini menjadi semakin ketat, yang pada gilirannya berfungsi seba-gai ideologi tandingan terhadap perkembangan pemikiran kalangan modernis yang berusaha melakukan penyegaran pemikiran Islam dan menganjurkan umat untuk tidak ter-belenggu dengan ajaran-ajaran madz-hab tertentu. Sementara di sisi lain, masyarakat Jawa yang telah mengenal Islam dan sebagian dari mereka kemudian menamakan dirinya sebagai kelompok Ahlussunnah wal Jama’ah, pada kenyataannya mereka juga melakukan kegiatan ritual yang oleh sebagian umat Islam dianggap berakar pada tradisi paganistik masyarakat Indonesia.
Di Indonesia, paham Ahlussunnah wal Jama’ah hingga kini masih tetap mempunyai pengaruh yang kuat terhadap pola kehidupan keagamaan umat Islam. Salah satu penyebab yang memperlancar perkembangan Ahlu-sunnah wal Jama’ah di Indonesia adalah sikap toleran yang ditunjukkan oleh kelompok ini disbanding ke-lompok-kelompok Islam lainnya. Karena itu, pada kelompok ini mem-pertahankan tradisi menjadi sangat penting artinya dalam kehidupan keagamaan mereka.
Benteng utama pendukung Ahlu-sunnah wal Jama’ah di Indonesia khususnya di tanah Jawa adalah ke-lompok kyai yang mendirikan pesan-tren-pesantren sebagai basis penye-baran paham-paham keagamaan yang dianutnya. Karenanya, pandangan tradisional dan konservatif para kyai tidak menghasilkan sistem statis, tetapi justeru melahirkan sistem yang menyebabkan terjadinya perubahan-perubahan, kendatipun dengan cara yang amat sulit diamati.
Sampai di sini dapatlah dipahami bahwa paham Ahlussunnah wal Jamaah yang masuk dan berkembang di Indonesia khususnya di tanah Jawa, diawali dengan terbentuknya kelom-pok Islam tradisionalis yang men-jadikan daerah pedesaan sebagai pusat penyebaran paham-paham keagamaan mereka. Kelompok tradisionalisme Islam yang mengklaim dirinya sebagai penganut paham Ahlussunnah wal Jamaah, pada kelanjutannya telah mendorong kaum terpelajar yang tinggal di daerah perkotaan untuk mengadakan pembaharuan atau lebih tepatnya pemurnaian terhadap paham Ahlussunnah wal Jama’ah sebagai-mana yang dipahami oleh kalangan tradisioinalisme Islam.
Semangat Ahlussunnah wal Jama-’ah yang dicetuskan oleh kelompok modernis Islam Indonesia pada awal abad kedua puluh, mempunyai ciri kuat yang membedakannya dengan konsep Ahlussunnah wal Jamaah sebagaimana yang dipahami oleh kelompok tradisionalis Islam yang berpusat di daerah pedesaan. Ciri kuat dimaksud adalah adanya keper-cayaan dan pendirian bahwa pintu ijtihad tidak pernah tertutup. Oleh karena itu praktik taqlid harus dihilangkan, konsep ajaran Islam harus diterjemahkan secara rasional sehingga mampu bersaing dengan peradaban modern. Mereka melihat bahwa penafsiran atau ajaran-ajaran bukan dasar yang tidak lagi sesuai dengan perkembangan jaman, harus ditinggalkan. Sebagai penggantinya, perlu diadakan ajaran bukan dasar baru dengan memberikan penafsiran-penafsiran baru dari ajaran dasar sebagaimana yang terdapat dalam Al Quran dan As Sunnah serta menye-suaikan penafsirannya dengan tuntutan jaman.
Sejalan dengan semangat kembali pada Al Quran dan As Sunnah, ka-langan modernis Islam juga me-lakukan upaya purifikasi ajaran-ajaran Islam dari elemen-elemen tradisi paganisme yang dapat menimbulkan bid’ah dan khurafat serta melepaskan keterikatan pada ajaran madzhab yang dinilai telah membelenggu pemikiran keagamaan umat Islam.
Kedua kelompok di atas, yakni kelompok tradisionalis sebagai pelo-por terbentuknya paham Ahlussunnah wal Jamaah di kalangan komunitas umat Islam di Jawa dan kalangan modernis sebagai kelompok pem-baharu, telah memainkan peranan penting dalam pembentukan pola pemikiran keagamaan umat Islam sehingga menjadikan Ahlussunnah wal Jama’ah sebagai madzhab yang dianut oleh mayoritas umat Islam di Indonesia.
Meskipun masing-masing kelom-pok mempunyai ciri yang kuat dan memiliki pendukung yang membedakan antara kelompok satu dengan yang lainnya, namun semangat keagamaan Islam mereka tetap bercirikan Ahlussunnah wal Jama’ah yang hingga kini kedua kelompok keagamaan Islam tersebut tidak pernah melepaskan diri untuk turut menentukan perjalanan sejarah perkembangan Islam di tanah Jawa.

Abdul Qodir Bafaqih dan Pergo-lakan Pemikiran Islam di Indonesia
1. Mengenal Sejarah Hidup Abdul Qodir Bafaqih
Abdul Qodir Bafaqih lahir di desa Kutorejo, Tuban, Jawa Timur, pada tahun 1900 dan wafat di desa Bangsri, Jepara, Jawa Tengah, pada tahun 1993. Ayahnya bernama Abu Bakar bin Muhammad bin Abdul Qodir yang berasal dari Gaidun, Hadramaut. Baik ayah maupun ibunya, Zainab, adalah keluarga sayyid. Kesayyidan Abdul Qodir bafaqih dapat dilihat dari nama suku yang ada di belakang nama beliau, yaitu “Bafaqih” yang mengacu pada “Sahib al Hauto”, moyang laki-laki Al Faqih Ahmad bin Abdul Rahman bin Ali bin Muhammad yang meninggal dunia pada tahun 726 H. atau 1326 M. Nama “Bafaqih” sendiri mengandung pengertian geneologis yang dipakai di Saudi Arabia terutama bagi para sayyid dan mashaikh dari Hadramaut .
Tokoh Syi’ah ini tidak pernah mengikuti pendidikan formal, baik di sekolah umum maupun sekolah agama. Pengetahuan agama yang dimiliki Abdul Qodir Bafaqih sebagian diperoleh dari pendidikan yang diberikan oleh ayahnya, di samping ia juga pernah belajar dengan beberapa ulama yang lain. Ketika berusia 13 Tahun, oleh ayahnya Abdul Qodir Bafaqih dikirim ke Hadramaut. Selama di Hadramaut ia mendapat bimbingan dari Habib Abdullah bin Thojir Al Haddad, salah seorang ulama di Hadramaut. Merasa tidak puas dengan apa yang telah diper-olehnya selama di Hadramaut, Abdul Qodir Bafaqih kemudian melanjutkan perjalanannya menuju Makkah, oleh familinya ia dimasukkan ke Ribat As Sradah, sebuah lembaga pendidikan yang ada di kota Makkah ketika itu.
Selama tujuh tahun di Makkah, Abdul Qodir Bafaqih sempat memperdalam pengetahuan agamanya di Masjidil Haram dengan beberapa ulama terkenal, antara lain Abu Bakar bin Idris Al Baar, seorang ulama fiqih, Syekh Muhammad Bafail al Amudy, juga seorang faqih, dan Habib Idrus bin Salim Al Baar, seorang ulama sufi. Beberapa kitab yang pernah dipelajarinya selama di Makkah ada-lah I’anatut Thalibin, Minhaj oleh An Nawawi, dan Nihayah Al Muhtaj oleh Ar Ramli serta Tuhfah Al Muhtaj oleh Ibnu Hajar al Haitami.
Pemgalamannya bergaul dengan para kyai di lingkungannya ternyata menarik perhatian Abdul Qodir bafaqih dan kemudian menjadi bahan pemikirannya untuk membuka lem-baga pendidikan keagamaan. Gagasan ini kemudian direalisasikannya dengan mendirikan Pondok Pesantren Ribatul Khairat di Jepara – Jawa Tengah pada tahun 1949. Dalam perjalanannya, Pondok Pesantren yang dipimpinnya ini memegang peranan penting tidak hanya sebagai lembaga pendidikan keagamaan tetapi juga sebagai basis perkembangan Syi’ah di Jawa Tengah, di samping sebagai salah satu pusat gerakan pembaharuan Islam di Jawa yang dicetuskan oleh Abdul Qodir bafaqih.
Berdasarkan hasil penelitian De-partemen Agama Propinsi Jawa Tengah, bahwa sebelum tahun 1974 Abdul Qodir Bafaqih adalah penganut paham Ahlussunnah wal Jama’ah. Kesunniannya itu berasal dari pen-didikan dan pengaruh tradisi yang dikembangkan dalam lingkungannya. Setelah terjadi pergolakan pemikiran dalam dirinya yang memakan waktu cukup lama, pada tahun 1974 Abdul Qodir Bafaqih berpindah paham menjadi penganut Syi’ah. Perpin-dahannya menjadi penganut Syi’ah mencapai puncaknya pada tahun 1979 bertepatan dengan terjadinya revolusi Iran yang dipelopori oleh Ayatullah Rahullah Khamaini dalam menumbangkan rezim Syah Reza Pahlevi.
Sepanjang hidupnya, selain aktif dalam kegiatan dakwah keagamaan dan kemasyarakatan, Abdul Qodir Bafaqih juga seorang ulama yang cukup produktif. Melihat karya-karyanya yang cukup banyak, maka tidaklah berlebihan untuk menye-butnya sebagai ulama-intelektual. Kontribusi pemikiran yang diberikan Abdul Qodir bafaqih terhadap kha-zanah pemikiran Islam di Indonesia cukup besar, terutama yang berkaitan dengan pemikiran dan pandangannya tentang Ahlussunnah wal Jama’ah dan Syi’ah.
Setelah sekian lama berdakwah dan hampir sebagian besar hidupnya digunakan untuk mencari, meyiarkan dan sekaligus mempertahankan paham keislaman yang benar menurut pemi-kirannya, maka pada tanggal 1 Jumadil Awwal 1414 H. bertepatan dengan tanggal 17 Oktober 1993 M. Abdul Qodir bafaqih menghembuskan napasnya yang terakhir, beliau wafat dalam usia 93 tahun.
Peranan Abdul Qodir Bafaqih terhadap perkembangan pemikiran Islam khususnya di wilayah Jawa Tengah tidak dapat dianggap kecil, terlebih lagi jika dikaitkan dengan perkembangan Syi’ah di Indonesia. Oleh karenanya tidaklah terlalu berlebihan apa yang dikemukakan oleh Ahmad Syafi’i dalam pene-litiannya, bahwa berkembangnya paham Syi’ah di Indonesia pada abad ke – 20 diantaranya tidak terlepas dari usaha yang telah dirintis oleh Abdul Qodir bafaqih, salah seorang ulama yang menaruh minat dan perhatian yang cukup besar terhadap perkem-bangan pemikiran Islam di Indo-nesia.

2. Pemikiran Abdul Qodir Bafaqih: Upaya Mencari Titik Temu Sunni - Syi’ah
Sebelum tahun 1974, Abdul Qodir Bafaqih telah mengikuti paham dan amalan keagamaan yang pada waktu itu diklaim oleh mayoritas umat Islam di lingkungannya sebagai paham serta amalan Ahlussunnah wal Jama’ah. Namun di sisi lain, Abdul Qodir Bafaqih juga memiliki kecenderungan dan keyakinan terhadap paham Syi’ah. Kondisi ini menyebabkan timbulnya pergolakan pemikiran keagamaan sehingga keyakinannya terhadap paham Ahlussunnah wal Jama’ah semakin goyah, sementara ia sendiri belum dapat memutuskan untuk mengikuti paham Syi’ah secara total, baik dalam pemahaman maupun amaliyahnya.
Setelah sekian lama mengalami pergolakan pemikiran yang cukup mendalam, Abdul Qodir Bafaqih mengikrarkan diri dan menyatakan berpindah paham sebagai penganut Syi’ah secara keseluruhan, yakni benar-benar menjadikan Syi’ah se-bagai paham serta acuan dalam pemikiran dan pengamalan ajaran Islam. Melalui proses dan pergolakan pemikiran yang cukup panjang, akhirnya Abdul Qodir Bafaqih mencapai puncak keyakinannya untuk menjadikan Syi’ah sebagai paham serta rujukan dalam menjalankan syari’at Islam hingga akhir hayatnya.
Ketertarikan dan perpindahan paham dari Ahlussunnah wal Jama’ah menjadi penganut paham Syi’ah terjadi setelah Abdul Qodir Bafaqih menelaah dan membandingkan kitab Al Muraja’at yang ditulis oleh Imam Syarafuddin Al Musawi dengan kitab-kitab yang selama ini dijadikan rujukan oleh penganut paham Ahlus-sunnah wal Jama’ah. Selain kitab Al Muraja’at, terdapat beberapa kitab lain yang turut mempengaruhi pemikiran dan perpindahan Abdul Qodir Bafaqih menjadi seorang penganut Syi’ah yang taat dan konsisten selama hidupnya. Kitab-kitab tersebut adalah Al Hayat (tentang sejarah kehidupan Rasulullah SAW.), Ali wa Munawwi’uhu (tentang Imam Ali dan musuh-musuhnya), Ali Al Hakimun (tentang putusan-putusan Imam Ali), Al Ghadir (orang-orang yang meriwayatkan hadits mngenai peristiwa Al; Ghodirqum), ‘Ilmul Yaqin (tentang sabda Imam, sejarah sahabat Rasulullah Saw. termasuk riwayat hidup dan perilaku Ali bin Abi Thalib terhadap Rasulullah SAW.), Islamus Shahih (bantahan terhadap kitab Islamus Shahih yang ditulis oleh seorang ulama Al Azhar), dan kitab Sab’ah minas Salaf (tentang kesalahan tujuh orang sahabat yang tergolong pendahulu dalam Islam).
Setelah melalui masa-masa pergolakan pemikiran yang sulit dan berakhir dengan perpindahan paham dari seorang penganut madzhab Ahlussunnh wal Jama’ah menjadi penganut Syi’ah, Abdul Qodir Bafaqih kemudian berupaya menyiarkan ajaran dan pemikiran keagamaannya kepada masyarakat Islam di lingkungannya, terutama kepada keluarga dan para pengikutnya. Usaha yang dilakukan Abdul Qodir Bafaqih untuk me-nyebarluaskan pemahaman dan pemikirannya itu, salah satunya adalah dengan menulis beberapa buah kitab. Sebelum tahun 1974 atau pada saat ia masih beri’tiqad kepada paham Ahlussunnah wal Jama’ah, Abdul Qodir Bafaqih sempat menulis kitab Al Itqan fit Ta’limil Lughatil Quran yang berisi penjelasan tentang orang-orang yang dekat dengan Rasulullah SAW. baik yang mukmin maupun yang kafir. Sedangkan setelah menjadi penganut Syi’ah atau setelah tahun 1974, Abdul Qodir Bafaqih juga menulis beberapa buah kitab yang berisi pemikirannya tentang Ahlus-sunnah wal Jama’ah dan Syi’ah. Kitab-kitab tersebut anatara lain Muhammadun wa Akhuhu, Haqqul Mubin, Al As-Ilah, dan Aqaid. Selain kelima kitab di atas, 1a juga me-nuangkan pemikiran-pemikiran ke-islamannya ke dalam beberapa manuskrip, dua diantaranya adalah Jawabul Muhammadiyah dan Jawabul Wasiyyah.
Jika diamati dari perjalanan dan riwayat hidup serta karya-karyanya, maka dapatlah disimpulkan bahwa pola pemikiran Abdul Qodir Bafaqih bermuara pada pengamatannya terha-dap perilaku keagamaan masyarakat di sekitarnya, di samping juga karena pengaruh paham Syi’ah yang sebe-lumnya memang telah berakar kuat sebagai hasil dari pendidikan dan indoktrinasi yang sejak awal dita-namkan oleh ayahnya. Hal ini tentu saja berdampak pada pemikirannya yang memiliki corak dan kecen-derungan tersendiri yang sedikit-banyak berbeda dengan corak pemi-kiran ulama pada umumnya termasuk ulama Syi’ah.
Menurut pandangan Abdul Qodir Bafaqih, penyebutan istilah Ahlus-sunnah wal Jama’ah tidaklah merujuk pada madzhab atau kelompok tertentu di antara umat Islam, karena tidak ada satupun nash yang menjelaskan demikian. Oleh karena itu, seseorang tidak berhak mengklaim bahwa hanya diri dan kelompoknyalah yang termasuk Ahlussunnah wal Jama’ah, sementara orang yang berada di luar kelompoknya bukan termasuk go-longan Ahlussunnah wal Jama’ah. Jika ada seseorang atau kelompok tertentu di antara umat Islam yang mengklaim bahwa sebutan “jama’ah” sebagai-mana yang dimaksud dalam penger-tian “Ahlussunnah wal Jama’ah” adalah ditujukan kepada diri dan kelompoknya, maka pada hakikatnya mereka itu telah keluar dari jamaah Islam.
Berkaitan dengan sabda Rasulullah SAW. yang menjelaskan bahwa umat Islam akan berpecah menjadi tujuh puluh tiga firqah, semuanya kelak akan berada dalam siksa neraka kecuali satu, Abdul Qodir berpendapat bahwa satu firqah yang selamat adalah mereka yang berpegang pada sunnah Rasulullah SAW. dan mengikuti jejak para sahabatnya, mereka itulah yang disebut sebagai firqah najiyah (golongan yang selamat). Mereka yang tergolong ke dalam firqah ini adalah yang senantiasa berpegang teguh pada Al Quran dan As Sunnah, berittiba’ hanya kepada Rasulullah SAW. serta menjauhi sikap taqlid kepada para ulama, Imam Madzhab serta kitab-kitab furu’ yang dikarang oleh mereka. Firqah ini juga ditandai dengan penolakan mereka terhadap segala bentuk pengambilan hukum Islam yang tidak bersumber pada Al Quran dan As Sunnah serta mengem-balikan segala persoalan keagamaan Islam hanya kepada ketentuan Allah dan Rasul-Nya sebagai “Ahlu Dzikr”.
Esensi Ahlussunnah wal Jama’ah menurut pandangan Abdul Qodir Bafaqih adalah terletak pada ketaatan umat Islam dalam menjalankan syariat agamanya sesuai dengan ketentuan sebagaimana telah ditetapkan dalam Al Quran dan As Sunnah. Seluruh umat Islam adalah Ahlussunnah wal Jama’ah sebagai firqah najiyah, selama mereka menepati risalah Allah yang diturunkan kepada Rasulullah SAW. serta meneladani jejak para sahabatnya (ma ana ‘alaihi wa ashabi). Ahlussunnah bukanlah Ahlul Ahwa wal Bid’ah. Jama’ah adalah seluruh umat Islam yang mengimani ajaran Allah dan Rasul-Nya. Jama’ah bukanlah segolongan umat Islam yang mengklaim diri sebagai Ahlussunnah wal Jama’ah, sementara pada praktiknya mereka banyak melakukan bid’ah dalam urusan agama. Golongan semacam ini justeru bertentangan dengan aqidah Ahlussunnah wal Jama’ah yang pada dasarnya me-nentang segala bentuk perilaku bid’ah dan taqlid dalam seluruh praktik keagamaan Islam.
Sikap kehati-hatian yang ditun-jukkan Abdul Qodir Bafaqih serta kegigihannya untuk mengembalikan segala bentuk persoalan yang me-nyangkut keagamaan Islam kepada sumbernya, yakni Al Quran dan As Sunnah, adalah merupakan bagian dari upayanya untuk membawa umat islam kepada Ahlussunnah wal Jama’ah yang benar menurut pemikirannya. Ia berusaha untuk membebaskan umat Islam dari belenggu taqlid atau keterikatan pada madzhab tertentu. Meskipun Abdul Qodir Bafaqih tidak mendorong umat Islam untuk melakukan penelaahan ulang serta menjelaskan kembali doktrin-doktrin keagamaan Islam dalam bahasa dan rumusan yang dapat diterima oleh pemikiran-pemikiran modern yang sering diistilahkan dengan tajdid, namun penolakannya terhadap madzhab baik dalam bidang ushul maupun furu’ serta semangatnya untuk menegakkan kembali budaya ijtihad dalam bidang pemikiran dan praktik keagamaan umat Islam, semua ini dapat dijadikan tolok ukur yang mencerminkan pandangannya yang menghendaki adanya pembaharuan atau pemurnian dalam bidang kehi-dupan keagamaan Islam.
Meskipun Abdul Qodir Bafaqih tidak memberikan definisi yang konkrit tentang Ahlussunnah wal Jama’ah dan Syi’ah sebagaimana yang dilakukan oleh sebagian ulama khu-susnya ulama kalam, namun dari pokok-pokok pikiran sebagaimana telah dipaparkan di atas dapatlah dipahami bahwa pada dasarnya ia telah memberikan batasan pengertian yang tegas tentang apakah Ahlus-sunnah wal Jama’ah dan Syi’ah itu serta siapakah yang disebut sebagai pengikut dari kedua firqah tersebut.
Abdul Qodir Bafaqih berpendapat bahwa hanya ada satu madzhab yang harus diikuti, yakni madzhab Rasulullah SAW. atau madzhab Ahlul Bait. Berpegang pada madzhab Ahlul Bait adalah merupakan suatu kewajiban bagi seluruh umat Islam. Adapun yang dimaksud dengan Ahlul Bait adalah seluruh keluarga dan anak keturunan Nabi Muhammad SAW. serta mereka yang mempunyai pertalian nasab dengan beliau. Selanjutnya Abdul Qodir Bafaqih menjelaskan, bahwa mereka yang tidak berpedoman kepada Rasulullah SAW. dan Imam dua belas maka mereka itulah yang disebut sebagai firqah halaqy (golongan yang akan binasa). Ia menyebutkan, bahwa tidak dikatakan berislam bagi siapa saja yang tidak mengikuti Rasulullah SAW. dan Ahlul Baitnya serta berpegang pada ajaran Imam dua belas. Pendapatnya ini didasari pada penafsirannya terhadap sebuah hadits yang menyebutkan bahwa umat Islam akan berpecah menjadi tujuh puluh tiga golongan dan hanya satu yang benar.
Pandangan Abdul Qodir Bafaqih tentang kedudukan Ahlul Bait dan Imam dua belas ini nampaknya telah dipengaruhi oleh paham Syi’ah yang sebelumnya memang telah berakar kuat dalam dirinya. Disinilah letak perbedaan yang cukup mendasar antara pandangan Abdul Qodir yang cenderung mengaitkan nilai-nilai Ahlussunnah wal Jama’ah dengan pa-ham Syi’ah yang dibawanya, dengan hakekat nilai-nilai Ahlussunnah wal Jama’ah sebagaimana yang disebutkan dalam nash Al Quran dan hadits Rasulullah SAW. yang secara maknawi menjelaskan bahwa nilai-nilai Ahlussunnah wal Jama’ah diwujudkan dalam bentuk ketaatan menjalankan perintah Allah dan Rasul-Nya serta meneladani sikap hidup orang-orang yang telah diridhai Allah SWT dari golongan Muhajirin dan Anshar serta orang-orang yang mengikutinya. Demikian juga dalam beberapa hadits yang menjelaskan tentang iftiraqul ummah, Rasulullah SAW. megisyaratkan bahwa golongan yang selamat di antara tujuh puluh tiga firqah yang akan binasa adalah mereka yang senantiasa berpegang pada sunnah beliau dan para sahabatnya, inilah hakekat Ahlussunnah wal Jama’ah sebagaimana yang diriwayat-kan oleh Imam At Turmudzi, Abu Dawud, Imam Muslim, dan Ibnu Majah.
Jika ditelusuri lebih lanjut, maka pandangan Abdul Qodir Bafaqih tentang nilai-nilai Ahlussunnah wal Jama’ah yang diwujudkan dalam bentuk ketaatan kepada Ahlul Bait Rasulullah SAW. dan Imam dua belas, juga berbeda dengan paham Ahlus-sunnah wal Jama’ah yang dibawa oleh generasi salafiyah dan gerakan pem-baharuan pemikiran Islam. Meskipun ia sepakat dengan pandangan generasi salafiyah dan kelompok pembaharu bahwa yang disebut sebagai Ahlu-sunnh wal Jama’ah adalah mereka yang senantiasa berpedoman pada Al Quran dan Sunnah Rasulullah SAW., namun mengenai siapa yang harus dijadikan teladan di dalam men-jalankan syariat Islam setelah seorang muslim meyakini kebenaran Al Quran dan As Sunnah, Abdul Qodir Bafaqih menolak pandangan generasi salafiyah dan kalangan pembaharu bahwa jamaah para sahabat Rasulullah SAW. dan generasi salafus shalih, mereka itulah yang patut dijadikan contoh bagi seluruh jamaah umat Islam dalam menjalankan syariat agama mereka sebagaimana yang telah diisyaratkan di dalam nash Al Quran dan sabda Rasulullah SAW. Sebaliknya, Abdul Qodir Bafaqih berpendapat bahwa yang harus diikuti setelah seorang muslim berpegang pada kebenaran yang terkandung dalam Al Quran dan As Sunnah bukanlah jamaah para sahabat Rasulullah SAW dan generasi salafus shalih, melainkan Ahlul Bait dan Imam dua belas.
Sampai di sini dapatlah diambil suatu bentuk pemahaman, bahwa konsepsi Ahlussunnah wal Jama’ah menurut pemikiran Abdul Qodir Bafaqih adalah paham atau keyakinan Rasulullah Muhammad SAW dan Ahlul Bait Beliau. Ahlussunnah wal Jama’ah bukanlah merujuk pada paham Asy’ariyah, Maturidiyah, Salafiyah, maupun Tajdidiyah, tetapi kembali pada sumber dasar ajaran Islam sebagaimana yang disampaikan oleh Rasulullah SAW. dan Ahlul Bait-nya. Rumusan Ahlussunnah wal Jama’ah yang ditawarkan oleh Abdul Qodir Bafaqih adalah merujuk pada apa yang tertera dalam Al Quran dan hadits-hadits Rasulullah SAW serta teladan para Ahlul Bait beliau. Melalui rumusan inilah Abdul Qodir Bafaqih menyoroti segala bentuk paham yang dianggap sesat dan menyimpang yang terdapat dalam kehidupan keberagamaan umat Islam.

Penutup
Abdul Qodir Bafaqih hidup pada masa ketika kehidupan keberagamaan umat Islam di lingkungannya masih penuh diwarnai dengan praktik-praktik keagamaan yang menurut pemikiran dan pengalamannya tidak bersumber pada ajaran dasar, yakni Al Quran dan As Sunnah. Kultus individu terhadap para ulama, kyai, dan para pemuka agama lainnya sangatlah dominan, demikian juga dengan praktik bid’ah serta taqlid kepada para ulama, Imam Madzhab dan kitab-kitab furu’ turut membelenggu pemikiran dan penga-malan umat Islam terhadap ajaran agamanya.
Meskipun di satu sisi ia menolak segala bentuk paham serta pemikiran yang dianggap menyimpang dari sumber ajaran dasar Islam, yakni Al Quran dan Sunnah Rasulullah SAW., sekalipun paham dan pemikiran tersebut bersumber dari ajaran Syi’ah. Namun di sisi lain ia menegaskan, bahwa konsepsi Ahlussunnah wal Jama’ah dengan memasukkan unsur-unsur yang menjadi i’tiqad paham Sy’ah ke dalam konsep pemikirannya itu, bukanlah didasari atas pemi-kirannya semata-mata. Ia berke-yakinan, bahwa upaya untuk mencari titik temu antara paham Ahlussunnah wal Jama’ah dan Syi’ah yang dilakukannya adalah merupakan bagian dari proses ijtihad yang me-mang dibenarkan bahkan diperin-tahkan oleh Allah dan Rasul-Nya.
Apapun bentuk pemikiran yang telah ditawarkan oleh Abdul Qodir Bafaqih sebagaimana telah dipaparkan di atas dan terlepas dari konsep ajaran Sunni – Syi’i yang sampai saat ini masih menjadi perdebatan dan per-bincangan dalam wacana pemikiran Islam, upaya ijtihad yang telah dilakukannya patut dihargai dan setidaknya dapat dijadikan sebagai sebuah alternatif pemikiran yang akan memperkaya khazanah intelektual Islam di Indonesia, meskipun gagasan dan pemikirannya itu masih me-merlukan kajian serta penelitian yang lebih mendalam. Di sisi lain, kon-sistensi yang ditunjukkan Abdul Qodir Bafaqih dan wacana pemikiran keislaman yang ditawarkannya, paling tidak akan bermuara pada satu kesimpulan bahwa pada hakikatnya tidak ada perbedaan antara Sunni – Syi’i. Semua firqah dan madzhab yang dianut dan diyakini kebenarannya oleh masyarakat Islam sampai saat ini sejatinya adalah berpegang pada satu paham, yakni Ahlussunnah wa Jama’ah, kendatipun ia mengaku sebagai penganut paham Syi’ah yang dalam beberapa i’tiqad dan praktik pengamalan keislamannya justeru berseberangan dengan apa yang se-lama ini dipercaya dan diyakini oleh sebagian umat sebagai i’tiqad dan amalan Ahlussunnah wal Jama’ah. Pemikiran Bafaqih ini memiliki sumbangan dalam pendidikan khu-susnya dalam upaya menanamkan dialog antar mazhab dalam pendidikan pesantren sehingga diharapkan akan terbangunnya toleransi dan penghar-gaan terhadap pluralisme internal masyarakat Islam.

Referensi

Ahmad Syafii, Profil Ustadz Abdul Qodir Bafaqih Studi tentang Perkembangan Faham/Aliran Syi’ah di Desa Bangsri Kab. Jepara Prop. Jawa Tengah (tidak dipublikasikan), Semarang : Departemen Agama RI., 1984.
Abdul Qodir Bafaqih, Al As-Ilah Jilid I, Manuskrip.
_________________, Al As-Ilah Jilid II, Manuskrip.










_________________, Al Itqan Fitta’limillugatil Quran, Manus-krip.
Einar Martahan Sitompul, NU dan Pancasila, Jakarta : Sinar Harapan, 1989.
Fachry Ali dan Bahtiar Effendy, Merambah Jalan Baru Islam, Bandung : Mizan, 1986.
Hamka, Sejarah Umat Islam Jilid IV, Jakarta : Bulan Bintang, 1981.
HJ. De Graaf dan TH. G. TH. Pigeaud, Kerajaan-Kerajaan Islam di Jawa, Pustaka Grafitipers dan KITLV (penterj.), Jakarta : Grafitipers, 1986.
HM. Rosyidi, Koreksi Terhadap Dr. Harun Nasution tentang Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jakarta : Bulan Bintang, 1989.
”Khotbah Bilfaqih dari Desa Bangsri”, Tempo, Nopember 1982, 38, 25 – 26.
Nurcholis Madjid, Khazanah Intelek-tual Islam, Jakarta : Bulan Bintang, 1984.
Slamet Effendi Yusuf, dkk., Dinamika Kaum Santri, Jakarta : Rajawali, 1983.
Suara Merdeka (Semarang), 28 Oktober 1982.
____________ (Semarang), 29 Oktober 1982.
”Sisi Lain dari Ajaran Ustadz Bafaqih”, Panji Masyarakat, Desember 1982, 379, 31 – 32.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar