SILABUS HADIS HUKUM / HADIS AHKAM I
Semester Genap Tahun Ajaran 2009/2010
A. Identitas matakuliah
1. Nama Matakuliah : Hadis Hukum/ Hadis Ahkam I
2. Kode Matakuliah :
3. Bobot : 2 SKS
4. Matakuliah.Prasyarat : -
5. Program Studi : Semua Program Studi
6. Fakultas : Syariah
7. Semester : II (dua)
8. Elemen Kompetensi :Matakuliah Ketrampilan dan Keahlian (MKK)
9. Jenis Kompetensi : Utama
10. Alokasi Waktu : 1400 menit
B. Standar Kopetensi
Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan serta mengamalkan ajaran Nabi melalui hadis-hadis Nabi dalam bidang perkawinan, waris, wasiat, hibah dan peradilan.
1. Mahasiswa mampu me-mahami dan menjelaskan hadis yang berkaitan dengan perkawinan.
a. Indikator : Mahasiswa dapat menje-laskan hadis-hadis ten-tang anjuran nikah, nikah sebagai sunnah Nabi, larangan membujang dan memilih jodoh yang tepat.
Materi Pokok : hadis-hadis ten-tang anjuran nikah, nikah sebagai sunnah Nabi, larangan membujang dan memilih jodoh yang tepat.
Sumber : LM: 884, AM VI: 2031; LM: 885; SIM I: 1870, ST II: 886; AM VI: 2032, ST II: 1088, 1090.
b. Indikator : Mahasiswa dapat menje-laskan hadis-hadis ten-tang meminang dan mahar.
Materi Pokok : Hadis-hadis tentang meminang dan mahar.
Sumber : BM: 1004, AM VI: 2167, 2068; AM VI: 2095, 2097, LM: 894.
c. Indikator : Mahasiswa dapat menjelaskan hadis-hadis tentang mahram dan perni-kahan yang dilarang.
Materi Pokok : hadis-hadis tentang mahram dan pernikahan yang dilarang.
Sumber : LM: 916, AM VI: 2041, 2930, 2048; LM: 889, AM VI: 2058, 2059; BM: 1014, AM VI: 2060, 2061; BM: 1027, AM VI: 2062, 2063, LM: 890, AM VI: 2051.
d. Indikator : Mahasiswa dapat menjelaskan hadis-hadis tentang wali, syarat-syarat nikah dan walimah.
Materi Pokok : Hadis-hadis tentang wali, syarat-syarat nikah dan walimah.
Sumber : AM VI: 2069, BM: 1010; AM VI:2073, 2075; AM VI:2083, 2085, LM:895; LM:894, SIM I: 1979; BM:1067, ST II: 1100; BM: 1068, ST II:1104.
e. Indikator : Mahasiswa dapat menjelaskan hadis-hadis tentang poligami.
Materi Pokok : Hadis-hadis tentang poligami.
Sumber : ST II: 1138, 1139
f. Indikator : Mahasiswa dapat menjelaskan hadis-hadis tentang hak dan kewajiban suami istri.
Materi Pokok : hadis-hadis tentang hak dan kewajiban suami istri.
Sumber : AM VI:2126, ST II: 1169; AM VI: 2128, ST II: 1173
g. Indikator : Mahasiswa dapat menje-laskan hadis-hadis ten-tang talak dan iddah.
Materi Pokok : Hadis-hadis tentang talak dan iddah.
Sumber : AM VI: 2164, 2165, LM: 936, ST II:1187, 1204; ST II: 1208, 1210.
2. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan hadis-hadis yang berkaitan dengan waris, wasiat, hibah dan wakaf.
a. Indikator : Mahasiswa dapat menje-laskan hadis-hadis ten-tang waris (harta waris untuk ahli waris, bagian ahli waris, pewaris tak mempunyai ahli waris dan halangan mewaris).
Materi Pokok : Hadis-hadis ten-tang waris (harta waris untuk ahli waris, bagian ahli waris, pewaris tak mempunyai ahli waris dan halangan mewaris).
Sumber : LM:1041, ST III: 2169; ST III: 2177, 2172, 2173, 2174, 2178, 2180; ST III; 2188; ST III: 2189, 2192.
b. Indikator : Mahasiswa dapat menjelaskan hadis-hadis tentang wasiat (jumlah harta yang diwasiatkan dan orang yang berhak menerima wasiat).
Materi Pokok : Hadis-hadis tentang wasiat (jumlah harta yang diwasiatkan dan orang yang berhak menerima wasiat).
Sumber : LM: 1053, ST III: 2199, 2283.
c. Indikator : Mahasiswa dapat menjelaskan hadis-hadis tentang hibah dan.wakaf.
Materi Pokok : Hadis-hadis tentang hibah dan.wakaf.
Sumber : ST III: 2214, LM: 1049.; LM: 1056.
3. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan hadis-hadis yang berkaitan dengan peradilan
a. Mahasiswa dapat menje-laskan hadis-hadis ten-tang hakim (tiga golong-an hakim, tanggung ja-wab hakim dan ijtihad hakim).
Materi Pokok : hadis-hadis ten-tang hakim (tiga golong-an hakim, tanggung ja-wab hakim dan ijtihad hakim).
Sumber : BM: 1410; 1411; LM: 1118,. 1121.
b. Mahasiswa dapat menje-laskan hadis-hadis tentang mengadili perkara (cara mengadili, sumber hukum, upaya mendamaikan orang yang ber-perkara, larangan meng-adili dalam keadaan ma-rah, larangan menyuap dan memberi hadiah ke-pada hakim).
Materi Pokok : Hadis-hadis tentang mengadili perkara (cara mengadili, sumber hukum, upaya menda-maikan orang yang ber-perkara, larangan meng-adili dalam keadaan ma-rah, larangan menyuap dan memberi hadiah ke-pada hakim).
Sumber : LM:1115, ST:1346 ; 1342; LM:1114, ST II: 1363; LM: 1119, ST II: 1349; 1350, 1352.
c. Mahasiswa dapat menje-laskan hadis-hadis tentang alat bukti di pengadilan (sumpah bagi penggugat dan tergugat, saksi, dan keputusan hakim harus dengan alat bukti).
Materi Pokok : Hadis-hadis ten-tang alat bukti di pengadilan (sumpah bagi penggugat dan tergugat, saksi, dan keputusan hakim harus dengan alat bukti).
Sumber : ST II: 1355, BM: 1436; ST II: 1360; BM: 1434, 1436.
d. Mahasiswa dapat menje-laskan hadis-hadis tentang saksi (saksi yang baik dan yang buruk serta orang-orang yang ditolak kesaksiannya).
Materi Pokok : Hadis-hadis tentang saksi (saksi yang baik dan yang buruk serta orang-orang yang ditolak kesaksiannya).
Sumber : LM: 1647, BM: 1427, 1428; 1429, 1430
Keterangan:
AM VI = Aun al-Ma’bud Juz VI (Abu Thayyib Abadiy, Aun al-Ma’bud, Madinah: as-Salafiyah, 1969).
BM = Bulug al-Maram (Ibn Hajar al-Asqalani, Bulug al-Maram, Surabaya: Ahmad bin Sa’id bin Nabhan, tt.)
LM = al-Lu’lu’ wa al-Marjan (Fuad Abd al-Baqi, al-Lu’lu’ wa al-Marjan, Beirut: Dar al-Fikr, tt.)
SIM = Sunan Ibn Majah (Ibn Majah, Sunan Ibn Majah, Beirut: Dar al-Fikr, tt.)
ST II = Sunan al-Turmuzi Juz II (Al-Turmuzi, Sunan al-Turmuzi, Beirut: Dar al-Fikr, 1974)
ST III = Sunan al-Turmuzi Juz III.
Angka adalah nomor urut hadis.
C. Integrasi-Interkoneksi
1. Matakuliah pendukung integrasi-interkoneksi:
Fiqh, Fiqh Munakahat, Fiqh Mawaris, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Ilmu Hukum dan Tafsir Ahkam.
2. Level atau domain integrasi-interkoneksi:
Level materi.
3. Proses Integrasi-interkoneksi:
Informatif, yaitu saling memperkaya informasi, karena beberapa materi yang dibahas di dalam Hadis Ahkan ini juga dibahas dalam matakuliah-matakuliah tersebut.
Nama Mata Kuliah : FILSAFAT ILMU
Kode Mata Kuliah : MKP 601
Semester : 1
Jenjang : S1
Dosen : Yoyo Hambali,MA.
Pokok Bahasan : Dalam mata kuliah ini akan dikaji konsep dasar tentang filsafat ilmu, kedudukan, fokus, cakupan, tujuan dan fungsinya serta kaitannya dengan MKK dan MKBS. Berikutnya dibahas pula tentang karakteristik filsafat, ilmu dan pendidikan serta jalinan fungsional antara ilmu, filsafat dan agama. Selanjutnya dibahas mengenal sistematika, permasalahan, keragaman pendekatan dan paradigma (pola pikir) dalam pengkajian dan pengembangan ilmu dan dimensi ontologis, epistomologis dan aksiologis. Selanjutnya dikaji mengenai makna, implikasi dan implementasi filsafat ilmu sebagai landasan dalam rangka pengembangan keilmuan dan kependidikan dengan penggunaan alternatif metodologi penelitian, baik pendekatan kuantitatif dan kualitatif, maupun perpaduan kedua-duanya.
TIU : Setelah mengikuti perkuliahan ini diharapkan peserta pendidikan memiliki kemampuan:
1. Memahami konsep dasar filsafat ilmu, kedudukan, fokus, cakupan, tujuan dan fungsinya untuk dapat dijadikan landasan pemikiran, perencanaan dan pengembangan ilmu dan pendidikan secara akademik dan profesional.
2. Mampu memahami filsafat ilmu untuk mengembangkan diri sebagai ilmuwan maupun sebagai pendidik dengan penggunaan alternatif metodologi penelitian, baik pendekatan kuantitatif dan kualitatif maupun perpaduan kedua-duanya dalam konsentrasi bidang studi yang menjadi minat utamanya.
3. Mampu menerapkan filsafat ilmu sebagai dasar pemikiran, perencanaan dan pengembangan khususnya landasan keilmuan dan landasan pendidikan yang dijiwai nilai-nilai ajaran agama dan nilai-nilai luhur budaya masyarakat Indonesia yang bermanfaat bagi masyarakat, bangsa dan negara serta umat manusia dalam pemahaman dan perkembangan lingkungan dinamika global.
TIK : I. PENGERTIAN FILSAFAT
1. Arti istilah dan rumusan filsafat
2. Obyek studi dan metode filsafat
3. Bidang kajian filsafat: Ontologi, Epistomologi, dan Aksiologi
4. Aliran/Mazhab dalam filsafat
5. Cabang-cabang filsafat
6. Jalinan. Ilmu, filsafat dan agama.
II. PENGERTIAN FILSAFAT ILMU
1. Arti istilah definisi filsafat ilmu
2. Cakupan dan permasalahan filsafat ilmu
3. Berbagai pendekatan filsafat ilmu
4. Sejarah dan Perkembangan filsafat ilmu
5. Fungsi dan arah filsafat ilmu
III. SUBSTANSI FILSAFAT ILMU 1. Kenyataan atau fakta
2. Kebenaran
3. Konfirmasi
4. Logika Inferensi
5. Telaah konstruksi teori
Alokasi : 2 sks kali pertemuan
Sumber : Achmad Sanusi (1998), Filsafat Ilmu, Teori Keilmuan dan Metode Penelitian, Bandung: Program Pasca Sarjana IKIP Bandung.
-------------------(1999), Titik Balik Paradigma Ilmu : Implikasinya Bagi Pendidikan, Orasi limiah Pada Wisuda UHAMKA tanggal 31 Juli 1999, Jakarta: Majelis Pendidikan Tinggi Muhammadiyah UHAMKA.
Branner, Julia. (2002), Memadu Met ode Penelitian Kualitatif dan Kuantitatif, Samarinda: Pustaka Pelajar.
Capra, Fritjop, (1998), Titik Balik Peradaban: Sains Masyarakat dan Kebangkitan .Kebudayaan, Terjemahan M. Thoyibi, Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya.
Conny R. Semiawan, dkk. (1988), Dimensi Kreatif dalam Filsafat Ilmu, Bandung: Remadja karya.
Endang Saefuddin Anshari, (1982), Ilmu, Filsafat dan Agama, Surabaya: Bina Ilmu.
Himsworth, Harold (1997), Pengetahuan Keilmuan dan Pemikiran Filosofi, (Terjemahan Achmad Bimadja, Ph.D), Bandung: ITB Bandung.
Ismaun, (2002), Filsafat Ilmu, Materi Kuliah, Bandung (Terbitan Khusus).
Jammer, Max (1999), Einsten and Religion: Physics and Theology, New Jersey: Princeton University, Press.
Kuhn, Thomas S, (2000), The Structure of Scientific Revolution: Peran Paradigma dalam Revolusi Sains, Terjemahan Tjun Surjaman, Bandung: Rosda).
Noeng Muhadjir, (1996), Metodologi Penelitian Kualitatif, Edisi Iii, Yogyakarta. Rake Sarasin.
--------------------, (1998), Filsafat Ilmu: Telaah Sistematis, Fungsional Komparatif, Yogyakarta: Rake Sarasin.
Redja Mudyahardjo, (2001), Filsafat Ilmu Pendidikan: Suatu Pengantar, Bandung: Rosda.
Sidi Gazalba, (1973), Sistematika Filsafat, Jakarta: Bulan Bintang.
Sudarto (1997), Metodologi Penelitian Filsafat, Jakarta: Raja Grafindo Persada. Tibawi, AL, (1972), Islamic Education, London: Luzak & Company Ltd.
Titus, Harold. H, (1959), Living Issues in Philosophy: An Introductory Book of Readings, New York: The Mac Millan Company.
Zuhairini dkk. (1995), Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara
SILABI MATAKULIAH
SOSIOLOGI PENDIDIKAN ISLAM
Sekolah Tinggi Agama Islam (STAIN) Samarinda
Tahun Akademik 2008/2009
Mata Kuliah : Sosiologi Pendidikan Islam
Jurusan : Tarbiyah
Program Studi : Pendidikan Agama Islam (PAI)
Program : Sarjana (S1)
Bobot : 2 SKS
A. Deskripsi Mata Kuliah
Mata Kuliah Sosiologi Pendidikan Islam ini di desain untuk memberikan kerangka analisis sosiologi, untuk itu teori-teori tentang sosiologi akan digunakan dalam mengkaji realitas pendidikan Islam.
B. Tujuan
· Mahasiswa dapat memahami dan memperoleh wawasan tentang sosiologi pendidikan Islam
· Mahasiswa mampu untuk memahami berbagai persoalan pendidikan dan menganalisisnyadari sudut pandang sosiologi.
· Mahasiswa mampu mengembangkan gagasan tentang berbagai persoalan pendidikan baik untuk pengembangan ilmu maupun untuk kepentingan praktis
C. Materi
Konsep dasar sosiologi pendidikan (Pengertian dan sejarah sosiologi)
Wilayah kajian sosiologi: Individu, Social Group, gejala sosial (sosiologi), dan gejala non sosial.
Rumpun Ilmu-ilmu Sosial
Obyek sosiologi: Struktur Sosial, unsur sosial, proses sosial, dan perubahan sosial
Term-term penting sosiologi: Harmoni, konflik, integrasi, sosial grup, interest, komunitas, antagonisme, resolusi, dan solusi.
Hakikat sosial dari pendidikan.
Keterkaitan cabang-cabang Ilmu Sosial dengan Pendidikan
Dinamika Masyarakat dan budaya Melalui Pendidikan.
Pendidikan dan Stratifikasi Sosial
LembagaPendidikan.
Upaya Penyelesaian Masalah dalam Institusi Pendidikan Islam dengan Menggunakan Pendekatan Ilmu Sosiologi
Faktor pendukung dan penghambat sosiologi pendidikan Islam.
D. Referensi
Abu Ahmadi, 2004, Sosiologi Pendidikan, , Jakarta: Rineka Cipta
Hasan Shadily. 1983. Sosiologi untuk Masyarakat Indonesia. Jakarta: Bina Aksara
Ishomuddin. 1996. Sosiologi Agama Pluralisme Agama dan Interpretasi Sosiologis. Malang: Pusat Penerbitan UMM Malang
Kamanto Sunarto. 1993. Pengantar Sosiologi. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
Mayor Polak. 1976. Sosiologi Suatu Buku Pengantar Ringkas. Jakarta: Ichtiar Baru
D. Bahan dan Tugas Perkuliahan
a. Bahan Perkuliahan
Bahan perkuliahan yang dipergunakan berupa referensi-referensi yang telah ditentukan sebelumnya, buku paket dan bahan-bahan tambahan lainnya.
b. Tugas-tugas perkuliahan
Tugas-tugas perkuliahan yang diberikan kepada mahasiswa sesuai dengan kontrak belajar adalah:
1. Tugas-tugas insidental yang diberikan setiap penyampaian materi perkuliahan yang disesuaikan dengan konteks materi yang ada.
2. Tugas-tugas pembuatan makalah untuk didiskusikan oleh masing-masing kelompok yang telah dibentuk di awal perkuliahan.
E. Strategi Pembelajaran
Strategi pembelajaran dalam proses perkuliahan pada mata kuliah sosiologi pendidikan Islam ini menggunakan strategi yang berorientasi pada keaktifan belajar mahasiswa (avtive learning). Melalui strategi tersebut diharapkan mahasiswa dapat berperan secara aktif dalam setiap proses perkuliahan yang berlangsung dan berorientasi pada penggalian dan pemantapan kemampuan mahasiswa dalam memahami, mengemukakan, dan mempraktekkan konsep –konsep sosiologi dalam pendidikan islam. Strategi-strategi pembelajaran yang akan digunakan antara lain:
1. Perkuliahan interaktif (Interactive lecturing)
2. Panduan membaca (Reading guide)
3. Diskusi kelompok kecil (Small group discussion)
4. Tugas akhir (Last task)
F. Evaluasi
1. Formatif = 30 %
a. Kehadiran = 10 %
b. Presentasi = 10 %
c. Partisipasi = 10 %
2. Tugas-tugas = 15 %
a. Tugas Harian = 5 %
b. Tugas Akhir = 10 %
3. Ujian Tengah Semester = 15 %
4. Ujian Akhir Semester = 40 %
Jumlah Total = 100 %
Gallery
Senin, 21 Maret 2011
Minggu, 20 Maret 2011
Artikel H. Abdul Khoir HS
ANALISIS KEBIJAKAN REGIONAL DALAM PENGEMBANGAN EKONOMI SYARIAH TERHADAP PENINGKATAN KAPASITAS USAHA KECIL MENENGAH (STUDI KASUS STRATEGI PENINGKATAN KAPASITAS USAHA KECIL MENENGAH MELALUI EKONOMI SYARIAH DI KOTA BEKASI)
Drs. H. Abdul Khoir HS, M.Pd.
A. LATAR BELAKANG MASALAH
Sungguhpun keberadaan kelompok usaha kecil dan menengah (UKM) sebagai motor penggerak ekonomi telah mendapatkan legitimasi dari UU No. 9 Tahun 1995, namun sungguhpun demikian, kelompok UKM Kota Bekasi belum dapat masih menyimpan sejumlah persoalan yang harus segera diatasi seperti rendahnya kapasitas produksi dan jangkauan pemasaran produk yang hanya memenuhi kebutuhan lokal saja. Secara lebih luas, dapat diungkapkan bahwa permasalahan mendasar yang menghinggapi kelompok usaha kecil dan menengah dapat ditinjau dari dua faktor internal dan eksternal. Permasalahan internal diantaranya meliputi (a) Terbatasnya perhatian , pengakuan dan jaminan keberadaan usaha kecil. (b) kesulitan untuk mendapatkan data yang jelas dan pasti tentang jumlah dan penyebaran usaha kecil. (c) Alokasi kredit atau pembiayaan masih sangat timpang baik antar golongan, antar sektor, antar wilayah. (d) Terbatasnya akses pada pasar. (e) Adanya pungutan-pungutan atau biaya siluman yang tidak proporsional. (f) Terjadinya krisis ekonomi. Sedangkan permasalahan eksternal diantaranya adalah (a) Terbatasnya penguasaan dan pemilikan aset produksi, terutama permodalan. (b) Rendahnya kemampuan sumber daya manusia. (c) Konsentrasi sumber daya hanya difokuskan pada pertanian. (d) Kelembagaan usaha kecil belum berperan secara optimal.
Permasalahan kelompok usaha kecil dan menengah (UKM) dapat diatasi apabila potensi dan peta permasalahan yang dialaminya dapat diidentifikasi kemudian dibantu dengan program penanggulangannya secara komprehensif sehingga perannya dapat dirasakan oleh masyarakat paling bawah dan khususnya masyarakat perdesaan di Kota Bekasi. Jika ditilik permasalahan di atas, nampak permasalahan utama yang ada pada kelompok usaha kecil dan menengah bersumber pada kecilnya akses permodalan.
Sebagai Kota yang memiliki visi ”Sebagai kota yang unggul dalam jasa dan perdagangan”, Kota Bekasi memiliki kepedulian cukup besar terhadap pemberdayaan UKM. Hal ini merupakan terobosan bagi terwujudnya arah pembangunan Kota Bekasi yang menggunakan paradigma pembangunan berkelanjutan dan menjadikan masyarakat Bekasi sebagai subyek pembangunan sekaligus sebagai modal sosial yang kreatif, inovatif dalam mengolah sumber daya menuju pada kesejahteraan masyarakat. Dengan paradigma pembangunan berkelanjutan tersebut Kota Bekasi memunculkan karakter pemberdayaan yang memberikan kesempatan tumbuhnya kemampuan lapisan masyarakat bawah perkotaan melalui kemampuan mengakses layanan dasar baik di bidang pendidikan, kesehatan, teknologi maupun permodalan. Di antara perhatian tersebut diwujudkan melalui pengembangan ekonomi syariah dengan membentuk Perusahaan Daerah Bank Perkreditan Rakyat Syariah (PD.BPRS) Kota Bekasi. Sebagai lembaga perbankan syariah pertama, kehadiran BPRS Kota Bekasi diharapkan dapat memberikan kontribusi pada pembangunan ekonomi masyarakat .
Ditinjau secara historis, keberadaan sistem ekonomi syariah adalah merupakan alternatif dari sistem ekonomi konvensional ; kapitalis dan sosialis, yang selama ini sudah berkembang di masyarakat. Pangkal lahirnya alternatif ekonomi syariah terhadap sistem ekonomi konvensional ini adalah adanya peristiwa krisis ekonomi yang terjadi pada tahun 1997 di mana nilai tukar rupiah rupiah terus melemah jika diandingkan dengan nilai tukar dolar Amerika. Diantara hal yang membedakan antara ekonomi syariah dengan ekonomi konvensional dalam bidang permodalan adalah pada aspek nilai, prinsip dan operasional yang digunakannya. Nilai-nilai yang digunakan ekonomi syariah bersumberkan pada al-Qur’an, al-Hadits dan al-Ra’yu yang mengandung ketentuan yang bersifat tetap (pasti) maupun yang bersifat fleksibel. Adapun prinsip-prinsip ekonomi Islam adalah prinsip keadilan, menghindari hal yang dilarang dan kemanfaatan Sedangkan secara operasional ekonomi syariah menggunakan bagi hasil dan menolak keberadaan bunga sebagai keuntungan. Sementara nilai-nilai ekonomi konvensional besumber pada akal semata dengan prinsip materialistis dan hedonistis serta secara operasional menggunakan bunga.
Kebijakan pengembangan ekonomi Islam Pemerintah Daerah Kota Bekasi yang ditetapkan dalam rencana dan strategi (renstra) Kota Bekasi tahun 2003-2008, perlu ditindaklanjuti dengan analisis strategi peningkatan kapasitas usaha kecil menengah (UKM) melalui ekonomi syariah. Hal ini berkaitan dengan penyusunan dan evaluasi arah strategi peningkatan kapasitas UKM serta menggerakkan sektor riil, sehingga usaha kecil dan menengah dapat menjadi lebih kuat dan dapat berperan sebagai mitra bagi usaha besar.
B. RUMUSAN MASALAH
Penelitian ini mememiliki permasalahan sebagai berikut :
1. Bagaimana potensi Kota Bekasi ?
2. Bagaimana strategi pengembangan ekonomi syariah di Kota Bekasi?
3. Bagaimana strategi peningkatan kapasitas usaha kecil menengah (UKM) melalui ekonomi syariah di Kota Bekasi ?
C. PEMBATASAN MASALAH
Pembatasan masalah penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Potensi wilayah yang dimaksud dalam penelitian ini adalah potensi wilayah yang menyangkut rasio geografi dan masyarakat muslim, potensi ekonomi dan potensi usaha kecil menengah di Kota Bekasi.
2. Pengembangan ekonomi syariah yang dimaksud dalam penelitian ini adalah pengembangan lembaga keuangan syariah bank di Kota Bekasi
3. Strategi yang dimaksud dalam penelitian ini adalah arah dan efektifitas strategi pengembangan kapasitas usaha kecil menengah (UKM) melalui ekonomi syariah di Kota Bekasi.
D. SIGNIFIKANSI MASALAH
Penelitian ini dilakukan untuk mengaktualisasikan ekonomi syaraiah dan meningkatkan kapasitas UKM sehingga memiliki signifikansi positif baik bagi kehidupan sosial masyarakat umum maupun bagi masyarakat akademik. Signifikansi bagi masyarakat umum diantaranya adalah dapat mengungkap permasalahan kesenjangan antara harapan dan kenyataan program pemberdayaan ekonomi syariah yang terfokus pada UKM serta dapat mendorong pertumbuhan ekonomi , pemerataan dan rasa keadilan bagi masyarakat
Sedangkan signifikansi positif bagi masyarakat akademik adalah :
1. Tersedianya khazanah pemikiran tentang strategi pengembangan kapasitas UKM melalui ekonomi syariah di Program Studi Perbankan Syariah – Fakultas Agama Islam Unisma Bekasi.
2. Penguatan Program Studi Perbankan Syariah Fakultas Agama Islam melalui kegiatan penelitian .
E. KAJIAN RISET SEBELUMNYA
Sebagai salah satu penggerak ekonomi lokal, UKM memiliki posisi yang sangat penting dalam kehidupan sosial di masyarakat. Namun begitu pentingnya posisi UKM, eksistensinya belum dapat menunjukkan prestasi yang signifikan. Hal ini dapat kita temukan dalam penelitian yang dilakukan oleh LPPM Unisma Bekasi pada tahun 2006 dengan judul ” Analisis dan Pemetaan Penanggulangan Ekonomi Lemah di Kabupaten Bekasi”. Penelitian tersebut baru mengungkapkan berbagai kelemahan-kelemahan yang ada dalam sektor UKM dan belum menyentuh pada pengembangan ekonomi syariah serta belum memberikan solusi arah dan strategi peningkatan kapasitas UKM. Melalui penelitian ini diharapkan akan tersusun arah strategi peningkatan kapasitas UKM dengan pendekatan ekonomi syariah.
F. KERANGKA TEORI
Dalam konteks pembangunan masyarakat madani, keberlangsungan ajaran Islam sangat ditentukan oleh individu dan sistem yang dibangunnya. Hal ini seuai dengan teori sosial yang dikemukakan oleh Ibn Khaldun (732-808H). Dalam bukunya Muqaddimah, Ibn Khaldun mengemukakan bahwa prasyarat utama untuk terimplementasikannya ajaran Islam dalam kehidupan sosial dibutuhkan korelasi dan integrasi yang kuat antara negara, penguasa, masyarakat, kesejahteaan dan sistem yang berkeadilan . Oleh Umer Chapra, pandangan ini dituangkan dalam persamaan matematis sebagai berikut :
G = F(S,N,W,G, dan J
Ekonomi syariah hadir sebagai teori baru yang dijadikan alternatif sekaligus sebagai jurus pamungkas dalam mengikis bagian-bagian teori ekonomi konvensional yang mengandung perspektif ketidakadilan dan berpotensi menimbulkan krisis ekonomi yang sudah mapan sebelumnya. Bibit-bibit konsep ekonomi syariah secara potensial sudah tumbuh dalam tradisi ummat Islam sejak masa awal Islam yaitu pada masa Nabi Muhammad yang tertuang dalam al-Qur’an dan al-Hadits. Pada masa penyusunan kitab fiqh klasik, pembahasan ekonomi syariah dibahas sebagai bagian dari kitab fiqh dalam bab al-muamalah maupun dibahas secara tersendiri dalam sebuah kitab. Kitab yang membaahas ekonomi syariah yang terbit pada masa awal Islam diantaranya adalah Kitab al-Kharaj yang disusun oleh Abu Yusuf (113-182 H). Dalam hal ini, Abu Yusuf membahas tentang pertanian dan perpajakan. Kitab fikih klasik lainnya yang cukup fenomenal membahas ekonomi syariah adalah kita Ahkam al-Suq yang disusun oleh Yahya bin Umar (213-289 H). Kitab ini membahas lembaga pengawas pasar (al-hisbah) dan hokum pasar. Sedangkan pada masa kontemporer saat ini konsep ekonomi syariah diaktualisasikan para cendekiawan Muslim dengan pendekatan ilmiah baik teori maupun praktik. Buku ekonomi syariah yang representatif disajikan secara ilmiah adalah buku ” The Future of Economics : An Islamic Perspective “ yang disusun oleh Umer Chapra, seorang cendekiawan Muslim dari Pakistan. Umer Chapra mengungkapkan prinsip-prinsip ekonomi syariah yang meliputi prinsip keadilan, menghindari kegiatan yang dilarang dan memperhatikan aspek kemanfaatan. Prinsip-prinsip di atas menjadi penyangga teori kemaslahatan yang dikemukakan oleh asy-Syatibi.
S
Gambar 1. Prinsip-Prinsip Ekonomi Islam
Secara substansial dapat dikatakan bahwa pengembangan ekonomi syariah dapat mendatangkan kesejahteraan bagi masyarakat apabila memperhatikan beberapa aspek yaitu aspek sikap dan pandangan postif terhadap Islam, Aspek keadilan, aspek penghindaran kegiatan yang dilarang Islam, aspek kemanfaatan.
G. METODE PENELITIAN
A. Data
Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif. Data yang akan dinalisis adalah data primer dari hasil kegiatan akademik yang berkaitan dengan Kota Bekasi maupun sumber referensi, data primer dalam bentuk regulasi dan hasil kegiatan pengembangan ekonomi syariah dan peningkatan kapasitas UKM di Kota Bekasi
B. Analisis Data
Data ditafsirkan dengan metode analisis SWOT. Analisis SWOT ini dilakukan dengan melalui tiga tahap. Pertama, pemrosesan satuan data, Kedua, Kategorisasi kelemahan dan tantangan serta kekuatan dan peluang yang ada. Ketiga, penafsiran data.
H. SUMBER BACAAN
Penelitian ini didukung dengan sumber bacaan sebagai berikut :
1. Abdul Manan, Ekonomi Islam Teori dan Praktik, (Jakarta, Dana Bakti Wakaf, 1999),
2. Adiwarman Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, (Jakarta, Rajawali Press, 2000)
3. Afzalurrahman, Doktrin Ekonomi Islam, Yogyakarta : PT. Dana Bhakti Wakaf, 1995
4. Antonio M. Syafii, Bank Syariah : Bagi Bankir dan Praktisi Keuangan, Jakarta : Bank Indonesia, 1999
5. Nandang Najmul Munir, Analisis Strategi Pengembangan Wilayah Kota Bekasi, dalam Jurnal Madani, (Bekasi, FISIP UNISMA, 2008)
6. Pemda Kota Bekasi, Rencana dan Strategi Pembangunan Kota Bekasi 2003-2008, (Pemda Kota Bekasi, Bekasi, 2004)
7. Suprihatin, Landasan Ekonomi Islam dalam Jurnal Turats, (Bekasi, FAI Unisma Bekasi
8. Ra’ana Irfan Mahmud, Ekonomi Pemerintahan Umar Ibn al-Khattab, jakarta Pustaka Firdaus, 1997
9. Siddiqi M. Nejatullah , History of Islamic Economic Thought
10. Umer Chapra, The Future of Economics : An Islamic Perspective, (Jakarta : SEBI, 2001)
Drs. H. Abdul Khoir HS, M.Pd.
A. LATAR BELAKANG MASALAH
Sungguhpun keberadaan kelompok usaha kecil dan menengah (UKM) sebagai motor penggerak ekonomi telah mendapatkan legitimasi dari UU No. 9 Tahun 1995, namun sungguhpun demikian, kelompok UKM Kota Bekasi belum dapat masih menyimpan sejumlah persoalan yang harus segera diatasi seperti rendahnya kapasitas produksi dan jangkauan pemasaran produk yang hanya memenuhi kebutuhan lokal saja. Secara lebih luas, dapat diungkapkan bahwa permasalahan mendasar yang menghinggapi kelompok usaha kecil dan menengah dapat ditinjau dari dua faktor internal dan eksternal. Permasalahan internal diantaranya meliputi (a) Terbatasnya perhatian , pengakuan dan jaminan keberadaan usaha kecil. (b) kesulitan untuk mendapatkan data yang jelas dan pasti tentang jumlah dan penyebaran usaha kecil. (c) Alokasi kredit atau pembiayaan masih sangat timpang baik antar golongan, antar sektor, antar wilayah. (d) Terbatasnya akses pada pasar. (e) Adanya pungutan-pungutan atau biaya siluman yang tidak proporsional. (f) Terjadinya krisis ekonomi. Sedangkan permasalahan eksternal diantaranya adalah (a) Terbatasnya penguasaan dan pemilikan aset produksi, terutama permodalan. (b) Rendahnya kemampuan sumber daya manusia. (c) Konsentrasi sumber daya hanya difokuskan pada pertanian. (d) Kelembagaan usaha kecil belum berperan secara optimal.
Permasalahan kelompok usaha kecil dan menengah (UKM) dapat diatasi apabila potensi dan peta permasalahan yang dialaminya dapat diidentifikasi kemudian dibantu dengan program penanggulangannya secara komprehensif sehingga perannya dapat dirasakan oleh masyarakat paling bawah dan khususnya masyarakat perdesaan di Kota Bekasi. Jika ditilik permasalahan di atas, nampak permasalahan utama yang ada pada kelompok usaha kecil dan menengah bersumber pada kecilnya akses permodalan.
Sebagai Kota yang memiliki visi ”Sebagai kota yang unggul dalam jasa dan perdagangan”, Kota Bekasi memiliki kepedulian cukup besar terhadap pemberdayaan UKM. Hal ini merupakan terobosan bagi terwujudnya arah pembangunan Kota Bekasi yang menggunakan paradigma pembangunan berkelanjutan dan menjadikan masyarakat Bekasi sebagai subyek pembangunan sekaligus sebagai modal sosial yang kreatif, inovatif dalam mengolah sumber daya menuju pada kesejahteraan masyarakat. Dengan paradigma pembangunan berkelanjutan tersebut Kota Bekasi memunculkan karakter pemberdayaan yang memberikan kesempatan tumbuhnya kemampuan lapisan masyarakat bawah perkotaan melalui kemampuan mengakses layanan dasar baik di bidang pendidikan, kesehatan, teknologi maupun permodalan. Di antara perhatian tersebut diwujudkan melalui pengembangan ekonomi syariah dengan membentuk Perusahaan Daerah Bank Perkreditan Rakyat Syariah (PD.BPRS) Kota Bekasi. Sebagai lembaga perbankan syariah pertama, kehadiran BPRS Kota Bekasi diharapkan dapat memberikan kontribusi pada pembangunan ekonomi masyarakat .
Ditinjau secara historis, keberadaan sistem ekonomi syariah adalah merupakan alternatif dari sistem ekonomi konvensional ; kapitalis dan sosialis, yang selama ini sudah berkembang di masyarakat. Pangkal lahirnya alternatif ekonomi syariah terhadap sistem ekonomi konvensional ini adalah adanya peristiwa krisis ekonomi yang terjadi pada tahun 1997 di mana nilai tukar rupiah rupiah terus melemah jika diandingkan dengan nilai tukar dolar Amerika. Diantara hal yang membedakan antara ekonomi syariah dengan ekonomi konvensional dalam bidang permodalan adalah pada aspek nilai, prinsip dan operasional yang digunakannya. Nilai-nilai yang digunakan ekonomi syariah bersumberkan pada al-Qur’an, al-Hadits dan al-Ra’yu yang mengandung ketentuan yang bersifat tetap (pasti) maupun yang bersifat fleksibel. Adapun prinsip-prinsip ekonomi Islam adalah prinsip keadilan, menghindari hal yang dilarang dan kemanfaatan Sedangkan secara operasional ekonomi syariah menggunakan bagi hasil dan menolak keberadaan bunga sebagai keuntungan. Sementara nilai-nilai ekonomi konvensional besumber pada akal semata dengan prinsip materialistis dan hedonistis serta secara operasional menggunakan bunga.
Kebijakan pengembangan ekonomi Islam Pemerintah Daerah Kota Bekasi yang ditetapkan dalam rencana dan strategi (renstra) Kota Bekasi tahun 2003-2008, perlu ditindaklanjuti dengan analisis strategi peningkatan kapasitas usaha kecil menengah (UKM) melalui ekonomi syariah. Hal ini berkaitan dengan penyusunan dan evaluasi arah strategi peningkatan kapasitas UKM serta menggerakkan sektor riil, sehingga usaha kecil dan menengah dapat menjadi lebih kuat dan dapat berperan sebagai mitra bagi usaha besar.
B. RUMUSAN MASALAH
Penelitian ini mememiliki permasalahan sebagai berikut :
1. Bagaimana potensi Kota Bekasi ?
2. Bagaimana strategi pengembangan ekonomi syariah di Kota Bekasi?
3. Bagaimana strategi peningkatan kapasitas usaha kecil menengah (UKM) melalui ekonomi syariah di Kota Bekasi ?
C. PEMBATASAN MASALAH
Pembatasan masalah penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Potensi wilayah yang dimaksud dalam penelitian ini adalah potensi wilayah yang menyangkut rasio geografi dan masyarakat muslim, potensi ekonomi dan potensi usaha kecil menengah di Kota Bekasi.
2. Pengembangan ekonomi syariah yang dimaksud dalam penelitian ini adalah pengembangan lembaga keuangan syariah bank di Kota Bekasi
3. Strategi yang dimaksud dalam penelitian ini adalah arah dan efektifitas strategi pengembangan kapasitas usaha kecil menengah (UKM) melalui ekonomi syariah di Kota Bekasi.
D. SIGNIFIKANSI MASALAH
Penelitian ini dilakukan untuk mengaktualisasikan ekonomi syaraiah dan meningkatkan kapasitas UKM sehingga memiliki signifikansi positif baik bagi kehidupan sosial masyarakat umum maupun bagi masyarakat akademik. Signifikansi bagi masyarakat umum diantaranya adalah dapat mengungkap permasalahan kesenjangan antara harapan dan kenyataan program pemberdayaan ekonomi syariah yang terfokus pada UKM serta dapat mendorong pertumbuhan ekonomi , pemerataan dan rasa keadilan bagi masyarakat
Sedangkan signifikansi positif bagi masyarakat akademik adalah :
1. Tersedianya khazanah pemikiran tentang strategi pengembangan kapasitas UKM melalui ekonomi syariah di Program Studi Perbankan Syariah – Fakultas Agama Islam Unisma Bekasi.
2. Penguatan Program Studi Perbankan Syariah Fakultas Agama Islam melalui kegiatan penelitian .
E. KAJIAN RISET SEBELUMNYA
Sebagai salah satu penggerak ekonomi lokal, UKM memiliki posisi yang sangat penting dalam kehidupan sosial di masyarakat. Namun begitu pentingnya posisi UKM, eksistensinya belum dapat menunjukkan prestasi yang signifikan. Hal ini dapat kita temukan dalam penelitian yang dilakukan oleh LPPM Unisma Bekasi pada tahun 2006 dengan judul ” Analisis dan Pemetaan Penanggulangan Ekonomi Lemah di Kabupaten Bekasi”. Penelitian tersebut baru mengungkapkan berbagai kelemahan-kelemahan yang ada dalam sektor UKM dan belum menyentuh pada pengembangan ekonomi syariah serta belum memberikan solusi arah dan strategi peningkatan kapasitas UKM. Melalui penelitian ini diharapkan akan tersusun arah strategi peningkatan kapasitas UKM dengan pendekatan ekonomi syariah.
F. KERANGKA TEORI
Dalam konteks pembangunan masyarakat madani, keberlangsungan ajaran Islam sangat ditentukan oleh individu dan sistem yang dibangunnya. Hal ini seuai dengan teori sosial yang dikemukakan oleh Ibn Khaldun (732-808H). Dalam bukunya Muqaddimah, Ibn Khaldun mengemukakan bahwa prasyarat utama untuk terimplementasikannya ajaran Islam dalam kehidupan sosial dibutuhkan korelasi dan integrasi yang kuat antara negara, penguasa, masyarakat, kesejahteaan dan sistem yang berkeadilan . Oleh Umer Chapra, pandangan ini dituangkan dalam persamaan matematis sebagai berikut :
G = F(S,N,W,G, dan J
Ekonomi syariah hadir sebagai teori baru yang dijadikan alternatif sekaligus sebagai jurus pamungkas dalam mengikis bagian-bagian teori ekonomi konvensional yang mengandung perspektif ketidakadilan dan berpotensi menimbulkan krisis ekonomi yang sudah mapan sebelumnya. Bibit-bibit konsep ekonomi syariah secara potensial sudah tumbuh dalam tradisi ummat Islam sejak masa awal Islam yaitu pada masa Nabi Muhammad yang tertuang dalam al-Qur’an dan al-Hadits. Pada masa penyusunan kitab fiqh klasik, pembahasan ekonomi syariah dibahas sebagai bagian dari kitab fiqh dalam bab al-muamalah maupun dibahas secara tersendiri dalam sebuah kitab. Kitab yang membaahas ekonomi syariah yang terbit pada masa awal Islam diantaranya adalah Kitab al-Kharaj yang disusun oleh Abu Yusuf (113-182 H). Dalam hal ini, Abu Yusuf membahas tentang pertanian dan perpajakan. Kitab fikih klasik lainnya yang cukup fenomenal membahas ekonomi syariah adalah kita Ahkam al-Suq yang disusun oleh Yahya bin Umar (213-289 H). Kitab ini membahas lembaga pengawas pasar (al-hisbah) dan hokum pasar. Sedangkan pada masa kontemporer saat ini konsep ekonomi syariah diaktualisasikan para cendekiawan Muslim dengan pendekatan ilmiah baik teori maupun praktik. Buku ekonomi syariah yang representatif disajikan secara ilmiah adalah buku ” The Future of Economics : An Islamic Perspective “ yang disusun oleh Umer Chapra, seorang cendekiawan Muslim dari Pakistan. Umer Chapra mengungkapkan prinsip-prinsip ekonomi syariah yang meliputi prinsip keadilan, menghindari kegiatan yang dilarang dan memperhatikan aspek kemanfaatan. Prinsip-prinsip di atas menjadi penyangga teori kemaslahatan yang dikemukakan oleh asy-Syatibi.
S
Gambar 1. Prinsip-Prinsip Ekonomi Islam
Secara substansial dapat dikatakan bahwa pengembangan ekonomi syariah dapat mendatangkan kesejahteraan bagi masyarakat apabila memperhatikan beberapa aspek yaitu aspek sikap dan pandangan postif terhadap Islam, Aspek keadilan, aspek penghindaran kegiatan yang dilarang Islam, aspek kemanfaatan.
G. METODE PENELITIAN
A. Data
Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif. Data yang akan dinalisis adalah data primer dari hasil kegiatan akademik yang berkaitan dengan Kota Bekasi maupun sumber referensi, data primer dalam bentuk regulasi dan hasil kegiatan pengembangan ekonomi syariah dan peningkatan kapasitas UKM di Kota Bekasi
B. Analisis Data
Data ditafsirkan dengan metode analisis SWOT. Analisis SWOT ini dilakukan dengan melalui tiga tahap. Pertama, pemrosesan satuan data, Kedua, Kategorisasi kelemahan dan tantangan serta kekuatan dan peluang yang ada. Ketiga, penafsiran data.
H. SUMBER BACAAN
Penelitian ini didukung dengan sumber bacaan sebagai berikut :
1. Abdul Manan, Ekonomi Islam Teori dan Praktik, (Jakarta, Dana Bakti Wakaf, 1999),
2. Adiwarman Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, (Jakarta, Rajawali Press, 2000)
3. Afzalurrahman, Doktrin Ekonomi Islam, Yogyakarta : PT. Dana Bhakti Wakaf, 1995
4. Antonio M. Syafii, Bank Syariah : Bagi Bankir dan Praktisi Keuangan, Jakarta : Bank Indonesia, 1999
5. Nandang Najmul Munir, Analisis Strategi Pengembangan Wilayah Kota Bekasi, dalam Jurnal Madani, (Bekasi, FISIP UNISMA, 2008)
6. Pemda Kota Bekasi, Rencana dan Strategi Pembangunan Kota Bekasi 2003-2008, (Pemda Kota Bekasi, Bekasi, 2004)
7. Suprihatin, Landasan Ekonomi Islam dalam Jurnal Turats, (Bekasi, FAI Unisma Bekasi
8. Ra’ana Irfan Mahmud, Ekonomi Pemerintahan Umar Ibn al-Khattab, jakarta Pustaka Firdaus, 1997
9. Siddiqi M. Nejatullah , History of Islamic Economic Thought
10. Umer Chapra, The Future of Economics : An Islamic Perspective, (Jakarta : SEBI, 2001)
Artikel Isu Pendidikan: Drs. H. Abdul Khoir, M.Pd,
Abdul Khoir
2/20/2011
Kurikulum Padat Siswa Terperanjat
Tak jarang dijumpai kegundahan orang tua setelah melihat wajah murung anaknya yang baru saja pulang dari sekolah ditingkat sekolah dasar. Apa gerangan yang terjadi pada anak di sekolah? Tak jarang pula jawaban si anak malah “geleng kepala”, pertanda tak tahu kalimat apa yang dapat menggambarkan kebingungan yang dirasakan.
Mengapa ini terjadi? Benarkan sekolah justeru menjadikan siswa murung dan selalu bingung? Bukankah sejatinya sekolah adalah tempat anak-anak yang paling menyenangkan?, karena ketemu dan bermain dengan banyak teman. Belajar,berdialog dan berlindung dengan para gurunya? Tempat yang oleh Ki Hadjar Dewantara (1977) disebut dengan Taman Siswa atau oleh Mohammad Sjafei (1972) menyebutnya dengan sekolah Kayu Taman. Sekolah memang harus menjadi taman. Taman dimana semua orang dapat senang dan gembira karena dengan perasaan itulah seseorang dapat dengan mudah mengembangkan segala potensi dasarnya. Gagne (The Condition of Learning,1977) mengatakannya sebagai suasana yang menumbuhkan berfikir kreatif dan demokratis. Lantas faktor apa saja yang menyebabkan sekolah mejadi “menyebalkan” bagi anak-anak?
Dalam banyak penelitian terutama tentang kesulitan siswa dalam mengikuti kegiatan pembelajaran khususnya di tingkat sekolah dasar, salah satu faktor yang cukup tinggi adalah padatnya kurikulum di sekolah. Dampak langsung faktor ini adalah timbunya rasa bosan dan jenuh siswa dalam mengikuti pembelajaran.
Kepadataan kurikulum dapat didentifikasi melalui kerangka dasar dan struktur kurikulum dikaitkan dengan cakupannya. Apakah desain instruksional dari masing-masing matapelajaran yang dikembangkan disekolah benar-benar telah mempertimbangkan kebutuhan, potensi, perkembangan dan karakteristik siswa? Belum lagi dilihat dari aspek materi/isi pelajaran dari masing-masing mata pelajaran dikaitkan dengan beban waktu yang tersedia.
Kondisi inilah yang dianggap paling krusial karena prinsip pengembangan kurikulum tingkat satuan pendidikan jenjang pendidikan dasar dan menengah dikembangkan oleh sekolah dan komite sekolah berpedoman pada standar kompetensi lulusan dan standar isi serta panduan penyusunan kurikulum yang dibuat oleh BSNP (lampiran permendiknas No 22 tahun 2006).
Di tingkat praktis krusial dalam kurikulum disebabkan karena pemahaman implementasi kurikulum tidak dibarengi dengan kemampuan teknis penyusunannya. Jika memilki kemampuan teknis pun, persoalan berikutnya adalah kemampuan menjabarkan cakupan kelompok matapelajaran menjadi lebih jelas dan terukur. Ditambah lagi dengan anggapan bahwa cakupan dari satuan matapelajaran harus diakomodasi secara sekaligus, bila perlu semua cakupan dari prinsip-prinsip pengembangan kurikulum dapat diurai dalam bentuk standar kompetensi dan kompetensi dasar. kompetensinya ideal sebagaimana menjadi tujuan pendidikan nasional agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.(UU sisdiknas No 20 tahun 2003)
Prinsip dalam pelaksanaan Kurikulumnya harus menegakkan kelima pilar belajar, yaitu: (a) belajar untuk beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, (b) belajar untuk memahami dan menghayati, (c) belajar untuk mampu melaksanakan dan berbuat secara efektif, (d) belajar untuk hidup bersama dan berguna bagi orang lain, dan (e) belajar untuk membangun dan menemukan jati diri, melalui proses pembelajaran yang aktif, kreatif, efektif, dan menyenangkan.
Hemat penulis kata kunci keberhasilan pembelajaran berdasar dari prinsip pelaksanaan kurikulum adalah menciptakan pembelajaran yang aktif, kreatif, efektif dan menyenangkan. Dengan demikian prinsip ini akan bertabrakan dengan desain kurikulum yang padat, dipaksakan mengakomodasi semua cakupan sehingga melampaui beban belajar, dan mengejar target ketuntasan penyampaian materi pelajaran. hal lain juga karena ketidak piawaian guru dalam menggunakan metode dan media pembelajaran. keadaan ini dapat ditelisik dari sajian materi yang diajarkan guru di kelas dalam buku paket pelajaran.
Pada kasus kesulitan belajar siswa pada mata pelajaran Sains di kelas IV sekolah dasar. Dijumpai gambaran yang meyakinkan bahwa kesulitan siswa mengikuti pelajaran sain di sekolah adalah 1). Materi terlalu banyak memperkenalkan istilah asing. 2). Materi terlalu banyak dan terkesan sangat padat. 3).Materi yang disampaikan miliki kecenderungan harus banyak dihafalkan oleh para siswa. (Abdul khoir, 2008)
Penggunaan istilah asing dalam pelajaran Sains, lihat buku paket pelajaran yang berjudul “SAINS untuk Sekolah Dasar Kelas 4”, Editor; Chrisnawati, penerbit Erlangga,2006, sistematika tulisan buku dibagi menjadi dua semester, masing-masing terdapat 2 unit terdiri dari 8 bab untuk semester 1 dan 2 unit dengan 7 bab untuk semester 2. Ditemukan 123 kata atau istilah asing dan 56 kalimat yang sulit dimengerti bagi siswa.
Penggunaan istilah asing pada pelajaran Sains memang tidak perlu dipersoalkan mengingat istilah itu sudah dibakukan menjadi istilah yang berlaku dalam Sains. Persoalannya adalah bagaimana memberikan kemudahan pemahaman siswa pada istilah-istilah asing dan kalimat-kalimat (pernyataan) ilmu pengetahuan Sains. persoalan ini tentu saja hanya bisa dijawab dengan hadirnya guru yang kompeten baik dalam penguasaan materi pelajaran, penggunaan metode dan yang terpenting keterampilan menggunakan media dan sumber belajar. Ketersediaan sarana jika tidak didampingi oleh guru yang handal tentu juga tidak menjawab persoalan. Namun demikian penggunaan istilah asing harus disertai dengan penjelasan yang lebih sederhana dan mudah dimengerti siswa dan menghindari penggunaan kata atau kalimat yang ambigu.
Materi Sains yang dipelajari sangat banyak dan terkesan padat. Ruang lingkup kajian dari setiap pokok bahasan sangat luas ditambah pokok bahasan berikutnya yang juga memiliki karakter yang sama. Dalam satu kali jam pelajaran guru harus mampu mengejar target kurikulum yang sangat banyak, sementara muatan materi berikutnya kurang memiliki jatah waktu penyampaian yang cukup. Sehingga pada beberapa pertemuan guru harus memadatkan materi yang tentunya hal ini cukup menjadi salah satu penyebab munculnya kesulitan siswa dalam mempelajari Sains.
Materi pelajaran Sains cenderung harus banyak dihafal oleh siswa agar dapat mengikuti pelajaran pada pertemuan berikutnya. Materi yang sedang mereka pelajari sangat memungkinkan untuk dikuasai apabila memulai cara menghafal. Sebab pengenalan banyak istilah, dan guru menuntut membuat laporan hasil para siswa membaca sajian materi tersebut hanya akan dapat dilakukan siswa dengan menghafal.
Indikator padatnya kurikulum di tingkat satuan pendidikan dapat dilihat juga pada materi mata pelajaran lainnya. Seperti IPS, Pendidikan Agama, Matematika dan Seni Budaya. Indikator lain yang dapat menjadi ukuran juga adalah sulitnya menerapkan metode belajar koorperatif atau active learning yang menjadi basis pembelajaran aktif, kreatif, efektif dan menyenangkan karena waktu yang tersedia hanya 35 menit atau menjadi 70 menit dengan asumsi 2 jam pada satu kali kegiatan pembelajaran di kelas.
Pilihan guru dengan kondisi ini lebih banyak menentukan kegiatan pembelajaran dengan metode ceramah dan penugasan. Bentuk pembelajaran dilangsungkan dengan lebih banyak guru menjelaskan materi pokok bahasan dan memberikan tugas (pekerjaan rumah) baik berupa hapalan maupun pengisian lembar kerja siswa (LKS). Bisa dibayangkan beban waktu terutama bagi siswa menghabiskan waktu kurang lebih 420 menit di kelas setiap harinya di sekolah (dengan rasio 35 menit perjam dikali dua rata-rata kegiatan pembelajaran yakni 70 menit dikali 6 mata pelajaran dalam satu hari) hanya untuk mendengarkan penjelasan guru dari semua mata pelajaran dan kemudian pulang dengan membawa tugas sekolah juga dari semua mata pelajaran di hari itu. Tak terasa lalu ketemu dengan ulangan mingguan dan terakhir ketemu ujian akhir.
Kegiatan pembelajaran yang tidak menumbuhkan kreatifitas dan menyenangkan yang berlangsung selama lama ini menurut Ace Suryadi Dirjen PLS Kemendiknas jelas hanya kegiatan teaching untuk memorizing lalu remembering merangkak ke forgeting akhirnya nothing.
Lalu apa yang bisa dilakukan guru untuk memberikan jawaban masalah ini? Sesungguhnya kebijakan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) memberikan ruang yang cukup untuk guru menyusun kurikulum yang menciptakan proses pembelajaran yang efisien dan efektif. Kurikulum yang dirancang secara sistematik sejak penentuan tujuan yang harus dicapai, materi yang harus dipelajari, proses pembelajaran yang harus diterapkan, dan sistem evaluasi yang harus dikembangkan dan dilaksanakan (Soedijarto, 2004).
Patut dipertimbangkan rumusan model pembelajaran yang di dikemukakan oleh Whitehead sampai pada “joy of discovery” yang diharapkan proses pembelajaran itu bermakna sebagai proses pembudayaan dan proses penguasaan seni menggunakan ilmu pengetahuan. Rumusan itu diambil dari empat pilar belajar UNESCO melalui International Commision on Education for The Twenty Firs Century, yaitu “learning to know, learning to do, learning to be, and learning to live together”.
Menerapkan empat pilar tersebut berarti bahwa proses pembelajaran memungkinkan peserta didik dapat menguasai cara memperoleh pengetahuan, berkesempatan menerapkan pengetahuan yang dipelajarinya, berkesempatan untuk berinteraksi secara aktif dengan sesama peserta didik sehingga dapat menemukan dirinya. Model pembelajaran seperti ini hanya dapat berlangsung dengan tenaga guru yang penuh konsentrasi, peralatan yang memadai, dengan materi yang terpilih dan waktu yang cukup tanpa harus mengejar target untuk ujian nasional. Ujian nasional akan mengurangi kreatifitas belajar sampai tingkatan “joy of discovery”. (Soedijarto, 2004).
Guru dalam melaksanakan pembelajaran dapat menjadikan rambu-rambu pembelajaran sebagai berikut , pertama; bahan kajian/ sub pokok bahasan sebagai mata pelajaran yang berdiri sendiri, tetapi diajarkan secara sistematis. Kedua; aspek kerja ilmiah, bukanlah bahan ajar melaikan cara untuk menyampaikan bahan pembelajaran. Karena itu terintegrasi dalam kegiatan pembelajaran. Pemilihan dalam kegiatan pembelajaran harus disesuaikan dengan tingkat perkembangan anak. Ketiga; pendekatan yang digunakan berorientasi pada siswa. Peran guru bergeser dari menentukan “apa yang akan dipelajari” ke “bagaimana menyediakan dan memperkaya pengalaman belajar siswa”. Pengalaman belajar diperoleh melalui serangkaian kegiatan untuk mengeksploitasi lingkungan melalui interaksi aktif dengan teman, lingkungan dan nara sumber lain.
Biasanya tidak akan secara penuh memahami suatu konsep pada saat pertama kali diajarkan. Oleh karena itu dalam merancang kegiatan pembelajaran guru perlu menyadari keberadaan anak-anak dalam tahapan belajar. Mulyono Abdurahman dalam penelitiannya tentang pendidikan bagi anak berkesulitan belajar, 2003. mengemukakan ada empat tahapan belajar yang perlu diperhatikan yaitu perolehan (acquisition), kecakapan (proficiency), pemeliharaan (maintenance) dan generalisasi (Generalization).
Daftar Pustaka
1. Dewantara, Ki Hadjar, 1977. Pendidikan dan Kebudayaan, Yogyakarta: Majelisiluhur Persatuan Taman Siswa.
2. Sjafei, Mohammad, 1979. Dasar-Dasar Pendidikan, Jakarta: Yayasan Proklamasi dan CSIS.
3. Delors, Jacques, et. Al,. 1998. Education for the Twenty-first Cemtury. Issues and Prospeccts, UNESCO Publishing.
4. Gagne, Robert M, 1977. The Condition of Learning,
5. UU Sisdiknas Nomor 20 tahun 2003
6. Permendiknas Nomor 22 tahun 2006
7. Khoir, Abdul, 2008,. Kesulitan Belajar Sains; studi pada pembelajaran Sains Siswa Kelas IV Sekolah Dasar Negeri di Kabupaten Bekasi, Tesis, Universitas Negeri Jakarta.
8. Soedirjarto, 2004,. Kurikulum, Sistem Evaluasi, dan Tenaga Pendidikan sebagai Unsur Strategis dalam Penyelenggaraan Sistem Pengajaran Nasional, Jurnal Pendidikan Penabur-no 03/ th.III
Identitas Penulis
Abdul Khoir HS, Lahir di Bekasi, 24 Pebruari 1969. Menyelesaikan studi S1 di Fakultas Dakwah IAIN SGD Bandung tahun 1993 dan S2 jurusan Teknologi Pendidikan di UNJ Jakarta tahun 2008. saat ini sedang menyelesaikan program doktoral di UNJ Jakarta. Sejak tahun 1994 hingga sekarang masih menjadi dosen tetap di Fakultas Agama Islam Universitas Islam “45” Bekasi. Aktif diberbagai kegiatan penelitian baik bidang agama, sosial, budaya, dan pendidikan. Hingga sekarang ini dipercaya menjadi direktur Lembaga Penelitian Pendidikan dan Kajian Agama (LP-dika) UNISMA Bekasi. Anggota aktif Pusat Kajian Otonomi dan Pembangunan Daerah (PUSKOTDA) Bekasi. Pernah menjadi pimpinan nasional delegasi pertukaran Pemuda Indonesia-Jepang bidang Local Development tahun 2003 dan delegasi Indonesia dalam Regional Leaders Forum ASEAN di Bangkok Thailand tahun 2008. Penulis dan penyusun Buku Kamus Dialek Bekasi 2002 dan Ensiklopedia Sejarah dan Budaya Bekasi 2006. Pemandu sekaligus Narasumber tetap dialog interaktif dalam program Gali Sejarah dan Budaya (GSB) Bekasi radio dakta 107 FM Bekasi.
2/20/2011
Kurikulum Padat Siswa Terperanjat
Tak jarang dijumpai kegundahan orang tua setelah melihat wajah murung anaknya yang baru saja pulang dari sekolah ditingkat sekolah dasar. Apa gerangan yang terjadi pada anak di sekolah? Tak jarang pula jawaban si anak malah “geleng kepala”, pertanda tak tahu kalimat apa yang dapat menggambarkan kebingungan yang dirasakan.
Mengapa ini terjadi? Benarkan sekolah justeru menjadikan siswa murung dan selalu bingung? Bukankah sejatinya sekolah adalah tempat anak-anak yang paling menyenangkan?, karena ketemu dan bermain dengan banyak teman. Belajar,berdialog dan berlindung dengan para gurunya? Tempat yang oleh Ki Hadjar Dewantara (1977) disebut dengan Taman Siswa atau oleh Mohammad Sjafei (1972) menyebutnya dengan sekolah Kayu Taman. Sekolah memang harus menjadi taman. Taman dimana semua orang dapat senang dan gembira karena dengan perasaan itulah seseorang dapat dengan mudah mengembangkan segala potensi dasarnya. Gagne (The Condition of Learning,1977) mengatakannya sebagai suasana yang menumbuhkan berfikir kreatif dan demokratis. Lantas faktor apa saja yang menyebabkan sekolah mejadi “menyebalkan” bagi anak-anak?
Dalam banyak penelitian terutama tentang kesulitan siswa dalam mengikuti kegiatan pembelajaran khususnya di tingkat sekolah dasar, salah satu faktor yang cukup tinggi adalah padatnya kurikulum di sekolah. Dampak langsung faktor ini adalah timbunya rasa bosan dan jenuh siswa dalam mengikuti pembelajaran.
Kepadataan kurikulum dapat didentifikasi melalui kerangka dasar dan struktur kurikulum dikaitkan dengan cakupannya. Apakah desain instruksional dari masing-masing matapelajaran yang dikembangkan disekolah benar-benar telah mempertimbangkan kebutuhan, potensi, perkembangan dan karakteristik siswa? Belum lagi dilihat dari aspek materi/isi pelajaran dari masing-masing mata pelajaran dikaitkan dengan beban waktu yang tersedia.
Kondisi inilah yang dianggap paling krusial karena prinsip pengembangan kurikulum tingkat satuan pendidikan jenjang pendidikan dasar dan menengah dikembangkan oleh sekolah dan komite sekolah berpedoman pada standar kompetensi lulusan dan standar isi serta panduan penyusunan kurikulum yang dibuat oleh BSNP (lampiran permendiknas No 22 tahun 2006).
Di tingkat praktis krusial dalam kurikulum disebabkan karena pemahaman implementasi kurikulum tidak dibarengi dengan kemampuan teknis penyusunannya. Jika memilki kemampuan teknis pun, persoalan berikutnya adalah kemampuan menjabarkan cakupan kelompok matapelajaran menjadi lebih jelas dan terukur. Ditambah lagi dengan anggapan bahwa cakupan dari satuan matapelajaran harus diakomodasi secara sekaligus, bila perlu semua cakupan dari prinsip-prinsip pengembangan kurikulum dapat diurai dalam bentuk standar kompetensi dan kompetensi dasar. kompetensinya ideal sebagaimana menjadi tujuan pendidikan nasional agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.(UU sisdiknas No 20 tahun 2003)
Prinsip dalam pelaksanaan Kurikulumnya harus menegakkan kelima pilar belajar, yaitu: (a) belajar untuk beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, (b) belajar untuk memahami dan menghayati, (c) belajar untuk mampu melaksanakan dan berbuat secara efektif, (d) belajar untuk hidup bersama dan berguna bagi orang lain, dan (e) belajar untuk membangun dan menemukan jati diri, melalui proses pembelajaran yang aktif, kreatif, efektif, dan menyenangkan.
Hemat penulis kata kunci keberhasilan pembelajaran berdasar dari prinsip pelaksanaan kurikulum adalah menciptakan pembelajaran yang aktif, kreatif, efektif dan menyenangkan. Dengan demikian prinsip ini akan bertabrakan dengan desain kurikulum yang padat, dipaksakan mengakomodasi semua cakupan sehingga melampaui beban belajar, dan mengejar target ketuntasan penyampaian materi pelajaran. hal lain juga karena ketidak piawaian guru dalam menggunakan metode dan media pembelajaran. keadaan ini dapat ditelisik dari sajian materi yang diajarkan guru di kelas dalam buku paket pelajaran.
Pada kasus kesulitan belajar siswa pada mata pelajaran Sains di kelas IV sekolah dasar. Dijumpai gambaran yang meyakinkan bahwa kesulitan siswa mengikuti pelajaran sain di sekolah adalah 1). Materi terlalu banyak memperkenalkan istilah asing. 2). Materi terlalu banyak dan terkesan sangat padat. 3).Materi yang disampaikan miliki kecenderungan harus banyak dihafalkan oleh para siswa. (Abdul khoir, 2008)
Penggunaan istilah asing dalam pelajaran Sains, lihat buku paket pelajaran yang berjudul “SAINS untuk Sekolah Dasar Kelas 4”, Editor; Chrisnawati, penerbit Erlangga,2006, sistematika tulisan buku dibagi menjadi dua semester, masing-masing terdapat 2 unit terdiri dari 8 bab untuk semester 1 dan 2 unit dengan 7 bab untuk semester 2. Ditemukan 123 kata atau istilah asing dan 56 kalimat yang sulit dimengerti bagi siswa.
Penggunaan istilah asing pada pelajaran Sains memang tidak perlu dipersoalkan mengingat istilah itu sudah dibakukan menjadi istilah yang berlaku dalam Sains. Persoalannya adalah bagaimana memberikan kemudahan pemahaman siswa pada istilah-istilah asing dan kalimat-kalimat (pernyataan) ilmu pengetahuan Sains. persoalan ini tentu saja hanya bisa dijawab dengan hadirnya guru yang kompeten baik dalam penguasaan materi pelajaran, penggunaan metode dan yang terpenting keterampilan menggunakan media dan sumber belajar. Ketersediaan sarana jika tidak didampingi oleh guru yang handal tentu juga tidak menjawab persoalan. Namun demikian penggunaan istilah asing harus disertai dengan penjelasan yang lebih sederhana dan mudah dimengerti siswa dan menghindari penggunaan kata atau kalimat yang ambigu.
Materi Sains yang dipelajari sangat banyak dan terkesan padat. Ruang lingkup kajian dari setiap pokok bahasan sangat luas ditambah pokok bahasan berikutnya yang juga memiliki karakter yang sama. Dalam satu kali jam pelajaran guru harus mampu mengejar target kurikulum yang sangat banyak, sementara muatan materi berikutnya kurang memiliki jatah waktu penyampaian yang cukup. Sehingga pada beberapa pertemuan guru harus memadatkan materi yang tentunya hal ini cukup menjadi salah satu penyebab munculnya kesulitan siswa dalam mempelajari Sains.
Materi pelajaran Sains cenderung harus banyak dihafal oleh siswa agar dapat mengikuti pelajaran pada pertemuan berikutnya. Materi yang sedang mereka pelajari sangat memungkinkan untuk dikuasai apabila memulai cara menghafal. Sebab pengenalan banyak istilah, dan guru menuntut membuat laporan hasil para siswa membaca sajian materi tersebut hanya akan dapat dilakukan siswa dengan menghafal.
Indikator padatnya kurikulum di tingkat satuan pendidikan dapat dilihat juga pada materi mata pelajaran lainnya. Seperti IPS, Pendidikan Agama, Matematika dan Seni Budaya. Indikator lain yang dapat menjadi ukuran juga adalah sulitnya menerapkan metode belajar koorperatif atau active learning yang menjadi basis pembelajaran aktif, kreatif, efektif dan menyenangkan karena waktu yang tersedia hanya 35 menit atau menjadi 70 menit dengan asumsi 2 jam pada satu kali kegiatan pembelajaran di kelas.
Pilihan guru dengan kondisi ini lebih banyak menentukan kegiatan pembelajaran dengan metode ceramah dan penugasan. Bentuk pembelajaran dilangsungkan dengan lebih banyak guru menjelaskan materi pokok bahasan dan memberikan tugas (pekerjaan rumah) baik berupa hapalan maupun pengisian lembar kerja siswa (LKS). Bisa dibayangkan beban waktu terutama bagi siswa menghabiskan waktu kurang lebih 420 menit di kelas setiap harinya di sekolah (dengan rasio 35 menit perjam dikali dua rata-rata kegiatan pembelajaran yakni 70 menit dikali 6 mata pelajaran dalam satu hari) hanya untuk mendengarkan penjelasan guru dari semua mata pelajaran dan kemudian pulang dengan membawa tugas sekolah juga dari semua mata pelajaran di hari itu. Tak terasa lalu ketemu dengan ulangan mingguan dan terakhir ketemu ujian akhir.
Kegiatan pembelajaran yang tidak menumbuhkan kreatifitas dan menyenangkan yang berlangsung selama lama ini menurut Ace Suryadi Dirjen PLS Kemendiknas jelas hanya kegiatan teaching untuk memorizing lalu remembering merangkak ke forgeting akhirnya nothing.
Lalu apa yang bisa dilakukan guru untuk memberikan jawaban masalah ini? Sesungguhnya kebijakan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) memberikan ruang yang cukup untuk guru menyusun kurikulum yang menciptakan proses pembelajaran yang efisien dan efektif. Kurikulum yang dirancang secara sistematik sejak penentuan tujuan yang harus dicapai, materi yang harus dipelajari, proses pembelajaran yang harus diterapkan, dan sistem evaluasi yang harus dikembangkan dan dilaksanakan (Soedijarto, 2004).
Patut dipertimbangkan rumusan model pembelajaran yang di dikemukakan oleh Whitehead sampai pada “joy of discovery” yang diharapkan proses pembelajaran itu bermakna sebagai proses pembudayaan dan proses penguasaan seni menggunakan ilmu pengetahuan. Rumusan itu diambil dari empat pilar belajar UNESCO melalui International Commision on Education for The Twenty Firs Century, yaitu “learning to know, learning to do, learning to be, and learning to live together”.
Menerapkan empat pilar tersebut berarti bahwa proses pembelajaran memungkinkan peserta didik dapat menguasai cara memperoleh pengetahuan, berkesempatan menerapkan pengetahuan yang dipelajarinya, berkesempatan untuk berinteraksi secara aktif dengan sesama peserta didik sehingga dapat menemukan dirinya. Model pembelajaran seperti ini hanya dapat berlangsung dengan tenaga guru yang penuh konsentrasi, peralatan yang memadai, dengan materi yang terpilih dan waktu yang cukup tanpa harus mengejar target untuk ujian nasional. Ujian nasional akan mengurangi kreatifitas belajar sampai tingkatan “joy of discovery”. (Soedijarto, 2004).
Guru dalam melaksanakan pembelajaran dapat menjadikan rambu-rambu pembelajaran sebagai berikut , pertama; bahan kajian/ sub pokok bahasan sebagai mata pelajaran yang berdiri sendiri, tetapi diajarkan secara sistematis. Kedua; aspek kerja ilmiah, bukanlah bahan ajar melaikan cara untuk menyampaikan bahan pembelajaran. Karena itu terintegrasi dalam kegiatan pembelajaran. Pemilihan dalam kegiatan pembelajaran harus disesuaikan dengan tingkat perkembangan anak. Ketiga; pendekatan yang digunakan berorientasi pada siswa. Peran guru bergeser dari menentukan “apa yang akan dipelajari” ke “bagaimana menyediakan dan memperkaya pengalaman belajar siswa”. Pengalaman belajar diperoleh melalui serangkaian kegiatan untuk mengeksploitasi lingkungan melalui interaksi aktif dengan teman, lingkungan dan nara sumber lain.
Biasanya tidak akan secara penuh memahami suatu konsep pada saat pertama kali diajarkan. Oleh karena itu dalam merancang kegiatan pembelajaran guru perlu menyadari keberadaan anak-anak dalam tahapan belajar. Mulyono Abdurahman dalam penelitiannya tentang pendidikan bagi anak berkesulitan belajar, 2003. mengemukakan ada empat tahapan belajar yang perlu diperhatikan yaitu perolehan (acquisition), kecakapan (proficiency), pemeliharaan (maintenance) dan generalisasi (Generalization).
Daftar Pustaka
1. Dewantara, Ki Hadjar, 1977. Pendidikan dan Kebudayaan, Yogyakarta: Majelisiluhur Persatuan Taman Siswa.
2. Sjafei, Mohammad, 1979. Dasar-Dasar Pendidikan, Jakarta: Yayasan Proklamasi dan CSIS.
3. Delors, Jacques, et. Al,. 1998. Education for the Twenty-first Cemtury. Issues and Prospeccts, UNESCO Publishing.
4. Gagne, Robert M, 1977. The Condition of Learning,
5. UU Sisdiknas Nomor 20 tahun 2003
6. Permendiknas Nomor 22 tahun 2006
7. Khoir, Abdul, 2008,. Kesulitan Belajar Sains; studi pada pembelajaran Sains Siswa Kelas IV Sekolah Dasar Negeri di Kabupaten Bekasi, Tesis, Universitas Negeri Jakarta.
8. Soedirjarto, 2004,. Kurikulum, Sistem Evaluasi, dan Tenaga Pendidikan sebagai Unsur Strategis dalam Penyelenggaraan Sistem Pengajaran Nasional, Jurnal Pendidikan Penabur-no 03/ th.III
Identitas Penulis
Abdul Khoir HS, Lahir di Bekasi, 24 Pebruari 1969. Menyelesaikan studi S1 di Fakultas Dakwah IAIN SGD Bandung tahun 1993 dan S2 jurusan Teknologi Pendidikan di UNJ Jakarta tahun 2008. saat ini sedang menyelesaikan program doktoral di UNJ Jakarta. Sejak tahun 1994 hingga sekarang masih menjadi dosen tetap di Fakultas Agama Islam Universitas Islam “45” Bekasi. Aktif diberbagai kegiatan penelitian baik bidang agama, sosial, budaya, dan pendidikan. Hingga sekarang ini dipercaya menjadi direktur Lembaga Penelitian Pendidikan dan Kajian Agama (LP-dika) UNISMA Bekasi. Anggota aktif Pusat Kajian Otonomi dan Pembangunan Daerah (PUSKOTDA) Bekasi. Pernah menjadi pimpinan nasional delegasi pertukaran Pemuda Indonesia-Jepang bidang Local Development tahun 2003 dan delegasi Indonesia dalam Regional Leaders Forum ASEAN di Bangkok Thailand tahun 2008. Penulis dan penyusun Buku Kamus Dialek Bekasi 2002 dan Ensiklopedia Sejarah dan Budaya Bekasi 2006. Pemandu sekaligus Narasumber tetap dialog interaktif dalam program Gali Sejarah dan Budaya (GSB) Bekasi radio dakta 107 FM Bekasi.
Selasa, 15 Maret 2011
Visi-Misi
Visi
Menjadi Lembaga yang unggul, inovatif dan kontributif, berstandar mutu internasional, menjadi sumber informasi tentang kegiatan penelitian pendidikan dan kajian agama serta berperan aktif dalam pembangunan daerah dan bangsa khususnya dalam bidang penelitian pendidikan dan kajian agama.
Misi
Misi LP-dika adalah sebagai berikut:
1. Pengembangan SDM dan kelembagaan penelitian & kajian.
2. Mengembangkan penelitian-penelitian unggulan dan meningkatkan kiprah Fakultas Agama Islam Unisma Bekasi dalam hal penelitian pendidikan dan kajian agama;
3. Pemecahan masalah pembangunan daerah dan nasional
4. Mengembangkan relevansi penelitian pendidikan dan kajian agama, meningkatkan mutu pendidikan, kebutuhan dunia usaha dan industri serta masyarakat pada umumnya
5. Meningkatkan kualitas sumber daya manusia sebagai kader-kader umat dan bangsa yang memiliki pandangan jauh ke depan, memiliki daya saing yang unggul dalam memasuki pasar kerja serta mampu berinovasi dalam tataran lokal dan global.
6. Memberdayakan masyarakat dan umat dengan melakukan pencerahan dan pencerdasan melalui proses pengembangan ilmu-ilmu sosial dan kegamaan agar menjadi subjek dalam pembangunan daerah dan nasional.
7. Publikasi hasil penelitian dan kajian berstandar nasional dan internasional.
Minggu, 06 Maret 2011
Artikel Yoyo Hambali
Tingkatan Eksistensi dan Motivasi dalam Islam serta Relevansinya dengan Ekonomi Islam
Abbas J. Ali
Diterjemahkan dan Disadur oleh Yoyo Hambali
Abstract. Purpose – This paper seeks to shed light on Islamic perspectives on motivation and personality. It argues that original Islamic thinking in the seventh and eleventh centuries offer useful organizational insights for today’s organizations. Design/methodology/approach – This research contrasts an earlier Islamic writing on motivation and personality with contemporary humanistic theories on motivation. This study suggests that religion and spirituality can positively influence behavior and organizational performance. Findings – It shows that religion may provide a potentially useful framework within which to study the relationship between faith and work. It was documented that the Islamic profile of human existence (Mutamainna) challenges most of the prevailing management assumptions on human beings.
Practical implications – Opens up a new avenue for viewing the nature of human existence and dispels the widely held belief that human beings by nature are destined to engage in destructive behavior. Originality/value – The paper provides original conceptualizations and perspectives that are of value to researchers in the fields of spirituality and international comparative management. The paper offers a new perspective on how the degree of internalization of spiritual needs influences an individual’s behavior and expectations.
Pendahuluan
Persaingan pasar dan usaha untuk meningkatkan kinerja organisasi ki-nerja telah memotivasi manajer dan mahasiswa manajemen untuk men-cari perspektif dan pendekatan baru yang relevan dengan perkembangan organisasi. Salah satu bidang yang tampaknya menarik perhatian adalah spiritualitas. Bahkan, dalam beberapa tahun terakhir, sejumlah besar lite-ratur tentang spiritualitas terus ber-kembang. Pentingnya spiritualitas di tempat kerja yang berkaitan dengan hubungan antara iman dan kerja mendapatkan perhatian dan porsi yang signifikan baru-baru ini (Mitroff dan Denton, 1999; Weston, 2002). Meskipun hubungan antara spiritual-litas dan agama bukan topik tulisan ini, namun membahas keduanya membrikan manfaat karena hubung-an antara keduanya sama-sama me-nekankan pada nurani. Bahkan, dalam wacana keagamaan kata spiritualitas sering digunakan secara sinonim dengan agama dan iman (Benefiel, 2003; Reiner, 2007). Namun peneliti lainnya seperti McCormick (1994) berpendapat bahwa agama tidak identik dengan spiritualitas. Spiritua-litas, lebih cenderung hanya berhu-bungan dengan aspek-aspek intrinsik agama. Agama, oleh karena itu, muncul untuk merangsang para peneliti untuk menilai akurasi adanya konvensi umum mengenai pengaruh agama pada manajemen dan organisasi (Weaver dan Agle, 2002). Para penulis ini menegaskan bahwa peran agama yang lebih besar dalam identitas diri manusia adalah peran agama dalam member harapan pada individu.
Pentingnya hubungan antara aga-ma dan manajemen semakin tumbuh dikaitkan dengan semakin mening-katnya jumlah manajer yang secara terbuka menyatakan agama dalam praktek bisnis mereka (Kinni, 51 2003; Weaver dan Agle, 2002). Dalam dunia bisnis saat ini, perusahaan besar seperti Ford, Texas Instruments, dan Merrill Lynch telah menunjukkan minat yang lebih besar terhadap peran agama di tempat kerja (Kinni, 2003). Agama dan spiritualitas semakin dalam dunia bisnis berguna dalam meningkatkan tanggung jawab sosial (social responsible) dan mem-berikan motivasi serta inspirasi baru bagi para karyawan dan manajer perusahaan (Garcia-Zamor, 2003). Secara tradisional, hubungan agama dalam pembangunan ekonomi dan etos kerja, serta dampak agama ter-hadap budaya dan kinerja organisasi secara intensif diperdebatkan dalam konteks Kristen dan Yudaisme. Selain Kristen dan Yudaisme (Yahudi), Islam hamper diabaikan dalam literature manajemen. Padahal Islam mena-warkan perspektif yang unik dalam hal menjaga keseimbangan kerja dan hidup dalam menjalankan kegiatan organisasi. Sejak dimulai pada tahun 610, Islam telah menawarkan per-spektif yang unik mengenai dunia kerja dan manajemen. Kaum Muslim awal memiliki artikulasi etika dan perilaku kerja yang diperkuat dengan iman sehingga mempercepat peru-bahan sosial ekonomi di Jazirah Arabia yang merupakan tempat lahirnya Islam serta di luar Arab. Perspektif Islam mengenai hubungan iman dan kerja memberikan makna makna positif yang masih relevan dengan pemikiran kontemporer saat ini. Sejak awal kemunculan dan perkembangan Islam pengusaha Mus-lim didorong oleh ajaran Islam men-jadi orang yang sukses dalam mem-bangun dan mengorganisir industri, perdagangan, perusahaan atau gilda. (Izeeddin, 1953). Penekanan yang berorientasi pada tanggung jawab, kesempurnaan dan kerja keras, ber-lomba-lomba dalam kebaikan dan menghormati keanekaragaman serta memusatkan kerja dan usaha untuk meningkatkan kesejahteraan hidup baik kesejahteraan individu maupun sosial (Ali, 2005).
Imam Ali (598-661A.D.) mene-gaskan bahwa kesejahteraan masya-rakat dan negara bergantung pada apa yang dilakukan pengusaha di pasar. Dia menegaskan bahwa mes-kipun pengumpul pajak, hakim, ad-ministrator, agen pemerintah, dan tentara memainkan peran penting
dalam negara, namun tak satu pun dari mereka, "dapat melakukannya tanpa pedagang dan pengusaha yang membangun dan memelihara fasilitas pasar, di mana birokrat pemerintah sendiri tidak dapat melakukannya. Karena itu, pengusaha, pedagang dan pekerja memiliki kedudukan istimewa serta prestise yang tinggi daripada birokrat pemerintah. Dalam konteks kerja dan motivasi, nampaknya ada hubungan anatara kegiatan kegiatan ekonomi dan kebutuhan akan rasa aman dalam masyarakat. Banyak sabda Nabi Muhammad saw. dan para sahabtnya yang berkaitan dengan dasar-dasar membangu perusahaan dan praktek organisasi. Islam menekankan bahwa "kerja adalah ibadah" dan merupakan kesempurnaan religiusitas seseorang (takwa) sebagaimana disabdakan Nabi, "Allah memberkati para pekerja yang terus belajar dan menyem-purnakan profesinya”. Demikian pula, Imam Ali menyatakan, "bertahan dalam bekerja merupakan kemuliaan dan kegagalan dalam menyem-purnakan pekerjaan sedangkan anda mendapatkan upah dari pekerjaan anda, maka itu merupakan kezaliman pada diri anda sendiri. .” Dengan kata lain, imam Ali sangat menghormati orang yang menyempurnakan peker-jaanya. Dan bila seseorang tidak mampu menyempurnakan pekerjaan sedangkan ia mendapatkan upah, maka orang itu dianggap telah menganiaya dirinya sendiri. Beliau juga menambahkan bahwa kemis-kinan dapat meniadakan kehormatan diri. Dalam Al-Quran Surat Al-Baqarah (2):275 Allah memerintahkan Muslim untuk terus bekerja kapanpun dan di mana pun. Allah SWT menyatakan, "Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” Demikian juga, Nabi Muhammad mengajarkan bahwa pedagang harus melakukan tugas-tugas yang tidak hanya secara moral diperlukan, tetapi yang penting untuk kelangsungan hidup suatu masyara-kat. Dia menyatakan, "Aku memuji para pedagang karena mereka adalah khalifah Allah di muka bumi dan hamba Allah yang beriman. Imam Ali menyatakan dalam suratnya kepada Gubernur Mesir menjaga para peda-gang dan pengusaha/pengrajin jika menetap dan bepergian. Mereka memberikan manfaat dalam penye-diaan barang yang mereka bawa melalui darat dan laut, gunung dan lembah. Karena itu mereka harus dijaga keamanannya. Para pedagang dan pengusaha itulah yang menjamin Merawat para pedagang dan peng-rajin, dan menjamin kesejahteraan mereka apakah mereka menetap atau bepergian, atau bekerja sendiri. Mereka adalah manfaat dan penyedia barang, yang mereka bawa dari jauh melalui laut atau darat, melewati gunung dan lembah. Karena itu, mereka harus dijaga keamananannya karena merekalah yang menjamin kesejahteraan manusia di muka bumi.
Bahkan dekade kemudian, para cendekiawan Muslim memiliki perha-tian terhadap dunia kerja dan bisnis. Misalnya, Ibnu Khaldun (1989, hal 273), sosiolog Arab abad perte-ngahan, berpendapat bahwa terlibat dalam usaha ini melayani empat tujuan: memfasilitasi kerjasama dan saling pengertian antara manusia, memuaskan kebutuhan masyarakat, meningkatkan kekayaan dan dan mendorong pertumbuhan peradab-an. Sebelumnya, Ikhwan-us-Safa (Kelompok Persaudaraan Suci), salah satu kelompok filsafat dan tasawuf dalam Islam, pada abad kesepuluh menggunakan istilah sesuai dengan kategorisasi manajemen dan perilaku organisasi modern. Mereka menun-jukkan bahwa keterlibatan dalam perdagangan dan manufaktur me-layani keperluan fisik, psikologis, sosial, dan spiritual. (Risalah Ikhwan al-Shafa, Vol. 1, p. 286), Ikhwan-us-Safa menggarisbawahi pentingnya kerja, sebagaimana yang mereka diuraikan untuk mengejar kegiatan usaha: pengentasan kemiskinan; me-motivasi orang untuk menjadi giat dan terlibat secara kreatif dalam menjalankan profesi; melengkapi jiwa manusia dengan berbagai aneka ragam pengetahuan, mewujudkan sopan, mendayagunakan ide-ide, membangun sikap dan perbuatan yang bertanggung jawab; dan mencapai kesejakteraan. Ikhwan-us-Safa juga menawarkan argument yang kuat untuk menghormati semua jenis pekerjaan sebagai tugas ter-hormat dan kesempurnaan kerja sebagai tindakan yang paling diberkati oleh Allah. Ikhwan-us-Safa juga menggarisbawahi dimensi spiritual dalam pekerjaan selain untuk meme-nuhi kewajiban agama. Mereka mengklasifikasikan kebutuhan manu-sia ke dalam empat kategori (spiritual fisiologis, psikologis, sosial, dan etik). Pemikiran Ikhwan al-Shafa meru-pakan pemikiran yang canggih pada zamannya dan sesuai dengan teori Maslow dan Alderfer. Oleh karena itu, tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengkaji tingkatan eksistensi dan motivasi dalam pandangan Islam Pendekatan ini menawarkan pers-pektif baru, menantang dan orisinal pada isu-isu yang penting bagi penciptaan lingkungan kerja yang sehat. Selanjutnya, studi ini mena-warkan analisis kritis kompleksitas manajemen dalam era pluralitas agama dan budaya.
Menurut tradisi Islam, manusia memiliki pilihan tak terbatas untuk melakukan perbuatannya dalam hi-dup. Seorang pemikir Iran Ali Shariati (1979, hal 92) berpendapat bahwa manusia ditarik menuju "arah yang tak terbatas," di mana manusia terdiri dari unsur tanah liat (fisik) dan ruh Allah. Unsur fisik ini dipaksa untuk taat kepada ruh yang ditiupkan. Sehingga selama manusia hidup ter-jadi pertempuran antara dua keku-atan yaitu kekuatan jasmani (fisik) dan kekuatan rohani (spiritual). Per-temupran antara dua kekuatan ini terjadi dalam upaya menuju kesem-purnaan manusia. Kesempurnaan yang diinginkan adalah agar manusia menjadi makhluk yang luhur budinya. Berbeda dengan teori Maslow sifat manusia dalam pandangan Islam bersifat kompleks karena manusia terdiri dari unsur fisik dan spiritual. Namun Allah menganugerahkan ma-nusia dengan kehendak bebas) dan pengetahuan (memberi orang itu bakat untuk mengetahui dan mema-hami kompleksitas alam semesta).
Para sarjana Islam karenanya menyimpulkan bahwa ada lima kate-gori umum kebutuhan manusia: fisio-logis, material, psikologis, spiritual dan mental atau intelektual (Al-Jasmani, 1996; Glaachi, 2000; Nusair, 1983; Syari'ati, 1979). Fisiologis dan material berkaitan dengan kebuthan fisik sedangkan psikologis, spiritual dan mental/intelektual berkaitan dengan kebutuhan rohani. Kebutuhan fisiologis berupa kebutuhan makanan dan tempat tinggal. Pemenuhan kebuituhan ini pentingnya dan dijamin oleh Islam sejak era Rasu-lullah paling tidak ke tingkat pemenuhan kebutuhan minimum. Dan kebutuhan ini harus dipenuhi oleh negara. Kebutuhan akan materi berupa kekayaan dan kenikmatan ekonomi juga diakui. Adapun kebu-tuhan psikologis seperti rasa cinta, rasa takut dan kebutuhan emosi lainnya. Adapun kebutuhan rohani berfokus pada iman, keharmonisan hidup, pemenuhan tujuan hidup secara spiritual. Secara normative, Islam menekankan keseimbangan (balance) dalam pemenuhan kelima kategoro kebutuhan tersebut. Hamba Allah harus berjuang untuk meme-nuhi berbagai kebutuhan tersbut sebagai konsekuensi khalifah Allah, mencari kebajikan dan kesempurnaan hidup. Nabi Muhammad pernah berkata, "Setiap orang mempunyai kewajiban terhadap Allah, diri sendiri, dan keluarga; dan hendaknya memberikan perhatian kepada setiap kewajiban itu. (Dikutip dalam Glaachi, 2000, hal 59). Al-Qur’an menegaskan bahwa Allah akan mengangkat derajat orang-orang yang beriman dan berilmu pada beberapa derajat (QS. 58:11) Kebutuhan spiritual merupakan faktor potensial yang memungkinkan orang-orang yang menginternalisasi dirinya dalam memenuhi kebutuhan hidup secara spiritual. Dalam Islam eksistensi manusia juga diakui dengan adanya kehendak bebas (free will) di mana dalam memenuhi kebutuhan hidup-nya, manusia dinugerahi akal untuk memilih mana yang baik dan mana yang buruk. Kehendak bebas itu menjadikan manusia makhluk yang tidak terbatas dalam mengejar kesempurnaan hidupnya. Dengan demikian, keyakinan agama mena-warkan jalan untuk memahami sifat dan motivasi manusia. Baru-baru ini berkembang minat pada agama dan spiritualitas di tempat kerja mem-buktikan potensi ini. Dalam hal hubungan antara agama dan iman ajaran Islam memandang agama seba-gai sarana untuk melayani urusan duniawi dan ukhrawi.
Tingkatan Eksistensi dan Motivasi
Kami (penulis) menyarankan bah-wa agama secara intrinsik menye-diakan hubungan yang kuat antara penilaian dan perilaku. Secara khusus, Weaver dan Agle menganjurkan bahwa orang-orang yang berorientasi intrinsik memperlakukan agama ke-percayaan dan praktek sebagai tujuan itu sendiri. Sebaliknya, orang yang berorientasi ekstrinsik pandangan agama dalam hal kegunaannya-sarana untuk memperoleh manfaat lain. Oleh karena itu, individu yang termotivasi secara intrinsik lebih mungkin untuk mematuhi bertanggung jawabnya dan peka terhadap etika universal. Sedangkan keberagamaan secara ekssentrik melakukan pengalaman agama karena adanya motivasi lain. Sigmund Freud (1856-1939), menya-takan bahwa dalam diri manusia senantiasa ada pertempuran anatar unsure ID, Ego, dan Super Ego. Id merupakan bagian bawah sadar manusia, Ego meruakan realitas fisik dan sosial sedangkan Super Ego merupakan alat kontrol berupa nilai yang ada pada manusia. Sedangkan Erikson (1964), menjelaskan berapa tahap perkembangan manusia yang dapat mempengaruhi eksistensinya, yaitu mulai tahap bayi, masa kanak-kanak awal, masa kanak-kanak khir dan remaja, dewasa awal, dewasa dan usia menengah, dan usia tua. Pada setiap tahap, orang menghadapi masalah dan kesulitan yang berbeda. Maslow dan Graves, meskipun pemikiran mereka bersifat sekuler,
memiliki beberapa persamaan dengan pemikiran Islam dalam hal tingkat keberadaan manusia. Hal ini terutama berlaku dalam penekanan mereka pada potensi manusia dan konsep bahwa pertumbuhan dan regresi adalah aspek normal dari keberadaan manusia. Dalam konteks Islam, ada empat tingkat keberadaan.. Quran (12:53, 75:2, 89:27-30) menentukan dan rincian tingkat eksistensi. Dalam Al-Qur’an manusia itu dikatakan memiliki jiwa amarah, jiwa lawamah, mutmainah, dan jiwa rodiyah-mardi-yah. Jiwa amarah cenderung pada mementingkan ego dan cenderung pada keburukan. Jiwa lawamah me-rupakan jiwa yang labil. Jiwa mut-mainah merupakan jiwa yang tenang (stabil). Sedangkan jiwa rodiyah-mardiyah merupakan jiwa yang ridha dan diridahi oleh Allah SWT. Tingkatan jiwa ini akan mempe-ngaruhi motivasi manusia dan tingkat spiritual manusia. Makin tinggi tingkatan jiwanya motivasinya makin murni dan tingkat spiritulnya makin tinggi. Setiap tingkatkan itu akan menentukan tingkat perubahan dan kemajuan manusia. Setiap tingkat itu juga menentukan nilai, sikap, dan perbuatan manusia. Dalam Al-Qur’an digambarkan ketika Musa bertanya kepada Samiri mengapa membuat patung lembu dari emas, maka Samiri menjawab “jiwa saya mendorong saya (untuk membuat patung anak lembu dari emas "(20:96). Demikian pula, dalam Quran, ada cerita tentang bagaimana Yusuf dikhianati oleh saudara-saudaranya dan meninggal-kan dia di dalam sumur. Saudara-saudara mengatakan kepada ayah mereka, Yakub, bahwa Yusuf telah dibunuh oleh serigala. Yakub men-jawab: "Sebenarnya dirimu sendirilah (jiwa) yang memandang baik per-buatan (yang buruk) itu; Maka kesabaran yang baik Itulah (kesabaranku dan Allah sajalah yang dimohon pertolongan-Nya terhadap apa yang kamu ceritakan." (12:18). Dalam kasus ini, saudara orang-orang ini, yang Samiri dan Yusuf, bertindak dengan cara yang akhirnya menghambat keterlibatan organisasi mereka di masa mendatang yang optimal. Imam Ali, menggambarkan sifat seseorang pada tahap ini:
Jika manusia mematuhi nafsu, dan pada tingkat ini ia jelas tidak memiliki kendali atas mereka. Ketika ia memiliki kesempatan untuk me-muaskan hasrat nafsunya dan ia pun kehilangan kesabarannya. Ia murah hati dalam berbicara tetapi kikir dalam tindakan. Dia bersaing untuk urusan yang sementara (fana) dan melupakan urusan yang abadi. Dia merasa terbebani dalam melak-sanakan tugas, senang dipuji dan marah bila dikritik dan menghabiskan hidupnya dengan orang kaya dan melupakan orang-orang miskin. Mereka takut kepada orang yang dimuliakan dengan harta tetapi tidak takut kepada orang yang taat kepada Allah. Hal ini dapat disimpulkan bahwa keasyikan utama dari sese-orang di tingkat ini adalah untuk mengejar kepentingan pribadi. Arti-nya, orang mungkin memiliki kappa-sitas mental untuk membedakan antara baik dan buruk, tetapi mereka tidak memiliki kapasitas untuk meng-integrasikan kebutuhan mereka dengan lingkungan mereka. obsesi mereka dengan kepentingan pribadi menghambat mereka dari rasio-nalitas. Imam Ali berpendapat bahwa pada tahap ini orang merasa "sulit untuk menahan dorongan jiwanya terhadap godaan dan bergelimang dalam dosa dan penderitaan. Tingkat ini merupakan tingkatan eksistensi di mana manusia berada pada jiwa amarah (nafsu ‘amarah) yang sangat rawan berbuat jahat. Keadaan seperti ini disebabkan oleh kurangnya inter-nalisasi keyakinan spiritual.
Pada tingkatan kedua, jiwa lawamah terjadi pertempuran antara gairah nafsu dunia dan dorongan spiritual Pada tahap ini, manusia sadar akan kejahatan. Ada sebuah perjuangan antara baik dan buruk. Pada tingkat ini manusia masih berpeluang melakukan kejahtan dan agresi tetapi sadar akan perbuatan buruknya sehingga menimbulkan rasa takut dan cemas. Dalam Al-Qur’an dinyatakan, “Aku bersumpah dengan jiwa yang Amat menyesali (dirinya sendiri) (QS. Al-Qiyamah (75):2). Dan dalam ayat 14-15 Allah menyatakan, “bahkan manusia itu menjadi saksi atas dirinya sendiri[“ Dalam tingkatan eksistensi, manusia mencela dirinya sendiri karena adanya kesadaran akan perbuatan buruk yang dilakukannya. Ini adalah tahap menuju tingkatan ketiga yang disebut nafsu muth-mainnah (keadaan jiwa yang stabil/tenang). Pada tingkatan ini, manusia sudah secara efektif mena-han keinginan jiwanya melalui kejernihan pikiran. Orang-orang pada tingkat ini sensitif terhadap standar moral dan etika, menyadari kele-mahan dirinya, menahan egoism dan perbuatan jahat sehingga mencapai kesempurnaan hidup melalui aktua-lisasi dan kepauasan spiritual.
Imam Ali dan motivasi menjelaskan bahwa orang-orang pada tahap ini: dalam Islam Dicirikan oleh semua sikap yang mulia: mereka berbicara kebenaran, berpakaian sopan, dan berperilaku rendah hati. Mereka tidak terguncang oleh penderitaan dan kesenangan. Mereka tidak puas dengan prestasi kecil, dan tidak menganggap apa saja yang mereka lakukan sebagai cukup. Ia tidak merasa gelisah dengan urusan keduanwin, tetapi ia merasa gelisah jika jiwanya tidak taat kepada-Nya. Dia peduli terhadap urusan yang abadai dan membenci apa yang sementara. Ia senantiasa menolong orang yang kesusahan dan tenang menghadapi keslutitan hidup. Jiwanya penuh rasa syukur pada saat bahagian dan tidak merasa terganggu saat ditimpa kesusasahan. Namun ia sangat menderita bila melihat penderitaan orang lain sebaliknya ia tidak peduli dengan penderitaan yang menimpa dirinya.
Dalam bahasa Ali Shariati, mereka ini telah memenuhi kapasitas manusia yang mementingkan roh dan keda-laman hidup. Tahap mutmainah memiliki tanggung jawan dan komit-men dalam keterlibatan intelektual dan sosial dalam pencapaian ke-sempurnaan hidup dan kebajikan spiritual.
Dalam perspektif Islam, tingkatan Mutamainah inilah yang harus dicapai untuk selanjutnya menuju kepada tingkatan yang sempurna (rodhiyah-mardiyah), yaitu jiwa yang tulus ikhlas dalam menerima apapun takdir Allah SWT. Dalam perspektif Islam per-juangan untuk menuju ksemprnaan jiwa itu merupakan perjuangan yang terus-menerus.
Dalam konteks manajemen jiwa yang sempurna inilah yang dibu-tuhkan di mana akan menjadi energy yang efektif untuk senantiasa mewujudkan kesempurnaan visi dan tujuan dari organisasi dengan nilai-nilai kebajikan yang sempurna. Na-mun demikian, harus diakui bahwa setiap manusia memiliki tingkatan eksistensi yang berbeda-beda dan bertingkat-tingkat. Dengan tingkatan pengetahuan dan pemahanam akan eksistensi ini para manajer harus mengembangkan berbagai strategi yang efektif menangani karyawan sesuai dengan tingkatan eksistensi mereka. Pada tingkatan pertama (amarah) orang seseorang termotivasi oleh dorongan untuk terlibat dalam godaan demi kesenangan pribadi. Tingkatan Lawamah berorientasi pada reward karena itu seorang manajer harus memberi penekanan pada langkah-langkah yang fleksibel dan menjaga akuntabilitas bawahannya, melakukan pengawasan terhadap kinerja mereka.
Pada tingkatan mutmainah sese-orang dimotivasi oleh dorongan intelektual dan rohani. Sedangkan pada tingkatan amarah motivasi utama pada kebutuhan fisiologis dan material. Pada tingkatan lawamah kebutuhan fisiologis dan material masih ada tetapi sudah ada dorongan spiritual dan intelektual.
Relevansinya Dengan Ekonomi Islam
Rasulullah saw. bersabda bahwa setiap perbuatan tergantung kepada niat. Dalam niat terdapat motivasi di mana setiap orang berbeda dalam motivasinya tergantung kepada ting-katan eksistensinya. Demikian pula dalam memenuhi kebutuhan hidup-nya. Dalam ekonomi Islam motivasi memegang peranan penting di mana sebagai hamba Allah manusia hendaknya berusaha memenuhi kebutuhan hidupnya dalam rangka ibadah kepada Allah sebagaimana firman Allah, “Tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk mengandi kepada-Ku”. Dalam reali-tasnya, tidak setiap manusia berupaya untuk memenuhi kebutuhan hidup-nya demi pengabdian kepada Allah. Sebagian manusia ada yang mo-tivasinya semata untuk menumpuk kekayaan dan memuaskan hawa nafsunya. Mereka ini tergolong kepada tingkatan nafsu ‘amarah. Sebagian lagi ada yang memiliki motivasi untuk memuaskan hasrat duniawinya namun terkadang is sadar akan kebutuhan spiritualnya. Mereka ini termasuk kepada jenis manusia yang masih labil, yakni dalam tarap perjuangan antara nafsu material dan nafsu spiritual. Inilah golongan manusia yang berada pada tingkatan lawwamah. Sedangkan sebagian ma-nusia menjadkan hidupnya semata-mata untuk mencapai ridha Tuhan. Kenikmatan yang ingin diraihnya se-mata kenikmatan spiritual. Inilah golongan manusia yang telah men-capai nafsu mutmainnah.
Dalam ekonomi Islam, diajarkan agar pemenuhan kebutuhan ekonomi ditujukan untuk memenuhi ridha Allah dan menolong sesama manusia. Oleh karena itu, mengakumulasi ke-kayaan sebanyak-banyaknya hanya untuk pemuasan kepentingan sendiri dilarang dalam Islam. Sifat serakah merupakah salah satu sifat tercela. Sebaliknya, Islam mengajarkan agar mengeluarkan sebagian harta yang dimilikinya untuk kepentingan sesama baik melalui zakat, infak, shadaqah dan sebagainya sehingga kekayaan tidak terakumulasi pada segelintir orang saja. Dan hanya orang-orang yang telah mencapai tingkatan eksistensi mutmainnah-lah yang me-miliki kesadaran untuk mendis-tribusikan sebagian hartanya untuk kepentingan orang lain tentu dengan niat dan motivasi untuk mendapatkan ridha Allah dan mencapai keba-hagiaan hakiki, yakni kebagiaan spiritual. Tanpa ada motivasi pada level tinggi seperti ini, maka manusia akan senantiasa dihinggapi oleh sifat serakah yang merupakan cirri nafsu amarah. Dengan motivasi untuk mencapai kebahagiaan hakiki dengan cara menolong orang lain yang membutuhkan maka kekayaan akan terdistribusikan secara merata. Prin-sip pemerataan inilah yang diajarkan oleh Islam dalam berekonomi sehingga diharapkan dapat mengang-kat derajat kaum miskin dan papa dari kesulitan ekonomi.
Kesimpulan
Dengan memperhatikan tingkatan eksistensi manusia dan kaitannya dengan motivasi yang berbeda-beda pada setiap tingkatan itu, maka se-orang manajer hendaknya dapat memberikan kepuasan kepada setiap karyawamannya sesuai dengan ting-katan eksistensi mereka. Namun demikian, hendaknya seorang mana-jer senantiasa mendorong dan mem-bangun jiwa dan motivasi para karya-wannya agar berupaya mencapai tingkatan eksistensi dan motivasi yang lebih tinggi dan menuju ke tingkatan kesempurnaan eksistensi (Mutmainah). Sehingga dapat men-ciptakan lingkungan organisasi di mana setiap individu memiliki dapat mewujudkan kebajikan dan kesem-purnaan hidupnya sehingga pada akhirnya akan tercipta lingkungan organisasi yang damai, sejahtera baik secara fisologis, material, mental, intelektual dan spiritual. Di sinilah, kita mengetahui dan memahami peran iman/agama dalam memba-ngun motivasi manusia dengan mem-perhatikan tingkatan eksistensi manu-sia menurut pandangan Islam.
Islam mengajarkan agar menge-luarkan sebagian harta yang dimili-kinya untuk kepentingan sesame baik melalui zakat, infak, shadaqah dan sebagainya sehingga kekayaan tidak terakumulasi pada segelintir orang saja. Dan hanya orang-orang yang telah mencapai tingkatan eksistensi mutmainnah-lah yang memiliki kesadaran untuk mendistribusikan sebagian hartanya untuk kepentingan orang lain tentu dengan niat dan motivasi untuk mendapatkan ridha Allah dan mencapai kebahagiaan hakiki, yakni kebagiaan spiritual.
Daftar Rujukan
Ali, A. (2005), Islamic Perspectives on Management and Organization, Edward Elgar,Cheltenham.
Ali, I. (1989), Nahjul Balagah, Dar Alkitab Al-Lubnani, Beirut (trans. and edited by F. Ebeid).
Al-Jasmani, A.A. (1996), The Psychology of Quran, Arab Scientific Publishers, Beirut.
Allport, G. (1954), The Nature of Prejudice, Addison-Wesley, Cambridge, MA.
Benefiel, M. (2003), “Irreconcilable foes: the discourse of spirituality and the discourse of organi-zational science”, Organization, Vol. 10 No. 2, pp. 383-91.
Erikson, E. (1964), Childhood and Society, Norton, New York, NY.
Garcia-Zamor, J.C. (2003), “Workplace spirituality and organizational performance”, Public
Administration Review, Vol. 63 No. 3, pp. 355-63.
Glaachi, M. (2000), Studies in Islamic Economy, Dar An-Nafaes, Kuwait.
Graves, C.W. (1970), “Levels of existence: an open system theory of values”, Journal of
Humanistic Psychology, Vol. X No. 2, pp. 131-54.
Ibn Khaldun, A-R. (1989), The Magaddimah, Princeton Univer-sity Press, Princeton, NJ (trans. by
Franz Rosenthal and edited by N.J. Dawood).
Ikhwan-us-Safa (1999), Letters of Ikhwan-us-Safa, Vol. 1, Dar Sader, Beirut.
Izeeddin, N. (1953), The Arab World, Henry Regnery, Chicago, IL.
Kinni, T. (2003), “Faith at work”, Across the Board, Novem-ber/December, pp. 15-20.
Kohlberg, L. (1981), Essay on Moral Development. Volume I: The Philosophy of Moral.
Abbas J. Ali
Diterjemahkan dan Disadur oleh Yoyo Hambali
Abstract. Purpose – This paper seeks to shed light on Islamic perspectives on motivation and personality. It argues that original Islamic thinking in the seventh and eleventh centuries offer useful organizational insights for today’s organizations. Design/methodology/approach – This research contrasts an earlier Islamic writing on motivation and personality with contemporary humanistic theories on motivation. This study suggests that religion and spirituality can positively influence behavior and organizational performance. Findings – It shows that religion may provide a potentially useful framework within which to study the relationship between faith and work. It was documented that the Islamic profile of human existence (Mutamainna) challenges most of the prevailing management assumptions on human beings.
Practical implications – Opens up a new avenue for viewing the nature of human existence and dispels the widely held belief that human beings by nature are destined to engage in destructive behavior. Originality/value – The paper provides original conceptualizations and perspectives that are of value to researchers in the fields of spirituality and international comparative management. The paper offers a new perspective on how the degree of internalization of spiritual needs influences an individual’s behavior and expectations.
Pendahuluan
Persaingan pasar dan usaha untuk meningkatkan kinerja organisasi ki-nerja telah memotivasi manajer dan mahasiswa manajemen untuk men-cari perspektif dan pendekatan baru yang relevan dengan perkembangan organisasi. Salah satu bidang yang tampaknya menarik perhatian adalah spiritualitas. Bahkan, dalam beberapa tahun terakhir, sejumlah besar lite-ratur tentang spiritualitas terus ber-kembang. Pentingnya spiritualitas di tempat kerja yang berkaitan dengan hubungan antara iman dan kerja mendapatkan perhatian dan porsi yang signifikan baru-baru ini (Mitroff dan Denton, 1999; Weston, 2002). Meskipun hubungan antara spiritual-litas dan agama bukan topik tulisan ini, namun membahas keduanya membrikan manfaat karena hubung-an antara keduanya sama-sama me-nekankan pada nurani. Bahkan, dalam wacana keagamaan kata spiritualitas sering digunakan secara sinonim dengan agama dan iman (Benefiel, 2003; Reiner, 2007). Namun peneliti lainnya seperti McCormick (1994) berpendapat bahwa agama tidak identik dengan spiritualitas. Spiritua-litas, lebih cenderung hanya berhu-bungan dengan aspek-aspek intrinsik agama. Agama, oleh karena itu, muncul untuk merangsang para peneliti untuk menilai akurasi adanya konvensi umum mengenai pengaruh agama pada manajemen dan organisasi (Weaver dan Agle, 2002). Para penulis ini menegaskan bahwa peran agama yang lebih besar dalam identitas diri manusia adalah peran agama dalam member harapan pada individu.
Pentingnya hubungan antara aga-ma dan manajemen semakin tumbuh dikaitkan dengan semakin mening-katnya jumlah manajer yang secara terbuka menyatakan agama dalam praktek bisnis mereka (Kinni, 51 2003; Weaver dan Agle, 2002). Dalam dunia bisnis saat ini, perusahaan besar seperti Ford, Texas Instruments, dan Merrill Lynch telah menunjukkan minat yang lebih besar terhadap peran agama di tempat kerja (Kinni, 2003). Agama dan spiritualitas semakin dalam dunia bisnis berguna dalam meningkatkan tanggung jawab sosial (social responsible) dan mem-berikan motivasi serta inspirasi baru bagi para karyawan dan manajer perusahaan (Garcia-Zamor, 2003). Secara tradisional, hubungan agama dalam pembangunan ekonomi dan etos kerja, serta dampak agama ter-hadap budaya dan kinerja organisasi secara intensif diperdebatkan dalam konteks Kristen dan Yudaisme. Selain Kristen dan Yudaisme (Yahudi), Islam hamper diabaikan dalam literature manajemen. Padahal Islam mena-warkan perspektif yang unik dalam hal menjaga keseimbangan kerja dan hidup dalam menjalankan kegiatan organisasi. Sejak dimulai pada tahun 610, Islam telah menawarkan per-spektif yang unik mengenai dunia kerja dan manajemen. Kaum Muslim awal memiliki artikulasi etika dan perilaku kerja yang diperkuat dengan iman sehingga mempercepat peru-bahan sosial ekonomi di Jazirah Arabia yang merupakan tempat lahirnya Islam serta di luar Arab. Perspektif Islam mengenai hubungan iman dan kerja memberikan makna makna positif yang masih relevan dengan pemikiran kontemporer saat ini. Sejak awal kemunculan dan perkembangan Islam pengusaha Mus-lim didorong oleh ajaran Islam men-jadi orang yang sukses dalam mem-bangun dan mengorganisir industri, perdagangan, perusahaan atau gilda. (Izeeddin, 1953). Penekanan yang berorientasi pada tanggung jawab, kesempurnaan dan kerja keras, ber-lomba-lomba dalam kebaikan dan menghormati keanekaragaman serta memusatkan kerja dan usaha untuk meningkatkan kesejahteraan hidup baik kesejahteraan individu maupun sosial (Ali, 2005).
Imam Ali (598-661A.D.) mene-gaskan bahwa kesejahteraan masya-rakat dan negara bergantung pada apa yang dilakukan pengusaha di pasar. Dia menegaskan bahwa mes-kipun pengumpul pajak, hakim, ad-ministrator, agen pemerintah, dan tentara memainkan peran penting
dalam negara, namun tak satu pun dari mereka, "dapat melakukannya tanpa pedagang dan pengusaha yang membangun dan memelihara fasilitas pasar, di mana birokrat pemerintah sendiri tidak dapat melakukannya. Karena itu, pengusaha, pedagang dan pekerja memiliki kedudukan istimewa serta prestise yang tinggi daripada birokrat pemerintah. Dalam konteks kerja dan motivasi, nampaknya ada hubungan anatara kegiatan kegiatan ekonomi dan kebutuhan akan rasa aman dalam masyarakat. Banyak sabda Nabi Muhammad saw. dan para sahabtnya yang berkaitan dengan dasar-dasar membangu perusahaan dan praktek organisasi. Islam menekankan bahwa "kerja adalah ibadah" dan merupakan kesempurnaan religiusitas seseorang (takwa) sebagaimana disabdakan Nabi, "Allah memberkati para pekerja yang terus belajar dan menyem-purnakan profesinya”. Demikian pula, Imam Ali menyatakan, "bertahan dalam bekerja merupakan kemuliaan dan kegagalan dalam menyem-purnakan pekerjaan sedangkan anda mendapatkan upah dari pekerjaan anda, maka itu merupakan kezaliman pada diri anda sendiri. .” Dengan kata lain, imam Ali sangat menghormati orang yang menyempurnakan peker-jaanya. Dan bila seseorang tidak mampu menyempurnakan pekerjaan sedangkan ia mendapatkan upah, maka orang itu dianggap telah menganiaya dirinya sendiri. Beliau juga menambahkan bahwa kemis-kinan dapat meniadakan kehormatan diri. Dalam Al-Quran Surat Al-Baqarah (2):275 Allah memerintahkan Muslim untuk terus bekerja kapanpun dan di mana pun. Allah SWT menyatakan, "Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” Demikian juga, Nabi Muhammad mengajarkan bahwa pedagang harus melakukan tugas-tugas yang tidak hanya secara moral diperlukan, tetapi yang penting untuk kelangsungan hidup suatu masyara-kat. Dia menyatakan, "Aku memuji para pedagang karena mereka adalah khalifah Allah di muka bumi dan hamba Allah yang beriman. Imam Ali menyatakan dalam suratnya kepada Gubernur Mesir menjaga para peda-gang dan pengusaha/pengrajin jika menetap dan bepergian. Mereka memberikan manfaat dalam penye-diaan barang yang mereka bawa melalui darat dan laut, gunung dan lembah. Karena itu mereka harus dijaga keamanannya. Para pedagang dan pengusaha itulah yang menjamin Merawat para pedagang dan peng-rajin, dan menjamin kesejahteraan mereka apakah mereka menetap atau bepergian, atau bekerja sendiri. Mereka adalah manfaat dan penyedia barang, yang mereka bawa dari jauh melalui laut atau darat, melewati gunung dan lembah. Karena itu, mereka harus dijaga keamananannya karena merekalah yang menjamin kesejahteraan manusia di muka bumi.
Bahkan dekade kemudian, para cendekiawan Muslim memiliki perha-tian terhadap dunia kerja dan bisnis. Misalnya, Ibnu Khaldun (1989, hal 273), sosiolog Arab abad perte-ngahan, berpendapat bahwa terlibat dalam usaha ini melayani empat tujuan: memfasilitasi kerjasama dan saling pengertian antara manusia, memuaskan kebutuhan masyarakat, meningkatkan kekayaan dan dan mendorong pertumbuhan peradab-an. Sebelumnya, Ikhwan-us-Safa (Kelompok Persaudaraan Suci), salah satu kelompok filsafat dan tasawuf dalam Islam, pada abad kesepuluh menggunakan istilah sesuai dengan kategorisasi manajemen dan perilaku organisasi modern. Mereka menun-jukkan bahwa keterlibatan dalam perdagangan dan manufaktur me-layani keperluan fisik, psikologis, sosial, dan spiritual. (Risalah Ikhwan al-Shafa, Vol. 1, p. 286), Ikhwan-us-Safa menggarisbawahi pentingnya kerja, sebagaimana yang mereka diuraikan untuk mengejar kegiatan usaha: pengentasan kemiskinan; me-motivasi orang untuk menjadi giat dan terlibat secara kreatif dalam menjalankan profesi; melengkapi jiwa manusia dengan berbagai aneka ragam pengetahuan, mewujudkan sopan, mendayagunakan ide-ide, membangun sikap dan perbuatan yang bertanggung jawab; dan mencapai kesejakteraan. Ikhwan-us-Safa juga menawarkan argument yang kuat untuk menghormati semua jenis pekerjaan sebagai tugas ter-hormat dan kesempurnaan kerja sebagai tindakan yang paling diberkati oleh Allah. Ikhwan-us-Safa juga menggarisbawahi dimensi spiritual dalam pekerjaan selain untuk meme-nuhi kewajiban agama. Mereka mengklasifikasikan kebutuhan manu-sia ke dalam empat kategori (spiritual fisiologis, psikologis, sosial, dan etik). Pemikiran Ikhwan al-Shafa meru-pakan pemikiran yang canggih pada zamannya dan sesuai dengan teori Maslow dan Alderfer. Oleh karena itu, tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengkaji tingkatan eksistensi dan motivasi dalam pandangan Islam Pendekatan ini menawarkan pers-pektif baru, menantang dan orisinal pada isu-isu yang penting bagi penciptaan lingkungan kerja yang sehat. Selanjutnya, studi ini mena-warkan analisis kritis kompleksitas manajemen dalam era pluralitas agama dan budaya.
Menurut tradisi Islam, manusia memiliki pilihan tak terbatas untuk melakukan perbuatannya dalam hi-dup. Seorang pemikir Iran Ali Shariati (1979, hal 92) berpendapat bahwa manusia ditarik menuju "arah yang tak terbatas," di mana manusia terdiri dari unsur tanah liat (fisik) dan ruh Allah. Unsur fisik ini dipaksa untuk taat kepada ruh yang ditiupkan. Sehingga selama manusia hidup ter-jadi pertempuran antara dua keku-atan yaitu kekuatan jasmani (fisik) dan kekuatan rohani (spiritual). Per-temupran antara dua kekuatan ini terjadi dalam upaya menuju kesem-purnaan manusia. Kesempurnaan yang diinginkan adalah agar manusia menjadi makhluk yang luhur budinya. Berbeda dengan teori Maslow sifat manusia dalam pandangan Islam bersifat kompleks karena manusia terdiri dari unsur fisik dan spiritual. Namun Allah menganugerahkan ma-nusia dengan kehendak bebas) dan pengetahuan (memberi orang itu bakat untuk mengetahui dan mema-hami kompleksitas alam semesta).
Para sarjana Islam karenanya menyimpulkan bahwa ada lima kate-gori umum kebutuhan manusia: fisio-logis, material, psikologis, spiritual dan mental atau intelektual (Al-Jasmani, 1996; Glaachi, 2000; Nusair, 1983; Syari'ati, 1979). Fisiologis dan material berkaitan dengan kebuthan fisik sedangkan psikologis, spiritual dan mental/intelektual berkaitan dengan kebutuhan rohani. Kebutuhan fisiologis berupa kebutuhan makanan dan tempat tinggal. Pemenuhan kebuituhan ini pentingnya dan dijamin oleh Islam sejak era Rasu-lullah paling tidak ke tingkat pemenuhan kebutuhan minimum. Dan kebutuhan ini harus dipenuhi oleh negara. Kebutuhan akan materi berupa kekayaan dan kenikmatan ekonomi juga diakui. Adapun kebu-tuhan psikologis seperti rasa cinta, rasa takut dan kebutuhan emosi lainnya. Adapun kebutuhan rohani berfokus pada iman, keharmonisan hidup, pemenuhan tujuan hidup secara spiritual. Secara normative, Islam menekankan keseimbangan (balance) dalam pemenuhan kelima kategoro kebutuhan tersebut. Hamba Allah harus berjuang untuk meme-nuhi berbagai kebutuhan tersbut sebagai konsekuensi khalifah Allah, mencari kebajikan dan kesempurnaan hidup. Nabi Muhammad pernah berkata, "Setiap orang mempunyai kewajiban terhadap Allah, diri sendiri, dan keluarga; dan hendaknya memberikan perhatian kepada setiap kewajiban itu. (Dikutip dalam Glaachi, 2000, hal 59). Al-Qur’an menegaskan bahwa Allah akan mengangkat derajat orang-orang yang beriman dan berilmu pada beberapa derajat (QS. 58:11) Kebutuhan spiritual merupakan faktor potensial yang memungkinkan orang-orang yang menginternalisasi dirinya dalam memenuhi kebutuhan hidup secara spiritual. Dalam Islam eksistensi manusia juga diakui dengan adanya kehendak bebas (free will) di mana dalam memenuhi kebutuhan hidup-nya, manusia dinugerahi akal untuk memilih mana yang baik dan mana yang buruk. Kehendak bebas itu menjadikan manusia makhluk yang tidak terbatas dalam mengejar kesempurnaan hidupnya. Dengan demikian, keyakinan agama mena-warkan jalan untuk memahami sifat dan motivasi manusia. Baru-baru ini berkembang minat pada agama dan spiritualitas di tempat kerja mem-buktikan potensi ini. Dalam hal hubungan antara agama dan iman ajaran Islam memandang agama seba-gai sarana untuk melayani urusan duniawi dan ukhrawi.
Tingkatan Eksistensi dan Motivasi
Kami (penulis) menyarankan bah-wa agama secara intrinsik menye-diakan hubungan yang kuat antara penilaian dan perilaku. Secara khusus, Weaver dan Agle menganjurkan bahwa orang-orang yang berorientasi intrinsik memperlakukan agama ke-percayaan dan praktek sebagai tujuan itu sendiri. Sebaliknya, orang yang berorientasi ekstrinsik pandangan agama dalam hal kegunaannya-sarana untuk memperoleh manfaat lain. Oleh karena itu, individu yang termotivasi secara intrinsik lebih mungkin untuk mematuhi bertanggung jawabnya dan peka terhadap etika universal. Sedangkan keberagamaan secara ekssentrik melakukan pengalaman agama karena adanya motivasi lain. Sigmund Freud (1856-1939), menya-takan bahwa dalam diri manusia senantiasa ada pertempuran anatar unsure ID, Ego, dan Super Ego. Id merupakan bagian bawah sadar manusia, Ego meruakan realitas fisik dan sosial sedangkan Super Ego merupakan alat kontrol berupa nilai yang ada pada manusia. Sedangkan Erikson (1964), menjelaskan berapa tahap perkembangan manusia yang dapat mempengaruhi eksistensinya, yaitu mulai tahap bayi, masa kanak-kanak awal, masa kanak-kanak khir dan remaja, dewasa awal, dewasa dan usia menengah, dan usia tua. Pada setiap tahap, orang menghadapi masalah dan kesulitan yang berbeda. Maslow dan Graves, meskipun pemikiran mereka bersifat sekuler,
memiliki beberapa persamaan dengan pemikiran Islam dalam hal tingkat keberadaan manusia. Hal ini terutama berlaku dalam penekanan mereka pada potensi manusia dan konsep bahwa pertumbuhan dan regresi adalah aspek normal dari keberadaan manusia. Dalam konteks Islam, ada empat tingkat keberadaan.. Quran (12:53, 75:2, 89:27-30) menentukan dan rincian tingkat eksistensi. Dalam Al-Qur’an manusia itu dikatakan memiliki jiwa amarah, jiwa lawamah, mutmainah, dan jiwa rodiyah-mardi-yah. Jiwa amarah cenderung pada mementingkan ego dan cenderung pada keburukan. Jiwa lawamah me-rupakan jiwa yang labil. Jiwa mut-mainah merupakan jiwa yang tenang (stabil). Sedangkan jiwa rodiyah-mardiyah merupakan jiwa yang ridha dan diridahi oleh Allah SWT. Tingkatan jiwa ini akan mempe-ngaruhi motivasi manusia dan tingkat spiritual manusia. Makin tinggi tingkatan jiwanya motivasinya makin murni dan tingkat spiritulnya makin tinggi. Setiap tingkatkan itu akan menentukan tingkat perubahan dan kemajuan manusia. Setiap tingkat itu juga menentukan nilai, sikap, dan perbuatan manusia. Dalam Al-Qur’an digambarkan ketika Musa bertanya kepada Samiri mengapa membuat patung lembu dari emas, maka Samiri menjawab “jiwa saya mendorong saya (untuk membuat patung anak lembu dari emas "(20:96). Demikian pula, dalam Quran, ada cerita tentang bagaimana Yusuf dikhianati oleh saudara-saudaranya dan meninggal-kan dia di dalam sumur. Saudara-saudara mengatakan kepada ayah mereka, Yakub, bahwa Yusuf telah dibunuh oleh serigala. Yakub men-jawab: "Sebenarnya dirimu sendirilah (jiwa) yang memandang baik per-buatan (yang buruk) itu; Maka kesabaran yang baik Itulah (kesabaranku dan Allah sajalah yang dimohon pertolongan-Nya terhadap apa yang kamu ceritakan." (12:18). Dalam kasus ini, saudara orang-orang ini, yang Samiri dan Yusuf, bertindak dengan cara yang akhirnya menghambat keterlibatan organisasi mereka di masa mendatang yang optimal. Imam Ali, menggambarkan sifat seseorang pada tahap ini:
Jika manusia mematuhi nafsu, dan pada tingkat ini ia jelas tidak memiliki kendali atas mereka. Ketika ia memiliki kesempatan untuk me-muaskan hasrat nafsunya dan ia pun kehilangan kesabarannya. Ia murah hati dalam berbicara tetapi kikir dalam tindakan. Dia bersaing untuk urusan yang sementara (fana) dan melupakan urusan yang abadi. Dia merasa terbebani dalam melak-sanakan tugas, senang dipuji dan marah bila dikritik dan menghabiskan hidupnya dengan orang kaya dan melupakan orang-orang miskin. Mereka takut kepada orang yang dimuliakan dengan harta tetapi tidak takut kepada orang yang taat kepada Allah. Hal ini dapat disimpulkan bahwa keasyikan utama dari sese-orang di tingkat ini adalah untuk mengejar kepentingan pribadi. Arti-nya, orang mungkin memiliki kappa-sitas mental untuk membedakan antara baik dan buruk, tetapi mereka tidak memiliki kapasitas untuk meng-integrasikan kebutuhan mereka dengan lingkungan mereka. obsesi mereka dengan kepentingan pribadi menghambat mereka dari rasio-nalitas. Imam Ali berpendapat bahwa pada tahap ini orang merasa "sulit untuk menahan dorongan jiwanya terhadap godaan dan bergelimang dalam dosa dan penderitaan. Tingkat ini merupakan tingkatan eksistensi di mana manusia berada pada jiwa amarah (nafsu ‘amarah) yang sangat rawan berbuat jahat. Keadaan seperti ini disebabkan oleh kurangnya inter-nalisasi keyakinan spiritual.
Pada tingkatan kedua, jiwa lawamah terjadi pertempuran antara gairah nafsu dunia dan dorongan spiritual Pada tahap ini, manusia sadar akan kejahatan. Ada sebuah perjuangan antara baik dan buruk. Pada tingkat ini manusia masih berpeluang melakukan kejahtan dan agresi tetapi sadar akan perbuatan buruknya sehingga menimbulkan rasa takut dan cemas. Dalam Al-Qur’an dinyatakan, “Aku bersumpah dengan jiwa yang Amat menyesali (dirinya sendiri) (QS. Al-Qiyamah (75):2). Dan dalam ayat 14-15 Allah menyatakan, “bahkan manusia itu menjadi saksi atas dirinya sendiri[“ Dalam tingkatan eksistensi, manusia mencela dirinya sendiri karena adanya kesadaran akan perbuatan buruk yang dilakukannya. Ini adalah tahap menuju tingkatan ketiga yang disebut nafsu muth-mainnah (keadaan jiwa yang stabil/tenang). Pada tingkatan ini, manusia sudah secara efektif mena-han keinginan jiwanya melalui kejernihan pikiran. Orang-orang pada tingkat ini sensitif terhadap standar moral dan etika, menyadari kele-mahan dirinya, menahan egoism dan perbuatan jahat sehingga mencapai kesempurnaan hidup melalui aktua-lisasi dan kepauasan spiritual.
Imam Ali dan motivasi menjelaskan bahwa orang-orang pada tahap ini: dalam Islam Dicirikan oleh semua sikap yang mulia: mereka berbicara kebenaran, berpakaian sopan, dan berperilaku rendah hati. Mereka tidak terguncang oleh penderitaan dan kesenangan. Mereka tidak puas dengan prestasi kecil, dan tidak menganggap apa saja yang mereka lakukan sebagai cukup. Ia tidak merasa gelisah dengan urusan keduanwin, tetapi ia merasa gelisah jika jiwanya tidak taat kepada-Nya. Dia peduli terhadap urusan yang abadai dan membenci apa yang sementara. Ia senantiasa menolong orang yang kesusahan dan tenang menghadapi keslutitan hidup. Jiwanya penuh rasa syukur pada saat bahagian dan tidak merasa terganggu saat ditimpa kesusasahan. Namun ia sangat menderita bila melihat penderitaan orang lain sebaliknya ia tidak peduli dengan penderitaan yang menimpa dirinya.
Dalam bahasa Ali Shariati, mereka ini telah memenuhi kapasitas manusia yang mementingkan roh dan keda-laman hidup. Tahap mutmainah memiliki tanggung jawan dan komit-men dalam keterlibatan intelektual dan sosial dalam pencapaian ke-sempurnaan hidup dan kebajikan spiritual.
Dalam perspektif Islam, tingkatan Mutamainah inilah yang harus dicapai untuk selanjutnya menuju kepada tingkatan yang sempurna (rodhiyah-mardiyah), yaitu jiwa yang tulus ikhlas dalam menerima apapun takdir Allah SWT. Dalam perspektif Islam per-juangan untuk menuju ksemprnaan jiwa itu merupakan perjuangan yang terus-menerus.
Dalam konteks manajemen jiwa yang sempurna inilah yang dibu-tuhkan di mana akan menjadi energy yang efektif untuk senantiasa mewujudkan kesempurnaan visi dan tujuan dari organisasi dengan nilai-nilai kebajikan yang sempurna. Na-mun demikian, harus diakui bahwa setiap manusia memiliki tingkatan eksistensi yang berbeda-beda dan bertingkat-tingkat. Dengan tingkatan pengetahuan dan pemahanam akan eksistensi ini para manajer harus mengembangkan berbagai strategi yang efektif menangani karyawan sesuai dengan tingkatan eksistensi mereka. Pada tingkatan pertama (amarah) orang seseorang termotivasi oleh dorongan untuk terlibat dalam godaan demi kesenangan pribadi. Tingkatan Lawamah berorientasi pada reward karena itu seorang manajer harus memberi penekanan pada langkah-langkah yang fleksibel dan menjaga akuntabilitas bawahannya, melakukan pengawasan terhadap kinerja mereka.
Pada tingkatan mutmainah sese-orang dimotivasi oleh dorongan intelektual dan rohani. Sedangkan pada tingkatan amarah motivasi utama pada kebutuhan fisiologis dan material. Pada tingkatan lawamah kebutuhan fisiologis dan material masih ada tetapi sudah ada dorongan spiritual dan intelektual.
Relevansinya Dengan Ekonomi Islam
Rasulullah saw. bersabda bahwa setiap perbuatan tergantung kepada niat. Dalam niat terdapat motivasi di mana setiap orang berbeda dalam motivasinya tergantung kepada ting-katan eksistensinya. Demikian pula dalam memenuhi kebutuhan hidup-nya. Dalam ekonomi Islam motivasi memegang peranan penting di mana sebagai hamba Allah manusia hendaknya berusaha memenuhi kebutuhan hidupnya dalam rangka ibadah kepada Allah sebagaimana firman Allah, “Tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk mengandi kepada-Ku”. Dalam reali-tasnya, tidak setiap manusia berupaya untuk memenuhi kebutuhan hidup-nya demi pengabdian kepada Allah. Sebagian manusia ada yang mo-tivasinya semata untuk menumpuk kekayaan dan memuaskan hawa nafsunya. Mereka ini tergolong kepada tingkatan nafsu ‘amarah. Sebagian lagi ada yang memiliki motivasi untuk memuaskan hasrat duniawinya namun terkadang is sadar akan kebutuhan spiritualnya. Mereka ini termasuk kepada jenis manusia yang masih labil, yakni dalam tarap perjuangan antara nafsu material dan nafsu spiritual. Inilah golongan manusia yang berada pada tingkatan lawwamah. Sedangkan sebagian ma-nusia menjadkan hidupnya semata-mata untuk mencapai ridha Tuhan. Kenikmatan yang ingin diraihnya se-mata kenikmatan spiritual. Inilah golongan manusia yang telah men-capai nafsu mutmainnah.
Dalam ekonomi Islam, diajarkan agar pemenuhan kebutuhan ekonomi ditujukan untuk memenuhi ridha Allah dan menolong sesama manusia. Oleh karena itu, mengakumulasi ke-kayaan sebanyak-banyaknya hanya untuk pemuasan kepentingan sendiri dilarang dalam Islam. Sifat serakah merupakah salah satu sifat tercela. Sebaliknya, Islam mengajarkan agar mengeluarkan sebagian harta yang dimilikinya untuk kepentingan sesama baik melalui zakat, infak, shadaqah dan sebagainya sehingga kekayaan tidak terakumulasi pada segelintir orang saja. Dan hanya orang-orang yang telah mencapai tingkatan eksistensi mutmainnah-lah yang me-miliki kesadaran untuk mendis-tribusikan sebagian hartanya untuk kepentingan orang lain tentu dengan niat dan motivasi untuk mendapatkan ridha Allah dan mencapai keba-hagiaan hakiki, yakni kebagiaan spiritual. Tanpa ada motivasi pada level tinggi seperti ini, maka manusia akan senantiasa dihinggapi oleh sifat serakah yang merupakan cirri nafsu amarah. Dengan motivasi untuk mencapai kebahagiaan hakiki dengan cara menolong orang lain yang membutuhkan maka kekayaan akan terdistribusikan secara merata. Prin-sip pemerataan inilah yang diajarkan oleh Islam dalam berekonomi sehingga diharapkan dapat mengang-kat derajat kaum miskin dan papa dari kesulitan ekonomi.
Kesimpulan
Dengan memperhatikan tingkatan eksistensi manusia dan kaitannya dengan motivasi yang berbeda-beda pada setiap tingkatan itu, maka se-orang manajer hendaknya dapat memberikan kepuasan kepada setiap karyawamannya sesuai dengan ting-katan eksistensi mereka. Namun demikian, hendaknya seorang mana-jer senantiasa mendorong dan mem-bangun jiwa dan motivasi para karya-wannya agar berupaya mencapai tingkatan eksistensi dan motivasi yang lebih tinggi dan menuju ke tingkatan kesempurnaan eksistensi (Mutmainah). Sehingga dapat men-ciptakan lingkungan organisasi di mana setiap individu memiliki dapat mewujudkan kebajikan dan kesem-purnaan hidupnya sehingga pada akhirnya akan tercipta lingkungan organisasi yang damai, sejahtera baik secara fisologis, material, mental, intelektual dan spiritual. Di sinilah, kita mengetahui dan memahami peran iman/agama dalam memba-ngun motivasi manusia dengan mem-perhatikan tingkatan eksistensi manu-sia menurut pandangan Islam.
Islam mengajarkan agar menge-luarkan sebagian harta yang dimili-kinya untuk kepentingan sesame baik melalui zakat, infak, shadaqah dan sebagainya sehingga kekayaan tidak terakumulasi pada segelintir orang saja. Dan hanya orang-orang yang telah mencapai tingkatan eksistensi mutmainnah-lah yang memiliki kesadaran untuk mendistribusikan sebagian hartanya untuk kepentingan orang lain tentu dengan niat dan motivasi untuk mendapatkan ridha Allah dan mencapai kebahagiaan hakiki, yakni kebagiaan spiritual.
Daftar Rujukan
Ali, A. (2005), Islamic Perspectives on Management and Organization, Edward Elgar,Cheltenham.
Ali, I. (1989), Nahjul Balagah, Dar Alkitab Al-Lubnani, Beirut (trans. and edited by F. Ebeid).
Al-Jasmani, A.A. (1996), The Psychology of Quran, Arab Scientific Publishers, Beirut.
Allport, G. (1954), The Nature of Prejudice, Addison-Wesley, Cambridge, MA.
Benefiel, M. (2003), “Irreconcilable foes: the discourse of spirituality and the discourse of organi-zational science”, Organization, Vol. 10 No. 2, pp. 383-91.
Erikson, E. (1964), Childhood and Society, Norton, New York, NY.
Garcia-Zamor, J.C. (2003), “Workplace spirituality and organizational performance”, Public
Administration Review, Vol. 63 No. 3, pp. 355-63.
Glaachi, M. (2000), Studies in Islamic Economy, Dar An-Nafaes, Kuwait.
Graves, C.W. (1970), “Levels of existence: an open system theory of values”, Journal of
Humanistic Psychology, Vol. X No. 2, pp. 131-54.
Ibn Khaldun, A-R. (1989), The Magaddimah, Princeton Univer-sity Press, Princeton, NJ (trans. by
Franz Rosenthal and edited by N.J. Dawood).
Ikhwan-us-Safa (1999), Letters of Ikhwan-us-Safa, Vol. 1, Dar Sader, Beirut.
Izeeddin, N. (1953), The Arab World, Henry Regnery, Chicago, IL.
Kinni, T. (2003), “Faith at work”, Across the Board, Novem-ber/December, pp. 15-20.
Kohlberg, L. (1981), Essay on Moral Development. Volume I: The Philosophy of Moral.
Artikel Atin
Al-Hawalah dan Relevansinya dengan
Perekonomian Islam Modern
Suprihatin
Abstract. The purpose of this paper is to describe al-hawalah and its relevance to modern Islamic economy. From this paper can be concluded that the application of al-Hawalah today still refer to the sources of Islamic law which allows transfer of debt payments. Some changes in placement and the addition of elements of al-Hawalah at this time because of differences of background of the development of al-Hawalah at this time with al-Hawalah at the beginning of its formation. The relevance of the concept of early al-Hawalah with modern Islamic economics lies in the functions of Islamic banks as part of the economic structure of modern Islam as channeling funds to communities whose position can be converted into Muhal Alaih as paying debts.
Pendahuluan
Dalam dunia perekonomian Islam modern saat ini, terdapat beragam akad transaksi keuangan yang dikembangkan di lembaga keuangan syariah. Di antara akad tersebut adalah al-Hawalah. Al-Hawalah me-rupakan salah satu entitas budaya Muslim pada masa awal Islam yang dimaksudkan untuk memenuhi janji dalam melunasi hutang karena secara tersirat dalam hutang piutang ter-kandung sebuah janji untuk mem-bayar hutang. Hal ini sesuai dengan surat al-Israa ayat 34 sebagai berikut :
“Dan janganlah kamu mendekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih baik (bermanfaat) sampai ia dewasa dan penuhilah janji; Sesungguhnya janji itu pasti diminta pertanggungan jawabnya.”
Dengan demikian, adanya unsur memenuhi janji dalam bentuk pembayaran hutang menjadikan al-Hawalah dalam perekonomian Islam memiliki dua fungsi yang bersifat si-multan dalam pelaksanaanya. Perta-ma, untuk menjamin terpenuhinya pertanggungjawaban pada Allah Swt. Kedua, memudahkan dan melindungi hak para pihak yang melakukan hutang piutang.
Keberadaan al-Hawalah sebagai salah satu entitas budaya Muslim pada masa awal Islam yang memilki tujuan mulia tersebut terus diper-tahankan dalam perekonomian Islam modern saat ini dengan beberapa modifikasi. Perubahan al-Hawalah tersebut tidak menyangkut pada dasar hokum kebolehan melakukan pengalihan pembayaran hutang, melainkan sebatas pada elemen-elemen al-Hawalah. Adapun factor yang menyebabkan adanya modifikasi al-Hawalah dikarenakan latar pene-rapan al-Hawalah saat ini berada dalam kebijakan makro yang berbeda dengan kebijakan makro pada awal saat dilahirkannya al-Hawalah.
Pada saat awal dilahirkannya, al-Hawalah dikembangkan pada masya-rakat tradisional yang belum me-ngenal lembaga perbankan. Sedang-kan pengembangan al-Hawalah pada saat ini memiliki kaitan erat dengan kebijakan makro yang diantaranya dikendalikan melalui lembaga perban-kan.
Adapun bentuk modifikasi al-Hawalah di lembaga perbankan sya-riah adalah menyangkut pengambilan fee dan posisi Muhil sebagai orang tidak terbebas dari hutang sebagai-mana pada masa awal praktik al-Hawalah. Adanya perubahan-peru-bahan ini berpotensi menimbulkan kesalahpahaman di antara ummat Islam yang belum mengetahui dasar-dasar pertimbangan dilakukannya modifikasi al-Hawalah di perbankan syariah.
Mengenal al-Hawalah dalam Fikih
Dalam Kitab al-Fiqh ‘ala al-Madzahibi al-Arba’ah yang ditulis oleh Abd al-Rahman al-Jaziri telah dijelaskan bentuk al-Hawalah secara antropologis maupun normative. Se-cara antropologis, al-Hawalah dapat ditemukan dalam bahasa sehari-hari yang dikembangkan dalam bahasa Arab. Al-Hawalah الحوالة)) adalah bentuk mashdar dari ا حا لة yang secara etimologi bermakna berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain. Adapun pengertian secara bahasa adalah memindahkan barang seperti memindahkan botol dari satu tempat atau tempat yang lain atau me-mindahkan hutang dari satu per-janjian hutang kepada perjanjian hu-tang yang lain. Sedangkan pe-ngertian secara normatif al-Hawalah adalah memindahkan hutang dari perjanjian hutang yang satu dengan perjanjian hutang yang lain dengan jumlah hutang yang sama. Sementara itu Wahbah az-Zuhaili dengan mengutip kitab al-Inayah mendefinisikan al-Hawalah sebagai perpindahan dari Ashil (Muhil) kepada Muhal Alaih (orang yang bertanggungjawab sete-lah adanya akad Hawalah).
Al-Hawalah sebagai ornament budaya masyarakat Arab pada masa awal Islam dalam melakukan peng-alihan pembayaran hutang menda-patkan justifikasi hokum melalui al-Qur’an dan al-Hadits. Al-Hawalah
mengandung nilai tolong menolong sebagaimana dijelaskan dalam surat al-Maidah ayat 2 sebagai berikut :
“ Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu melanggar syi'ar-syi'ar Allah, dan jangan melang-gar kehormatan bulan-bulan haram[390], jangan (mengganggu) binatang-bina-tang hadya dan binatang-binatang qalaa-id, dan jangan (pula) meng-ganggu orang-orang yang mengun-jungi Baitullah sedang mereka mencari kurnia dan keredhaan dari Tuhannya dan apabila kamu Telah menyelesaikan ibadah haji, Maka bolehlah berburu. dan janganlah sekali-kali kebencian(mu) kepada sesuatu kaum Karena mereka meng-halang-halangi kamu dari Masjidil-haram, mendorongmu berbuat aniaya (kepada mereka). dan tolong-me-nolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. dan bertakwalah kamu kepada Allah, Sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.”
Sedangkan dasar hukum lainnya yang secara rinci jelas mengarah pada pembolehan mengalihkan pembayar-an hutang adalah satu hadits yang dikutip oleh Ibn Rusyd dalam Kitab Bidayah al-Mujtahid sebagai berikut :
مطل الغني ظلم , وادا احيل احدكم علي غني فليستحل (اخرجه البخاري و احمد)
Penangguhan orang kaya (untuk tidak bayar hutang) itu aniaya, dan apabila salah seorang kamu dipin-dahkan kepada orang kaya, hendaklah ia menerimanya (HR. Bukhori dan Ahmad)
Berdasarkan pada kebolehan mengalihkan pembayaran hutang tersebut, para fuqaha salaf telah menyusun rukun dan syarat sebagai tanda sah dilakukannya al-Hawalah menurut agama.
Imam Syafii sangat rinci dalam mengemukakan rukun al-Hawalah yaitu ; Muhil, Muhal, Muhal Alaih, piutang Muhal ke Muhil, Hutang Muhil kepada Muhal Alaih dan yang terakhir adalah sighat. Adapun syarat al-Hawalah meliputi 6 syarat yang dapat diringkas menjadi 4 syarat yaitu kerelaan Muhil,Muhal, Muhal Alaih, piutang Muhal diketahui kadar maupun sifatnya, hutang Muhal Alaih bersifat lazim, kesamaan jumlah hutang muhil kepada Muhal dan piutang Muhil kepada Muhal Alaih.
Pemahaman al-Hawalah sebagai-mana dijelaskan di atas dapat dicontohkan sebagai berikut. Misal-nya Pihak Pertama meminjamkan sejumlah uang kepada Pihak Kedua, namun sebelumnya pihak pertama telah meminjamkan uang kepada Pihak Ketiga dengan jumlah pinjaman yang sama dengan pihak kedua. Dalam konteks praktik Hawalah pihak pertama dapat membuat perjanjian dengan Pihak Kedua dan Pihak Ketiga agar pihak ketiga dapat membayar hutang pihak pertama kepada pihak Kedua.
Secara garis besar praktik al-Hawalah dalam konsep dasar fikihnya sebagai berikut :
Sedangkan di kalangan fuqaha Hanafiyah mengemukakan rukun al-Hawalah sangat sederhana namun progresif yaitu sighat ijab dan Kabul. Ulama Hanafiah tidak mensyaratkan Muhal Alaih memiliki hutang kepada Muhil ) لا يسترط ان يكون للمحيل دين علي المحال عليه )
Sebagai salah satu bentuk per-janjian, al-Hawalah dapat berakhir dalam beberpa keadaan yaitu :
1. Karena dibatalkan atau fasakh
2. Hilangnya hak Muhal Alaih karena meninggal dunia atau bangkrut atau ia mengingkari adanya akad al-Hawalah sementara Muhal tidak dapat menghadirkan saksi
3. Jika Muhal Alaih telah melaksanakan kewajibannya kepada Muhal
4. Meninggalmua Muhal, se-mentara Muhal Alaih mewa-risi harta hawalah karena pewarisan merupakan salah satu sebab kepemilikan. Jika akad ini hawalah muqayya-dah, maka berakhirlah sudah akad hawalah.
5. Jika Muhal menghibahkan hartanya kepada Muhal Alaih
6. Jika Muhal menyedahkan harta al-Hawalah kepada Muhal Alaih
7. Jika Muhal menghapusbuku-kan kewajiban membayar hutang kepada Muhal Alaih
Pengembangan Al-Hawalah Dalam Perekonomian Islam Modern
Islam sebagai agama yang ber-pangkal pada keimanan pada Allah Swt., sistem ajarannya memiliki kemanfaatan di dunia dan akhirat secara simultan. Artinya ajaran Islam yang dikembangkan dengan baik didunia akan memiliki dampak positif tidak saja di dunia tetapi juga di akhirat sekaligus. Dalam iman, Se-orang Muslim/Muslimah tidak saja dituntut untuk mengetahui dzat Allah Swt., tetapi juga tunduk dan pasrah pada ketentuan Allah dalam setiap tindakannya, baik dalam bidang ibadah maupun muamalah.
Dalam hal ini, kita dapat menyak-sikan kekonsistenan para fuqaha salaf yang sangat luar biasa mengawal rambu-rambu kepatuhan terhadap ketentuan Allah ini melalui beberapa kaidah fikih sebagai berikut :
الاصل في العباد ا ت التوقيف
الاصل في المعا ملة الاباحة حتي يدل الدليل علي التحريمه
Keberadaan kaidah di atas menjelaskan pada kita tentang keha-rusan tiap tindakan Muslim/Muslimah dalam beribadah maupun bermua-malah tunduk pada ketentuan Allah Swt. yang diketahui baik melalui ayat kauniyah maupun qauliyah.
Dalam konteks muamalah , bentuk keterikatan tindakan Muslim/ Muslimah untuk patuh dalam keten-tuan Allah diantaranya dapat dilihat pada aplikasi al-Hawalah pada perekonomian Islam sejak pada masa nabi Muhammad hingga masa seka-rang. Namun, penenerapan al-Hawalah dalam perekonomian pada masa Nabi Muhammad berbeda dengan penerapannya pada pereko-nomian Islam modern saat ini. Pada masa Nabi Muhammad, al-Hawalah dilakukan dalam tataran mikro mau-pun makro yang diwarnai dan dipe-ngaruhi oleh perilaku individu dan nilai-nilai yang bersumber pada al-Qur’an maupun al-Sunnah. Pada masa perekonomian Islam modern saat ini, al-Hawalah juga diterapkan secara mikro maupun secara makro. Namun penerapan al-Hawalah secara makro dalam perekonomian Islam modern menuntut perluasan dasar hokum yang bisa saja tidak sesuai dengan struktur dasar al-Hawalah, dianta-ranya adalah prinsip-prinsip Bank Indonesia menyangkut liquiditas, ren-tabilitas dan solvabilitas dan Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/46/PBI/2005yang bertumpu pada Fatwa DSN- MUI No. 12/DSN-MUI/IV/2000 tentang Hawalah dan Fatwa DSN-MUI No. 58 /DSN-MUI/V/2007 tentang Hawalah bil ujroh
Konsekuensi diimplementasikan-nya al-Hawalah dalam system pere-konomian Islam modern pada akhirnya menuntut penyesuaian-pe-nyesuaian dengan ketentuan yang berlaku, seperti tidak terpenuhinya syarat Muhal Alaih memiliki hutang yang semisal dengan hutang Muhil ke Muhal sebagaimana dikemukakan ulama di kalangan Syafiiyyah dan dibolehkannya mengambil keuntung-an dalam bentuk fee jasa penagihan yang besarnya memperhatikan besar kecilnya resiko tidak tertagihnya hutang.
Hal ini diperkuat oleh pendapat M. Syafii Antonio, dalam bukunya Bank Syariah dari Teori ke Praktik, diantara manfaat diadopsinya al-Hawalah sebagai produk bank adalah :
1. Untuk menyelesaikan utang piutang secara cepat dan simultan
2. Tersedianya talangan dana untuk hibah bagi yang membutuhkan
3. Sebagai salah satu fee based income bagi bank syariah.
Analisis
Merujuk pada Hadits tentang dibolehkannya pengalihan pembayar-an hutang sebagaimana disebutkan di atas, maka menghidupkan al-Hawalah dalam perekonomian Islam modern tidak bertentangan dengan ketentuan Islam. Bahkan hal ini dapat dijadikan sebagai bentuk kemudahan (rukh-shoh) bagi orang yang memiliki hutang dan dalam keadaan kesulitan dalam membayar kewajibannya, te-tapi masih memiliki asset pada pihak lain. Maka untuk memastikan kewajibannya dalam membayar hutangnya pada pihak lain dapat melakukan al-Hawalah.
Dalam konteks ini, al-Hawalah dimaksudkan untuk memenuhi janji yang secara tersirat ada pada hutang piutang. Dalam al-Qur’an dijelaskan bahwa memenuhi janji merupakan salah satu perilaku yang mengandung kebaikan yang setara dengan perilaku-perilaku kebaikan lainnya seperti beriman pada Allah, Malaikat, Kita, Nabi membagikan harta yang disukainya pada kerabat dekat, anak yatim dsb., hal ini telah dijelaskan dal surat al-Baqarah : 177 sebagai berikut :
Bukanlah menghadapkan wajah-mu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi Sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari Kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang mene-pati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. mereka Itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka Itulah orang-orang yang bertakwa.
Dalam hal ini. adanya kesetaraan pemenuhan janji dalam hutang piu-tang dengan iman dan takwa me-nunjukkan bahwa melaksanakan al-Hawalah merupakan bagian dari keimanan dan ketakwaan yang bersifat sinergis. Bahwa seorang yang beriman pada Allah Swt. semestinya dapat menggerakkan ketakwaan dan menghasilkan akhlak mulia dalam bentuk memenuhi janji diantaranya dalam membayar hutang. Hubungan sinergis ini bersifat mengunci satu sama lain sehingga dapat mengha-silkan suatu gerak yang harmonis dalam orbitnya.
Dengan demikian, dalam perspek-tif mikro ekonomi, seorang Muslim atau Muslimah wajib membayar hutangnya baik dengan melakukan pembayaran sendiri maupun dengan melakukan al-Hawalah. Hal ini sesuai landasan normatif dan elemen-ele-men al-Hawalah sebagai salah satu entitas budaya yang pernah berkem-bang pada masa Nabi Muhammad dan sesuai dengan pemikiran mains-tream fikih di kalangan Syafiiyyah.
Implementasi al-Hawalah di perbankan syariah sebagaimana di-contohkan oleh Veithzal Rifai dan Andria Permata Veithzal sebagian besar memiliki kesesuaian dengan fikih di kalangan ulama Hanafiah. Kesesuaianya terletak pada posisi Muhal Alaih sebagai pembayar hu-tang pada Muhal tidak memiliki hutang pada Muhil. Sedangkan letak ketidaksesuaiannya terletak pada pengambilan fee dan posisi Muhil yang justru berhutang pada Muhal Alaih. Sedangkan jika ditinjau dari perspektif fikih di kalangan ulama Syafiiyyah, implementasi al-Hawalah di perbankan syariah tidak memiliki kesesuaian.
Nampaknya perbedaan yang ada hanya pada penempatan dan pe-nambahan elemen-elemen al-Hawalah. Terutama pada elemen Muhil yang memiliki posisi sebagai orang yang terbebas dari hutang menjadi orang yang memiliki hutang, elemen Muhal Alaih yang dalam fikih Syafiiyah memiliki hutang pada Muhil justru tidak memiliki hutang pada Muhil dan adanya penambahan elemen fee sebagai ujroh pengalihan hutang. Namun menyangkut tujuan implementasi al-Hawalah di per-bankan syariah sama dengan tujuan al-Hawalah pada konsep asalnya yaitu sebagai sarana pengalihan membayar hutang dan ini, tidak bertentangan dengan sumber hukum Islam. Dengan demikian dapat ditarik garis benang merah bahwa implementasi al-Hawa-lah pada system perekonomian Islam modern telah mengalami perubahan. Keadaan ini menimbulkan pertanyaan apakah perubahan al-Hawalah yang dilakukan pada saat ini dibolehkan?
Pada prinsipnya, budaya yang bisa mendapat legalitas syar’i adalah budaya yang berlaku secara tetap, dengan demikian budaya yang ber-ubah-ubah tidak akan mendapat lega-litas syar’i karena dapat menimbulkan kerancuan dalam pelaksanaannya kecuali ada penjelasannya.
Modifikasi al-Hawalah yang di-mplementasikan di bank syariah tidak menyangkut merubah dalil sebab hukum kebolehan mengalihkan pem-bayaran hutang didasarkan pada sumber hokum Islam tidak dapat dirubah secara mutlak. Sementara itu hokum yang mendasari penyusunan elemen-elemen al-Hawalah dilakukan berdasarkan pada pertimbangan waktu atau zaman sehingga masih memungkinkan untuk dirubah. Hal ini sesuai dengan kaidah yang berbunyi :
انه اختلاف عصر وزمان , لا اختلاف حجة وبرهان
Perubahan hukum itu hanya karena perbedaan zaman dan waktu, bukan karena perbedaan hujjah atau dalil.
Penerapan al-Hawalah di per-bankan syariah menemukan momen-tumnya pada fungsi bank sebagai jantung perputaran keuangan. Menu-rut Mudrajad Kuncoro, dalam bukunya Manajemen Perbankan, menjelaskan fungsi utama bank adalah :
1. Sebagai lembaga penghim-pun dana masyarakat dalam bentuk simpanan
2. Sebagai lembaga yang me-nyalurkan dana ke masyarakat dalam bentuk kredit dan pembiayaan (penulis)
3. Sebagai lembaga yang me-lancarkan transaksi perdagangan dan peredaran uang.
Dalam hal ini keberadaan fungsi bank sebagai agen penyalur dana ke masyarakat dan agen yang melan-carkan transaksi perdagangan dan peredaran uang tentu sangat dibu-tuhkan oleh masyarakat yang ingin menerima dana dari bank yang diantaranya digunakan untuk mem-bayar hutang. Fakta ini menunjukkan adanya relevansi antara konsep asal al-Hawalah sebagai pengalihan pem-bayaran hutang dengan fungsi bank syariah sebagai penyalur dana. Kondisi inilah yang memungkinkan dilakukannya konversi fungsi bank sebagai agen penyalur dana menjadi Muhal Alaih yang berfungsi mem-bayar hutang Muhil kepada Muhal dalam konteks al-Hawalah.
Sedangkan posisi Muhil yang tiidak bisa terbebas dari hutang karena ia menggunakan dana masya-rakat, sehingga ia berkewajiban untuk membayarnya juga. Sementara penarikan fee sebagai ujroh peng-alihan hutang dikaitkan dengan prinsip rentabilitas yang ada dalam bank sebagai badan usaha untuk mendapatkan keuntungan. Apabila keadaan ini bisa dipahami dan dapat dilaksanakan secara ajeg dalam system perekonomian Islam modern utamanya di bank syariah, maka hukum al-Hawalah di perbankan syariah dapat diterima, sesuai dengan kaidah العا دة المحكمة dengan beberapa pertimbangan.
Pertama, penerapan al-Hawalah di bank syariah tidak merubah dalil kebolehan pengalihan hutang. Kedua, entitas budaya al-Hawalah dalam for-mat baru tidak bertentangan de-ngan syar’I karena tidak mengandung unsur kezaliman dan kerusakan.
Kesimpulan
Setelah mengkaji keberadaan al-Hawalah dan dan pengembangannya dalam system Perekonomian Islam modern dapat disimpulkan bahwa :
1. Penerapan al-Hawalah saat ini tetap mengacu pada sumber hokum Islam yang membolehkan melakukan pengalihan pembayaran hutang
2. Beberapa perubahan penem-patan dan penambahan elemen al-Hawalah pada saat ini dikarenakan adanya perbedaan latar pengem-bangan al-Hawalah pada saat ini dengan al-Hawalah pada saat awal pembentukannya.
3. Relevansi konsep awal al-Hawalah dengan perekonomian Islam modern terletak pada adanya fungsi bank syariah sebagai bagian dari struktur perekonomian Islam modern sebagai penyalur dana ke masyarakat yang posisinya dapat dikonversi menjadi Muhal Alaih sebagai pembayar hutang.
Daftar Rujukan
Abd al-Rahman al-Jaziri, al-Fiqh ala al-Madzahibi al-Arba’ah, juz II, Dar al-Hadits al-Kohiroh
Ibn Rusyd, Bidayah al Mujtahid wa Nihayah al-Muqtashid, Maktabah Wa Matba’ah Karyata Putera Semarang
M. Syafii Antonio, Bank Syariah Dari Teori ke Praktik, Gema Insani Press Jakarta
Maimun Zubair, Formulasi Nalar Fikih ; Telaah Kaidah Fikih Konseptual, Kaki Lima, Khalista Surabaya
Mudrajad Kuncoro dan Suharjono, Manajemen Perbankan Teori dan Aplikasi, Fakultas Ekonomi UGM Yogyakarta
Veithzal Rifai dan Andria Permata Veithzal, Islamic Financial Management, Rajawali Press Jakarta
Perekonomian Islam Modern
Suprihatin
Abstract. The purpose of this paper is to describe al-hawalah and its relevance to modern Islamic economy. From this paper can be concluded that the application of al-Hawalah today still refer to the sources of Islamic law which allows transfer of debt payments. Some changes in placement and the addition of elements of al-Hawalah at this time because of differences of background of the development of al-Hawalah at this time with al-Hawalah at the beginning of its formation. The relevance of the concept of early al-Hawalah with modern Islamic economics lies in the functions of Islamic banks as part of the economic structure of modern Islam as channeling funds to communities whose position can be converted into Muhal Alaih as paying debts.
Pendahuluan
Dalam dunia perekonomian Islam modern saat ini, terdapat beragam akad transaksi keuangan yang dikembangkan di lembaga keuangan syariah. Di antara akad tersebut adalah al-Hawalah. Al-Hawalah me-rupakan salah satu entitas budaya Muslim pada masa awal Islam yang dimaksudkan untuk memenuhi janji dalam melunasi hutang karena secara tersirat dalam hutang piutang ter-kandung sebuah janji untuk mem-bayar hutang. Hal ini sesuai dengan surat al-Israa ayat 34 sebagai berikut :
“Dan janganlah kamu mendekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih baik (bermanfaat) sampai ia dewasa dan penuhilah janji; Sesungguhnya janji itu pasti diminta pertanggungan jawabnya.”
Dengan demikian, adanya unsur memenuhi janji dalam bentuk pembayaran hutang menjadikan al-Hawalah dalam perekonomian Islam memiliki dua fungsi yang bersifat si-multan dalam pelaksanaanya. Perta-ma, untuk menjamin terpenuhinya pertanggungjawaban pada Allah Swt. Kedua, memudahkan dan melindungi hak para pihak yang melakukan hutang piutang.
Keberadaan al-Hawalah sebagai salah satu entitas budaya Muslim pada masa awal Islam yang memilki tujuan mulia tersebut terus diper-tahankan dalam perekonomian Islam modern saat ini dengan beberapa modifikasi. Perubahan al-Hawalah tersebut tidak menyangkut pada dasar hokum kebolehan melakukan pengalihan pembayaran hutang, melainkan sebatas pada elemen-elemen al-Hawalah. Adapun factor yang menyebabkan adanya modifikasi al-Hawalah dikarenakan latar pene-rapan al-Hawalah saat ini berada dalam kebijakan makro yang berbeda dengan kebijakan makro pada awal saat dilahirkannya al-Hawalah.
Pada saat awal dilahirkannya, al-Hawalah dikembangkan pada masya-rakat tradisional yang belum me-ngenal lembaga perbankan. Sedang-kan pengembangan al-Hawalah pada saat ini memiliki kaitan erat dengan kebijakan makro yang diantaranya dikendalikan melalui lembaga perban-kan.
Adapun bentuk modifikasi al-Hawalah di lembaga perbankan sya-riah adalah menyangkut pengambilan fee dan posisi Muhil sebagai orang tidak terbebas dari hutang sebagai-mana pada masa awal praktik al-Hawalah. Adanya perubahan-peru-bahan ini berpotensi menimbulkan kesalahpahaman di antara ummat Islam yang belum mengetahui dasar-dasar pertimbangan dilakukannya modifikasi al-Hawalah di perbankan syariah.
Mengenal al-Hawalah dalam Fikih
Dalam Kitab al-Fiqh ‘ala al-Madzahibi al-Arba’ah yang ditulis oleh Abd al-Rahman al-Jaziri telah dijelaskan bentuk al-Hawalah secara antropologis maupun normative. Se-cara antropologis, al-Hawalah dapat ditemukan dalam bahasa sehari-hari yang dikembangkan dalam bahasa Arab. Al-Hawalah الحوالة)) adalah bentuk mashdar dari ا حا لة yang secara etimologi bermakna berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain. Adapun pengertian secara bahasa adalah memindahkan barang seperti memindahkan botol dari satu tempat atau tempat yang lain atau me-mindahkan hutang dari satu per-janjian hutang kepada perjanjian hu-tang yang lain. Sedangkan pe-ngertian secara normatif al-Hawalah adalah memindahkan hutang dari perjanjian hutang yang satu dengan perjanjian hutang yang lain dengan jumlah hutang yang sama. Sementara itu Wahbah az-Zuhaili dengan mengutip kitab al-Inayah mendefinisikan al-Hawalah sebagai perpindahan dari Ashil (Muhil) kepada Muhal Alaih (orang yang bertanggungjawab sete-lah adanya akad Hawalah).
Al-Hawalah sebagai ornament budaya masyarakat Arab pada masa awal Islam dalam melakukan peng-alihan pembayaran hutang menda-patkan justifikasi hokum melalui al-Qur’an dan al-Hadits. Al-Hawalah
mengandung nilai tolong menolong sebagaimana dijelaskan dalam surat al-Maidah ayat 2 sebagai berikut :
“ Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu melanggar syi'ar-syi'ar Allah, dan jangan melang-gar kehormatan bulan-bulan haram[390], jangan (mengganggu) binatang-bina-tang hadya dan binatang-binatang qalaa-id, dan jangan (pula) meng-ganggu orang-orang yang mengun-jungi Baitullah sedang mereka mencari kurnia dan keredhaan dari Tuhannya dan apabila kamu Telah menyelesaikan ibadah haji, Maka bolehlah berburu. dan janganlah sekali-kali kebencian(mu) kepada sesuatu kaum Karena mereka meng-halang-halangi kamu dari Masjidil-haram, mendorongmu berbuat aniaya (kepada mereka). dan tolong-me-nolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. dan bertakwalah kamu kepada Allah, Sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.”
Sedangkan dasar hukum lainnya yang secara rinci jelas mengarah pada pembolehan mengalihkan pembayar-an hutang adalah satu hadits yang dikutip oleh Ibn Rusyd dalam Kitab Bidayah al-Mujtahid sebagai berikut :
مطل الغني ظلم , وادا احيل احدكم علي غني فليستحل (اخرجه البخاري و احمد)
Penangguhan orang kaya (untuk tidak bayar hutang) itu aniaya, dan apabila salah seorang kamu dipin-dahkan kepada orang kaya, hendaklah ia menerimanya (HR. Bukhori dan Ahmad)
Berdasarkan pada kebolehan mengalihkan pembayaran hutang tersebut, para fuqaha salaf telah menyusun rukun dan syarat sebagai tanda sah dilakukannya al-Hawalah menurut agama.
Imam Syafii sangat rinci dalam mengemukakan rukun al-Hawalah yaitu ; Muhil, Muhal, Muhal Alaih, piutang Muhal ke Muhil, Hutang Muhil kepada Muhal Alaih dan yang terakhir adalah sighat. Adapun syarat al-Hawalah meliputi 6 syarat yang dapat diringkas menjadi 4 syarat yaitu kerelaan Muhil,Muhal, Muhal Alaih, piutang Muhal diketahui kadar maupun sifatnya, hutang Muhal Alaih bersifat lazim, kesamaan jumlah hutang muhil kepada Muhal dan piutang Muhil kepada Muhal Alaih.
Pemahaman al-Hawalah sebagai-mana dijelaskan di atas dapat dicontohkan sebagai berikut. Misal-nya Pihak Pertama meminjamkan sejumlah uang kepada Pihak Kedua, namun sebelumnya pihak pertama telah meminjamkan uang kepada Pihak Ketiga dengan jumlah pinjaman yang sama dengan pihak kedua. Dalam konteks praktik Hawalah pihak pertama dapat membuat perjanjian dengan Pihak Kedua dan Pihak Ketiga agar pihak ketiga dapat membayar hutang pihak pertama kepada pihak Kedua.
Secara garis besar praktik al-Hawalah dalam konsep dasar fikihnya sebagai berikut :
Sedangkan di kalangan fuqaha Hanafiyah mengemukakan rukun al-Hawalah sangat sederhana namun progresif yaitu sighat ijab dan Kabul. Ulama Hanafiah tidak mensyaratkan Muhal Alaih memiliki hutang kepada Muhil ) لا يسترط ان يكون للمحيل دين علي المحال عليه )
Sebagai salah satu bentuk per-janjian, al-Hawalah dapat berakhir dalam beberpa keadaan yaitu :
1. Karena dibatalkan atau fasakh
2. Hilangnya hak Muhal Alaih karena meninggal dunia atau bangkrut atau ia mengingkari adanya akad al-Hawalah sementara Muhal tidak dapat menghadirkan saksi
3. Jika Muhal Alaih telah melaksanakan kewajibannya kepada Muhal
4. Meninggalmua Muhal, se-mentara Muhal Alaih mewa-risi harta hawalah karena pewarisan merupakan salah satu sebab kepemilikan. Jika akad ini hawalah muqayya-dah, maka berakhirlah sudah akad hawalah.
5. Jika Muhal menghibahkan hartanya kepada Muhal Alaih
6. Jika Muhal menyedahkan harta al-Hawalah kepada Muhal Alaih
7. Jika Muhal menghapusbuku-kan kewajiban membayar hutang kepada Muhal Alaih
Pengembangan Al-Hawalah Dalam Perekonomian Islam Modern
Islam sebagai agama yang ber-pangkal pada keimanan pada Allah Swt., sistem ajarannya memiliki kemanfaatan di dunia dan akhirat secara simultan. Artinya ajaran Islam yang dikembangkan dengan baik didunia akan memiliki dampak positif tidak saja di dunia tetapi juga di akhirat sekaligus. Dalam iman, Se-orang Muslim/Muslimah tidak saja dituntut untuk mengetahui dzat Allah Swt., tetapi juga tunduk dan pasrah pada ketentuan Allah dalam setiap tindakannya, baik dalam bidang ibadah maupun muamalah.
Dalam hal ini, kita dapat menyak-sikan kekonsistenan para fuqaha salaf yang sangat luar biasa mengawal rambu-rambu kepatuhan terhadap ketentuan Allah ini melalui beberapa kaidah fikih sebagai berikut :
الاصل في العباد ا ت التوقيف
الاصل في المعا ملة الاباحة حتي يدل الدليل علي التحريمه
Keberadaan kaidah di atas menjelaskan pada kita tentang keha-rusan tiap tindakan Muslim/Muslimah dalam beribadah maupun bermua-malah tunduk pada ketentuan Allah Swt. yang diketahui baik melalui ayat kauniyah maupun qauliyah.
Dalam konteks muamalah , bentuk keterikatan tindakan Muslim/ Muslimah untuk patuh dalam keten-tuan Allah diantaranya dapat dilihat pada aplikasi al-Hawalah pada perekonomian Islam sejak pada masa nabi Muhammad hingga masa seka-rang. Namun, penenerapan al-Hawalah dalam perekonomian pada masa Nabi Muhammad berbeda dengan penerapannya pada pereko-nomian Islam modern saat ini. Pada masa Nabi Muhammad, al-Hawalah dilakukan dalam tataran mikro mau-pun makro yang diwarnai dan dipe-ngaruhi oleh perilaku individu dan nilai-nilai yang bersumber pada al-Qur’an maupun al-Sunnah. Pada masa perekonomian Islam modern saat ini, al-Hawalah juga diterapkan secara mikro maupun secara makro. Namun penerapan al-Hawalah secara makro dalam perekonomian Islam modern menuntut perluasan dasar hokum yang bisa saja tidak sesuai dengan struktur dasar al-Hawalah, dianta-ranya adalah prinsip-prinsip Bank Indonesia menyangkut liquiditas, ren-tabilitas dan solvabilitas dan Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/46/PBI/2005yang bertumpu pada Fatwa DSN- MUI No. 12/DSN-MUI/IV/2000 tentang Hawalah dan Fatwa DSN-MUI No. 58 /DSN-MUI/V/2007 tentang Hawalah bil ujroh
Konsekuensi diimplementasikan-nya al-Hawalah dalam system pere-konomian Islam modern pada akhirnya menuntut penyesuaian-pe-nyesuaian dengan ketentuan yang berlaku, seperti tidak terpenuhinya syarat Muhal Alaih memiliki hutang yang semisal dengan hutang Muhil ke Muhal sebagaimana dikemukakan ulama di kalangan Syafiiyyah dan dibolehkannya mengambil keuntung-an dalam bentuk fee jasa penagihan yang besarnya memperhatikan besar kecilnya resiko tidak tertagihnya hutang.
Hal ini diperkuat oleh pendapat M. Syafii Antonio, dalam bukunya Bank Syariah dari Teori ke Praktik, diantara manfaat diadopsinya al-Hawalah sebagai produk bank adalah :
1. Untuk menyelesaikan utang piutang secara cepat dan simultan
2. Tersedianya talangan dana untuk hibah bagi yang membutuhkan
3. Sebagai salah satu fee based income bagi bank syariah.
Analisis
Merujuk pada Hadits tentang dibolehkannya pengalihan pembayar-an hutang sebagaimana disebutkan di atas, maka menghidupkan al-Hawalah dalam perekonomian Islam modern tidak bertentangan dengan ketentuan Islam. Bahkan hal ini dapat dijadikan sebagai bentuk kemudahan (rukh-shoh) bagi orang yang memiliki hutang dan dalam keadaan kesulitan dalam membayar kewajibannya, te-tapi masih memiliki asset pada pihak lain. Maka untuk memastikan kewajibannya dalam membayar hutangnya pada pihak lain dapat melakukan al-Hawalah.
Dalam konteks ini, al-Hawalah dimaksudkan untuk memenuhi janji yang secara tersirat ada pada hutang piutang. Dalam al-Qur’an dijelaskan bahwa memenuhi janji merupakan salah satu perilaku yang mengandung kebaikan yang setara dengan perilaku-perilaku kebaikan lainnya seperti beriman pada Allah, Malaikat, Kita, Nabi membagikan harta yang disukainya pada kerabat dekat, anak yatim dsb., hal ini telah dijelaskan dal surat al-Baqarah : 177 sebagai berikut :
Bukanlah menghadapkan wajah-mu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi Sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari Kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang mene-pati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. mereka Itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka Itulah orang-orang yang bertakwa.
Dalam hal ini. adanya kesetaraan pemenuhan janji dalam hutang piu-tang dengan iman dan takwa me-nunjukkan bahwa melaksanakan al-Hawalah merupakan bagian dari keimanan dan ketakwaan yang bersifat sinergis. Bahwa seorang yang beriman pada Allah Swt. semestinya dapat menggerakkan ketakwaan dan menghasilkan akhlak mulia dalam bentuk memenuhi janji diantaranya dalam membayar hutang. Hubungan sinergis ini bersifat mengunci satu sama lain sehingga dapat mengha-silkan suatu gerak yang harmonis dalam orbitnya.
Dengan demikian, dalam perspek-tif mikro ekonomi, seorang Muslim atau Muslimah wajib membayar hutangnya baik dengan melakukan pembayaran sendiri maupun dengan melakukan al-Hawalah. Hal ini sesuai landasan normatif dan elemen-ele-men al-Hawalah sebagai salah satu entitas budaya yang pernah berkem-bang pada masa Nabi Muhammad dan sesuai dengan pemikiran mains-tream fikih di kalangan Syafiiyyah.
Implementasi al-Hawalah di perbankan syariah sebagaimana di-contohkan oleh Veithzal Rifai dan Andria Permata Veithzal sebagian besar memiliki kesesuaian dengan fikih di kalangan ulama Hanafiah. Kesesuaianya terletak pada posisi Muhal Alaih sebagai pembayar hu-tang pada Muhal tidak memiliki hutang pada Muhil. Sedangkan letak ketidaksesuaiannya terletak pada pengambilan fee dan posisi Muhil yang justru berhutang pada Muhal Alaih. Sedangkan jika ditinjau dari perspektif fikih di kalangan ulama Syafiiyyah, implementasi al-Hawalah di perbankan syariah tidak memiliki kesesuaian.
Nampaknya perbedaan yang ada hanya pada penempatan dan pe-nambahan elemen-elemen al-Hawalah. Terutama pada elemen Muhil yang memiliki posisi sebagai orang yang terbebas dari hutang menjadi orang yang memiliki hutang, elemen Muhal Alaih yang dalam fikih Syafiiyah memiliki hutang pada Muhil justru tidak memiliki hutang pada Muhil dan adanya penambahan elemen fee sebagai ujroh pengalihan hutang. Namun menyangkut tujuan implementasi al-Hawalah di per-bankan syariah sama dengan tujuan al-Hawalah pada konsep asalnya yaitu sebagai sarana pengalihan membayar hutang dan ini, tidak bertentangan dengan sumber hukum Islam. Dengan demikian dapat ditarik garis benang merah bahwa implementasi al-Hawa-lah pada system perekonomian Islam modern telah mengalami perubahan. Keadaan ini menimbulkan pertanyaan apakah perubahan al-Hawalah yang dilakukan pada saat ini dibolehkan?
Pada prinsipnya, budaya yang bisa mendapat legalitas syar’i adalah budaya yang berlaku secara tetap, dengan demikian budaya yang ber-ubah-ubah tidak akan mendapat lega-litas syar’i karena dapat menimbulkan kerancuan dalam pelaksanaannya kecuali ada penjelasannya.
Modifikasi al-Hawalah yang di-mplementasikan di bank syariah tidak menyangkut merubah dalil sebab hukum kebolehan mengalihkan pem-bayaran hutang didasarkan pada sumber hokum Islam tidak dapat dirubah secara mutlak. Sementara itu hokum yang mendasari penyusunan elemen-elemen al-Hawalah dilakukan berdasarkan pada pertimbangan waktu atau zaman sehingga masih memungkinkan untuk dirubah. Hal ini sesuai dengan kaidah yang berbunyi :
انه اختلاف عصر وزمان , لا اختلاف حجة وبرهان
Perubahan hukum itu hanya karena perbedaan zaman dan waktu, bukan karena perbedaan hujjah atau dalil.
Penerapan al-Hawalah di per-bankan syariah menemukan momen-tumnya pada fungsi bank sebagai jantung perputaran keuangan. Menu-rut Mudrajad Kuncoro, dalam bukunya Manajemen Perbankan, menjelaskan fungsi utama bank adalah :
1. Sebagai lembaga penghim-pun dana masyarakat dalam bentuk simpanan
2. Sebagai lembaga yang me-nyalurkan dana ke masyarakat dalam bentuk kredit dan pembiayaan (penulis)
3. Sebagai lembaga yang me-lancarkan transaksi perdagangan dan peredaran uang.
Dalam hal ini keberadaan fungsi bank sebagai agen penyalur dana ke masyarakat dan agen yang melan-carkan transaksi perdagangan dan peredaran uang tentu sangat dibu-tuhkan oleh masyarakat yang ingin menerima dana dari bank yang diantaranya digunakan untuk mem-bayar hutang. Fakta ini menunjukkan adanya relevansi antara konsep asal al-Hawalah sebagai pengalihan pem-bayaran hutang dengan fungsi bank syariah sebagai penyalur dana. Kondisi inilah yang memungkinkan dilakukannya konversi fungsi bank sebagai agen penyalur dana menjadi Muhal Alaih yang berfungsi mem-bayar hutang Muhil kepada Muhal dalam konteks al-Hawalah.
Sedangkan posisi Muhil yang tiidak bisa terbebas dari hutang karena ia menggunakan dana masya-rakat, sehingga ia berkewajiban untuk membayarnya juga. Sementara penarikan fee sebagai ujroh peng-alihan hutang dikaitkan dengan prinsip rentabilitas yang ada dalam bank sebagai badan usaha untuk mendapatkan keuntungan. Apabila keadaan ini bisa dipahami dan dapat dilaksanakan secara ajeg dalam system perekonomian Islam modern utamanya di bank syariah, maka hukum al-Hawalah di perbankan syariah dapat diterima, sesuai dengan kaidah العا دة المحكمة dengan beberapa pertimbangan.
Pertama, penerapan al-Hawalah di bank syariah tidak merubah dalil kebolehan pengalihan hutang. Kedua, entitas budaya al-Hawalah dalam for-mat baru tidak bertentangan de-ngan syar’I karena tidak mengandung unsur kezaliman dan kerusakan.
Kesimpulan
Setelah mengkaji keberadaan al-Hawalah dan dan pengembangannya dalam system Perekonomian Islam modern dapat disimpulkan bahwa :
1. Penerapan al-Hawalah saat ini tetap mengacu pada sumber hokum Islam yang membolehkan melakukan pengalihan pembayaran hutang
2. Beberapa perubahan penem-patan dan penambahan elemen al-Hawalah pada saat ini dikarenakan adanya perbedaan latar pengem-bangan al-Hawalah pada saat ini dengan al-Hawalah pada saat awal pembentukannya.
3. Relevansi konsep awal al-Hawalah dengan perekonomian Islam modern terletak pada adanya fungsi bank syariah sebagai bagian dari struktur perekonomian Islam modern sebagai penyalur dana ke masyarakat yang posisinya dapat dikonversi menjadi Muhal Alaih sebagai pembayar hutang.
Daftar Rujukan
Abd al-Rahman al-Jaziri, al-Fiqh ala al-Madzahibi al-Arba’ah, juz II, Dar al-Hadits al-Kohiroh
Ibn Rusyd, Bidayah al Mujtahid wa Nihayah al-Muqtashid, Maktabah Wa Matba’ah Karyata Putera Semarang
M. Syafii Antonio, Bank Syariah Dari Teori ke Praktik, Gema Insani Press Jakarta
Maimun Zubair, Formulasi Nalar Fikih ; Telaah Kaidah Fikih Konseptual, Kaki Lima, Khalista Surabaya
Mudrajad Kuncoro dan Suharjono, Manajemen Perbankan Teori dan Aplikasi, Fakultas Ekonomi UGM Yogyakarta
Veithzal Rifai dan Andria Permata Veithzal, Islamic Financial Management, Rajawali Press Jakarta
Artikel Yoyo Hambali
MEMBANGUN JAMA’AH UMAT DALAM KEMAJEMUKAN
Yoyo Hambali
Munculnya berbagai golongan dalam Islam seperti diberitakan oleh Rasulullah hingga tujuh puluh tiga golongan--sementara Syahrastani, seorang ahli ilmu kalam (teologi Islam) Sunni dalam kitabnya al-Milal wa al-Nihal, mencatat lebih dari tujuh puluh tiga golongan—tidak bisa dilepaskan dari sejarah perjalanan Islam itu sendiri terutama setelah wafatnya Rasulullah saw. Terjadinya konflik besar atau lebih dikenal dengan fitnah al-kubra antara pihak Ali dan Muawiyah yang sesungguhnya lebih merupakan konflik politik, berdampak terhadap munculnya berbagai aliran (firqah) keagamaan dalam Islam. Tentu saja, setiap aliran itu mengklaim dirinya sebagai aliran yang paling benar, paling autentik, paling sesuai dengan ajaran Al-Qur’an dan Sunnah Nabi saw. Sementara itu, kelompok lainnya dipandang sesat bahkan tidak sedikit terjadi saling mengkafirkan antara satu aliran dengan aliran lainnya yang berakibat kepada perpecahan dan pertumpahan darah. Seorang ulama yang dipandang sebagai tokoh salafi Ibn Taimiyah seperti dikutip Dr. Tosihiko Izutsu dalam The Structure of the Ethical Term in the Koran mengatakan bahwa kata “kafir” telah digunakan oleh berbagai kelompok Islam untuk menumpahkan darah sesamanya. Bila seseorang atau suatu kelompok dicap sebagai kafir, maka orang atau pengikut kelompok itu menjadi halal darahnya di mata kelompok yang mencapnya. Kelompok khawarij, misalnya, mencap kelompok Muawiyah dan Ali sebagai kelompok kafir yang halal darah dan hartanya.
Dalam sejarah Islam, kasus-kasus saling mengkafirkan itu kerap terjadi bahkan sampai abad modern ini. Munculnya berbagai kelompok yang pada awalnya dilatari oleh kepentingan politik yang kemudian merambah ke dalam wilayah keagamaan telah menimbulkan konflik yang semakin menajam sehingga kesatuan (jama’ah) kaum Muslimin menjadi terancam. Munculnya kelompok Ahl Sunnah wa al-Jama’ah dilatarbelakangi oleh keinginan untuk menjaga solideritas dan kesatuan ummat (jama’ah) dengan senantiasa merujuk kepada Al-Qur’an dan Sunnah Nabi saw. terutama kitab hadits yang enam (al-Kutub al-Sittah) yang menjadi rujukan utama. Kelompok ini sesungguhnya telah dirintis oleh dua orang sahabat Rasulullah yang berupaya menghinadari dirinya dari wilayah politik dan mereka mengembangkan pemikiran dengan menekuni Sunnah Nabi. Kedua orang sahabat ini sebagaimana ditulis Nurcholish Madjid dalam Khazanah Intelektual Islam (1994:16), dikenal dengan dua Abdullah, yaitu Abdullah bin Umar dan Abdullah bin Abbas dipandang sebagai pendahulu terbentuknya kelompok ummat Islam yang kelak dikenal sebagai Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah atau dikenal pula sebagai kelompok Sunni yaitu kelompok yang mengklaim sebagai golongan yang berpegang teguh terhadap al-Qur’an dan Sunnah Nabi juga ditambah dengan sahabat, tabi’it dan tabi’in serta para ulama sunnah dan pengikutnya sampai hari kiamat.
Golongan Sunni pada awalnya bersikap netral terhadap politik, moderat dan toleran dan memiliki kemampuan besar untuk menerima perbedaan dalam ummat sehingga pandangan-pandangan keagamaan mereka mudah diterima sehingga kelompok ini menjadi kelompok mayoritas dalam ummat. Namun dalam perkembangan selanjutnya, kelompok ini lebih dekat kepada kepentingan politik Muawiyah dan berhadapan dengan kelompok lainya terutama kelompok Syi’ah (kelompok yang dikenal sebagai pengikut setia Ali bin Abi Thalib). Dalam perkembangan selanjutnya lagi, kelompok Sunni yang pada awalnya merupakan kelompok keagamaan yang lebih bernuansa kalam dengan munculnya mazhab yang empat dalam fiqih (Hanafiah, Syafi’iah, Malikiah, dan Hanbaliah) lebih dikenal sebagai kelompok yang berpegang teguh kepada empat mazhab tersebut terutama mazhab Sya’fi’i.
Dalam persoalan kalam, salah seorang yang paling ditokohkan sebagai ahli kalam golongan Sunni, yaitu al-Asy’ari merumuskan doktrin-doktrinnya yang kelak menjadi doktrin resmi kalam Sunni dengan revisi dari para pengikutnya. Al-‘Asy’ari, seperti diungkapkan oleh Fazlur Rahman dalam bukunya Islam (1997:126) “tokoh paling tersohor dari gerakan yang baru, berhasil menjungkirbalikkan posisi kaum Mu’tazilah. Asy’ari sendiri pada mulanya merupakan pengikut Mu’tazilah dan ia memisahkan diri dari gurunya yaitu al-Juba’i karena ia memiliki pendapat sendiri tentang keadilan Tuhan yang berbeda dengan gurunya itu.”
Sesungguhnya Asy’ari berupaya untuk merumuskan pandangan-pandangan kalamnya dengan membuat sintesa antara pandangan ortodoks dan Mu’tazili. Ia merumuskan dogma-dogmanya antara lain bahwa semua perbuatan manusia telah diciptakan Tuhan, tetapi perbuatan-perbuatan itu sendiri menempelkan diri pada kehendak manusia yang dengan demikian ‘memperolehnya’. Semua kekuasaan milik Allah sedangkan tanggung jawab ada pada manusia. Tuhan memiliki sifat-sifat yang berbeda dengan makhluknya. Tuhan berkehendak dengan sifat Kehendak-Nya, Mengetahui dengan sifat Pengetahuan-Nya dan seterusnya. Sifat-sifat-Nya itu sendiri tidak sama dengan Zat-Nya.
Mengenai Al-Qur’an, Asy’ari berpandangan bahwa Al-Qur’an adalah qadim. Menurut Asy’ari, Tuhan dapat dilihat di akhirat, Tuhan mempunyai muka, tangan, mata dan sebagainya, tetapi tidak dapat ditentukan bagaimananya (bila kaifa), yaitu tidak mempunyai bentuk dan batasan tertentu (la yukayyaf wala yuhadd), Tuhan tidak mempunyai kewajiban apapun karena ia berkuasa mutlak atas segala sesuatu, orang Islam yang berbuat dosa besar, bagaimanapun, tetap mukmin. Pandangan-pandangan al-Asy’ari tersebut dirumuskannya dalam kitabnya yang amat terkenal berjudul Maqalat al-Islamiyin. Asy’ari dalam kitabnya Maqalat al-Islamiyin, menyebut ahlu sunnah dengan istilah lain, yakni Ahl al-Hadits wa al-Sunnah (golongan yang berpegang pada hadits dan sunnah), sedangkan dalam kitabnya al-Ibanah, ia menggunakan istilah Ahl al-Haq wa al-Sunnah (golongan yang berpegang pada kebenaran dan sunnah Nabi saw.) Permikiran al-Asy’ari tersebut juga diteruskan oleh ulama berikutnya seperti al-Baqilani, al-Juwaini dan muridnya yang terkenal dijuluki sebagai hujjah al-Islam, yakni al-Ghazali. Bahkan yang terakhir ini, seperti dikatakan seorang Orientalis Charles MacDonald, merupakan orang yang paling berjasa kedua setelah Nabi Muhammad dan paling berpengaruh dari paham Sunni di dunia Islam dan melaului al-Ghazali serta murid-muridnya paham ahlu sunnah menyebar ke seluruh pelosok dunia Islam sampai saat ini. Walaupun para Orientalis antara lain Philiph K. Hitti sering menuduh al-Ghazali sebagai penyebab terbelenggunya kreativitas intelektual, kebesaran nama al-Ghazali dan pengaruhnya tidak diragukan di dunia Timur. Mereka itu dikenal sebagai para pengikut al-Asy’ari yang dikenal dengan ulama-ulama Asy’ariyah yang merupakan cikal bakal Ahl Sunnah wa al-Jama’ah, yaitu seperti dikutip dari Harun Nasution dalam Teologi Islam: Aliran-aliran, Sejarah, Analisa Perbandingan, kelompok yang mempertalikan diri mereka dengan sunah (nasabbuhu anfusuhum ila al-sunnah) dan ahli kebenaran agama dan jama’ah (ahl al-haq wa aldin wa al-jama’ah).
Ajaran-ajaran Asy’ariyah-Sunni itu menurut Abu Zahrah dalam Tarikh al-Mazhab al-Islamiyah, dikembangkan berdasarkan dalil-dalil naqli (al-Qur’an dan Sunnah) dan ‘aqli (argumentasi rasional-logis). Teologi kelompok Sunni ini tidak hanya berkisar seputar kalam saja, namun juga berkisar seputar fiqih, yaitu fiqih empat mazhab. Sebagaimana dalam kalam, para ahli fiqh (fuqaha) empat mazhab ini juga menggunakan dalil naqli dan ‘aqli dalam merumuskan formulasi di bidang hukum. Di antara empat mazhab itu mazhab Hanafi dan Syafi’i dipandang lebih liberal karena Hanafi membolehkan ra’y (pendapat) dan Sya’fi’i membolehkan penggunaan qiyas (analogi), sedangkan dua lainnya (Maliki dan Hanbali) sangat ketat dalam memegang nash (teks) Qur’an dan Sunnah dan kurang menerima otoritas selainnya (Lihat Madjid Fakhri, A History of Islamic Philosophy, 1983:17).
Istimbat (pengambilan hukum) yang dilakukan oleh keempat mazhab tersebut dipandang sebagai otoritas final sehingga tidak membuka peluang bagi generasi selanjutnya untuk berijtihad. Dengan kata lain, semua persoalan dalam bidang hukum cukup merujuk kepada empat mazhab tersebut dan tidak diperbolehkan adanya ijtihad lagi selain ijtihad empat mazhab tersebut. Akibatnya, muncullah kemandegan ummat Islam selama berabad-abad lamanya karena terbelenggunya kreativitas intelektual ummat islam sampai kemudian munculnya tokoh ummat Islam salaf yang sangat terkenal keteguhannya terhadap sumber-sumber utama Islam (al-Qur’an dan Sunnah) namun tidak meniadakan peluang terbukanya kembali pintu ijtihad karena banyaknya persoalan baru yang ditemukan dalam masyarakat Islam. Dia adalah Ibn Taimiyah yang dengan lantang mengumandangkan terbukanya kembali pintu ijtihad setelah ditutup selama beratus-ratus tahun. Perbedaan dalam ijtihad merupakan salah satu penyebab munculnya perbedaan paham dan praktek ibadah. Tetapi yang berbahaya adalah perbedaan yang dilatarbelakangi oleh kepentingan yang bersifat politis seperti perebutan kekuasaan.
MEMBANGUN DIALOG LINTAS MAZHAB MENUJU INTEGRASI UMAT
Yoyo Hambali
Salah satu upaya mewujudkan integrasi umat adalah membangun sikap dialogis. Dalam berbagai kasus upaya membangun dialog di antara sekte-sekte (kelompok) Islam yang masih eksis seperti antara Sunni dan Syi’i dilakukan entah untuk mencari titik temu atau tidak jarang untuk mencari titik lemah pihak lawan. (Dialog antara ulama besar Sunni yang diwakili oleh Rektor al-Azhar Kairo Mesir al-Syaikh al-Bisyri al-Maliki dan ulama besar Syi’ah Syarafuddin al-Musawi dibukukan dalam kitab al-Muraja’at yang di-Indoensiakan oleh penerbit Mizan Bandung dengan judul Dialog Sunnah-Syi’ah). Berbagai diskusi yang mempertemukan kelompok Sunni dan Syi’ah dilakukan juga di Indonesia. Beberapa cendekiawan Muslim bahkan merumuskan mazhab baru, meskipun sebatas wacana temporer (sementara), seperti mazhab Ahli Sunnah wa Syi’ah (Susi) seperti dikemukakan oleh Jalaluddin Rahmat, atau mazhab Ahlu Sunnah wa al-‘Adalah seperti pernah dilontarkan oleh Nurcholish Madjid. Dalam membangun dialog itu hendaknya kita lebih mengedepankan Islam dalam maknanya sebagai sikap dan tindakan yang baik. Memang secara etimologis, islam berarti sikap dan tindakan kepasrahan kepada Allah. Di sini islam adalah masalah “memberikan keseluruhan jiwa (raga) seseorang kepada Tuhan demi tujuan yang mulia. Menyerahkan jiwa (raga) seseorang, dalam pengorbanan, seperti yang ditunjukkan oleh Ibrahim. Ibrahim adalah seorang Muslim yang dalam Qur’an menunjuk kepada seseorang yang bertindak dalam ketaatan yang penuh rasa cinta kepada Tuhan yang dibuktikan dengan kerelaan untuk mengorbankan putranya demi pendekatan diri (taqarrub) kepada Allah. Seorang muslim bergerak menuju Allah, menerima tanpa reserve panggilan dan ajaran-ajarannya, bergerak menuju yang absolute, menuju transendensi, merasa dipromosikan ke tingkat menuju tingkat eksistensi yang lebih tinggi (Lihat Muhammad Arkoun, Rethinking Islam, 1996:17). Dengan demikian islam tidak semata-mata kepasrahan yang pasif, namun kepasrahan total yang aktif, kepasrahan yang senantiasa bergerak menuju ridha Allah dengan melakukan pengorbanan jiwa dan raga seperti yang dilakukan oleh Ibrahim, Bapak Tauhid itu. Islam adalah agama Allah satu-satunya yang diturunkan kepada para Nabi Allah sejak Adam alaihi salam yang mengalami evolusi (perkembangan) sampai mencapai taraf kesempurnaan pada risalah Muhammad saw. Dikatakan sebagai satu-satunya agama Allah, karena misi utama Islam adalah tauhid, yakni penyembahan kepada Allah dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun yang dirumuskan dengan doktrin tauhid La ilaha illallah (Tiada Tuhan selain Allah). Hanya saja bila ditinjau dari segi syari’at, islam yang diturunkan kepada para nabi sebelum Muhammad merupakan islam (dengan “i” kecil) karena syari’atnya belum sempurna, sedangkan Islam yang diturunkan kepada Nabi Muhammad merupakan Islam (dengan “I” besar) karena syari’atnya telah mencapai kesempurnaan. (Islam agama semua Nabi, lihat Ibn Taimiyah, al-Iqtidha al-Shirat al-Mustaqim Mukhalifatu Ashab al-Jahim, hlm. 450-451).
Adanya kemajemukan dalam Islam merupakan sunnatullah. Kemajemukan itu harusnya menjadi rahmat bagi segenap ummat Islam sebagaimana disabdakan Rasulullah: “ikhtilaf fi ummati rahmah (perbedaan di kalngan ummatku adalah rahmat)”. Bahkan misi Islam harus dirasakan oleh segenap ummat manusia karena sesungguhnya misi diutusnya Rasullah agar menjadi rahmat bagi segenap alam (wama arsalnaka illa rahmatan lil ‘alamin). Sikap yang harus didorong oleh berbagai kelompok keagamaan itu adalah sikap berlomba-lomba dalam melakukan kebajikan (fastabiqul khairat), menghindari sikap fanatisme butadan berlebihan sehingga dapat menimbulkan perpecahan ummat (kullu hizbin bima laidihim farihun). Lebih-lebih di Indonesia, bangsa Indonesia mayorits beragama Islam dan yang menarik bahwa ummat islam Indoensia hamper seluruhnya kaum Sunni (Ahl Sunnah wa al-Jama’ah), bahkan dalam bidang fiqih pun dapat dikatakan bahwa mereka hampir seleuruhnya bermazhab Syafi’i. Ini merupakan modal besar untuk mewujudkan kesatuan umat Islam di Indonesia. Adanya aliran lain selain Ahl Sunnah mengindikasikan kekayaan khazanah ummat Islam di mana kita harus memandang mereka yang berada di luar kelompok kita semuanya sebagai saudara seiman sebagaimana ditegaskan oleh Allah dalam al-Qur’an surat al-Hujurat/49:10: “Sesungguhnya kaum beriman itu semuanya bersaudara (Innamal mu’minunan ikhwah)”. Dalam sejarah, Ja’far al-Shadiq, imam keenam kaum Syi’ah diakui oleh kaum Sunni sebagai tokoh dalam hukum Islam. Bahkan fiqih Syafi’i yang dianut oleh Ahlu Sunnah dalam banyak hal sangat dekat dengan fiqih Ja’fari (Lihat Muhammad Jawad al-Mughni, al-Fiqh ala Mazahib al-Khamsah).
Berbagai aliran atau pandangan yang dipandang menyimpang, tidak dapat dikatakan menyimpang selama mereka meyakini dasar-dasar iman dan Islam, memegang syari’at dan menunjukkan akhlak yang dicontohkan Nabi. Perbedaan pemahaman dan atau penafsiran belum dapat dikatakan menyimpang selama tidak menyimpang dari prinsip-prinsip dasar tersebut, kecuali mereka membuat penafsiran sewenang-wenang, tanpa metode (manhaj) yang berlandaskan dalil naqli atau dalil ‘aqli. Pemahaman atau penafsiran kita terhadap nash baik menggunakan metode naqli (tekstual) maupun ‘aqli (rasional-kontekstual) merupakan pemahaman yang relatif karenanya tidak boleh dipandang mutlak benarnya, lebih-lebih dalam persoalan yang menyangkut khilafiyah. Karenanya, kita harus melihat sisi-sisi positif pandangan keagamaan dari berbagai aliran pemikiran yang berbeda-beda pemahamannya dengan melihat kontribusi yang mereka berikan dalam konteks sejarah waktu aliran itu muncul. Khawarij, saat kelompok ini muncul, memberikan kontribusi akan pentingnya benar-benar menggunakan al-Qur’an (hukum Allah) dalam penyelesaian konflik ketika al-Qur’an (hukum Allah) itu hanya dijadikan alat untuk melakukan tipu muslihat demi meraih kekuasaan. Semboyan mereka la hukma illallah (tiada hukum selain hukum Allah) mengingatkan pada kelompok Muawiyah dan Ali agar menggunakan Al-Qur’an dengan sesungguhnya sebagai tempat rujukan. Aliran Mu’tazilah memberikan kontribusi untuk menghadapi beberapa pandangan menyimpang dari filsafat Yunani. Pengaruh Yunani telah menyebabkan sebagian ummat Islam menggunakan filsafat untuk memahami ajaran Islam, sementara itu banyak pandangan mereka yang dianggap tidak sesuai dengan aqidah-tauhid Islam, di sinilah kontribusi aliran Mu’tazilah dalam pemhamannya yang rasional dalam berbagai persoalan kalam (lihat Abdurrhaman Badawi, al-Turats al-Yunani fa al-Hadlarah al-Islamiyah). Begitu juga aliran lainnya seperti Asy’ariyah yang telah disinggung di atas yang mendapatkan posisi karena berhasil mensintesakan antara naqli dan ‘aqli dalam berbagai persoalan kalam yang saat itu tidak boleh tidak telah menjadi anutan sebagian ummat Islam. Demikian pula kelompok-kelompok sufi atau tasawuf, mereka memberikan kontribusi di saat ummat Islam terjerumus ke dalam materialisme dan hedonisme serta kekeringan ruhani karena paham dan praktek keagamaan yang terlalu menitikberatkan pada aspek syari’at. Ibn Rushd mengatakan dalam Bidayah al-Mujtahid: “Kaum Muslimin sibuk dalam berbagai aspek syari’at seraya meninggalkan aspek batini (ruhani) dari agama.” Berbagai aliran baik kalam, fiqih, tasawauf dan lain-lain, boleh jadi memiliki perbedaan dalam pemahaman dan prakteknya, namun mereka tidak bisa dipandang sesat selama tidak ada bukti yang kuat secara naqli dan ‘aqli yang membuktikan kesesatan mereka. Dalam hal ini, kita dapat merujuk kepada kitab-kitab ulama untuk sekedar mengetahui aliran-aliran yang mu’tabarah dan yang tidak mu’tabarah dan melihat ciri-ciri mereka dalam konteks dewasa ini bila ada. Karya-karya tersebut banyak dijumpai antara lain Kitab al-Milal wa al-Nihal karya al-Syahrastani, Kitab al-Fishal fi al-Milal wa al-Ahwa wa al-Nihal karya Ibn Hazm, Kitab al-Firaq Bain al-Firaq karya al-Iraqi, Mazahib al-Islamiyyin karya Abdurrahman Badawi, dan lain-lain.
Adanya berbagai aliran lain baik besar maupun kecil merupakan realitas sejarah yang harus diterima sebagai suatu sunnatullah, dan sebaik-baik ummat sebagaimana dinyatakan Allah dalam Al-Qur’an s. Al-Baqarah/2:143, adalah ummat yang mengambil posisi tengah (ummatan wasathan). Abdullah Yusuf Ali, penafsir besar Al-Qur’an menerjemahkan ummatan wasathan dengan an ummat justly balanced (Yusuf Ali, The Holy Quran Translation and Commentary, 1998). Muhammad ‘Abid al-Jabiri, seorang pemikir Islam kontemporer asal Maroko, mengatakan bahwa hendaknya umat Islam tidak terjebak ke dalam ekstrimisme karena fenomena ekstrimisme itu, jika dilihat secara historis, selalu berujung pada kehancuran, misalnya yang dialami kelompok khawarij. Mazhab Asy’ari yang merupakan cikal bakal Ahl Sunnah senantiasa bertengger pada posisi tengah seperti halnya mazhab Itsna ‘Asy’ariyah selalu bertengger pada kelompok tengah di antara berbagai kelompok dalam Syi’ah. Baik Sunni maupun Syi’ah Itsna ‘Asy’ari atau disebut juga Syi’ah Imamiyah, kedunya berhasil membangun ulang metode pemikiran, aqidah dan syari’ah dengan berangkat dari proposisi-proposisi baru dan tujuan-tujuan kontemporer. Sementara itu gerakan-gerakan ekstrim akan surut dari arena ketika posisi tengah muncul. Dengan mengambil kasus revolusi Iran, Loenard Binder dalam bukunya Islamic Liberalism menegaskan bahwa keberhasilan revolusi Iran adalah berkat persatuan berbagai kelompok rakyat Iran tanpa memandang perbedaan idiologi dan kelompok.
Yoyo Hambali
Munculnya berbagai golongan dalam Islam seperti diberitakan oleh Rasulullah hingga tujuh puluh tiga golongan--sementara Syahrastani, seorang ahli ilmu kalam (teologi Islam) Sunni dalam kitabnya al-Milal wa al-Nihal, mencatat lebih dari tujuh puluh tiga golongan—tidak bisa dilepaskan dari sejarah perjalanan Islam itu sendiri terutama setelah wafatnya Rasulullah saw. Terjadinya konflik besar atau lebih dikenal dengan fitnah al-kubra antara pihak Ali dan Muawiyah yang sesungguhnya lebih merupakan konflik politik, berdampak terhadap munculnya berbagai aliran (firqah) keagamaan dalam Islam. Tentu saja, setiap aliran itu mengklaim dirinya sebagai aliran yang paling benar, paling autentik, paling sesuai dengan ajaran Al-Qur’an dan Sunnah Nabi saw. Sementara itu, kelompok lainnya dipandang sesat bahkan tidak sedikit terjadi saling mengkafirkan antara satu aliran dengan aliran lainnya yang berakibat kepada perpecahan dan pertumpahan darah. Seorang ulama yang dipandang sebagai tokoh salafi Ibn Taimiyah seperti dikutip Dr. Tosihiko Izutsu dalam The Structure of the Ethical Term in the Koran mengatakan bahwa kata “kafir” telah digunakan oleh berbagai kelompok Islam untuk menumpahkan darah sesamanya. Bila seseorang atau suatu kelompok dicap sebagai kafir, maka orang atau pengikut kelompok itu menjadi halal darahnya di mata kelompok yang mencapnya. Kelompok khawarij, misalnya, mencap kelompok Muawiyah dan Ali sebagai kelompok kafir yang halal darah dan hartanya.
Dalam sejarah Islam, kasus-kasus saling mengkafirkan itu kerap terjadi bahkan sampai abad modern ini. Munculnya berbagai kelompok yang pada awalnya dilatari oleh kepentingan politik yang kemudian merambah ke dalam wilayah keagamaan telah menimbulkan konflik yang semakin menajam sehingga kesatuan (jama’ah) kaum Muslimin menjadi terancam. Munculnya kelompok Ahl Sunnah wa al-Jama’ah dilatarbelakangi oleh keinginan untuk menjaga solideritas dan kesatuan ummat (jama’ah) dengan senantiasa merujuk kepada Al-Qur’an dan Sunnah Nabi saw. terutama kitab hadits yang enam (al-Kutub al-Sittah) yang menjadi rujukan utama. Kelompok ini sesungguhnya telah dirintis oleh dua orang sahabat Rasulullah yang berupaya menghinadari dirinya dari wilayah politik dan mereka mengembangkan pemikiran dengan menekuni Sunnah Nabi. Kedua orang sahabat ini sebagaimana ditulis Nurcholish Madjid dalam Khazanah Intelektual Islam (1994:16), dikenal dengan dua Abdullah, yaitu Abdullah bin Umar dan Abdullah bin Abbas dipandang sebagai pendahulu terbentuknya kelompok ummat Islam yang kelak dikenal sebagai Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah atau dikenal pula sebagai kelompok Sunni yaitu kelompok yang mengklaim sebagai golongan yang berpegang teguh terhadap al-Qur’an dan Sunnah Nabi juga ditambah dengan sahabat, tabi’it dan tabi’in serta para ulama sunnah dan pengikutnya sampai hari kiamat.
Golongan Sunni pada awalnya bersikap netral terhadap politik, moderat dan toleran dan memiliki kemampuan besar untuk menerima perbedaan dalam ummat sehingga pandangan-pandangan keagamaan mereka mudah diterima sehingga kelompok ini menjadi kelompok mayoritas dalam ummat. Namun dalam perkembangan selanjutnya, kelompok ini lebih dekat kepada kepentingan politik Muawiyah dan berhadapan dengan kelompok lainya terutama kelompok Syi’ah (kelompok yang dikenal sebagai pengikut setia Ali bin Abi Thalib). Dalam perkembangan selanjutnya lagi, kelompok Sunni yang pada awalnya merupakan kelompok keagamaan yang lebih bernuansa kalam dengan munculnya mazhab yang empat dalam fiqih (Hanafiah, Syafi’iah, Malikiah, dan Hanbaliah) lebih dikenal sebagai kelompok yang berpegang teguh kepada empat mazhab tersebut terutama mazhab Sya’fi’i.
Dalam persoalan kalam, salah seorang yang paling ditokohkan sebagai ahli kalam golongan Sunni, yaitu al-Asy’ari merumuskan doktrin-doktrinnya yang kelak menjadi doktrin resmi kalam Sunni dengan revisi dari para pengikutnya. Al-‘Asy’ari, seperti diungkapkan oleh Fazlur Rahman dalam bukunya Islam (1997:126) “tokoh paling tersohor dari gerakan yang baru, berhasil menjungkirbalikkan posisi kaum Mu’tazilah. Asy’ari sendiri pada mulanya merupakan pengikut Mu’tazilah dan ia memisahkan diri dari gurunya yaitu al-Juba’i karena ia memiliki pendapat sendiri tentang keadilan Tuhan yang berbeda dengan gurunya itu.”
Sesungguhnya Asy’ari berupaya untuk merumuskan pandangan-pandangan kalamnya dengan membuat sintesa antara pandangan ortodoks dan Mu’tazili. Ia merumuskan dogma-dogmanya antara lain bahwa semua perbuatan manusia telah diciptakan Tuhan, tetapi perbuatan-perbuatan itu sendiri menempelkan diri pada kehendak manusia yang dengan demikian ‘memperolehnya’. Semua kekuasaan milik Allah sedangkan tanggung jawab ada pada manusia. Tuhan memiliki sifat-sifat yang berbeda dengan makhluknya. Tuhan berkehendak dengan sifat Kehendak-Nya, Mengetahui dengan sifat Pengetahuan-Nya dan seterusnya. Sifat-sifat-Nya itu sendiri tidak sama dengan Zat-Nya.
Mengenai Al-Qur’an, Asy’ari berpandangan bahwa Al-Qur’an adalah qadim. Menurut Asy’ari, Tuhan dapat dilihat di akhirat, Tuhan mempunyai muka, tangan, mata dan sebagainya, tetapi tidak dapat ditentukan bagaimananya (bila kaifa), yaitu tidak mempunyai bentuk dan batasan tertentu (la yukayyaf wala yuhadd), Tuhan tidak mempunyai kewajiban apapun karena ia berkuasa mutlak atas segala sesuatu, orang Islam yang berbuat dosa besar, bagaimanapun, tetap mukmin. Pandangan-pandangan al-Asy’ari tersebut dirumuskannya dalam kitabnya yang amat terkenal berjudul Maqalat al-Islamiyin. Asy’ari dalam kitabnya Maqalat al-Islamiyin, menyebut ahlu sunnah dengan istilah lain, yakni Ahl al-Hadits wa al-Sunnah (golongan yang berpegang pada hadits dan sunnah), sedangkan dalam kitabnya al-Ibanah, ia menggunakan istilah Ahl al-Haq wa al-Sunnah (golongan yang berpegang pada kebenaran dan sunnah Nabi saw.) Permikiran al-Asy’ari tersebut juga diteruskan oleh ulama berikutnya seperti al-Baqilani, al-Juwaini dan muridnya yang terkenal dijuluki sebagai hujjah al-Islam, yakni al-Ghazali. Bahkan yang terakhir ini, seperti dikatakan seorang Orientalis Charles MacDonald, merupakan orang yang paling berjasa kedua setelah Nabi Muhammad dan paling berpengaruh dari paham Sunni di dunia Islam dan melaului al-Ghazali serta murid-muridnya paham ahlu sunnah menyebar ke seluruh pelosok dunia Islam sampai saat ini. Walaupun para Orientalis antara lain Philiph K. Hitti sering menuduh al-Ghazali sebagai penyebab terbelenggunya kreativitas intelektual, kebesaran nama al-Ghazali dan pengaruhnya tidak diragukan di dunia Timur. Mereka itu dikenal sebagai para pengikut al-Asy’ari yang dikenal dengan ulama-ulama Asy’ariyah yang merupakan cikal bakal Ahl Sunnah wa al-Jama’ah, yaitu seperti dikutip dari Harun Nasution dalam Teologi Islam: Aliran-aliran, Sejarah, Analisa Perbandingan, kelompok yang mempertalikan diri mereka dengan sunah (nasabbuhu anfusuhum ila al-sunnah) dan ahli kebenaran agama dan jama’ah (ahl al-haq wa aldin wa al-jama’ah).
Ajaran-ajaran Asy’ariyah-Sunni itu menurut Abu Zahrah dalam Tarikh al-Mazhab al-Islamiyah, dikembangkan berdasarkan dalil-dalil naqli (al-Qur’an dan Sunnah) dan ‘aqli (argumentasi rasional-logis). Teologi kelompok Sunni ini tidak hanya berkisar seputar kalam saja, namun juga berkisar seputar fiqih, yaitu fiqih empat mazhab. Sebagaimana dalam kalam, para ahli fiqh (fuqaha) empat mazhab ini juga menggunakan dalil naqli dan ‘aqli dalam merumuskan formulasi di bidang hukum. Di antara empat mazhab itu mazhab Hanafi dan Syafi’i dipandang lebih liberal karena Hanafi membolehkan ra’y (pendapat) dan Sya’fi’i membolehkan penggunaan qiyas (analogi), sedangkan dua lainnya (Maliki dan Hanbali) sangat ketat dalam memegang nash (teks) Qur’an dan Sunnah dan kurang menerima otoritas selainnya (Lihat Madjid Fakhri, A History of Islamic Philosophy, 1983:17).
Istimbat (pengambilan hukum) yang dilakukan oleh keempat mazhab tersebut dipandang sebagai otoritas final sehingga tidak membuka peluang bagi generasi selanjutnya untuk berijtihad. Dengan kata lain, semua persoalan dalam bidang hukum cukup merujuk kepada empat mazhab tersebut dan tidak diperbolehkan adanya ijtihad lagi selain ijtihad empat mazhab tersebut. Akibatnya, muncullah kemandegan ummat Islam selama berabad-abad lamanya karena terbelenggunya kreativitas intelektual ummat islam sampai kemudian munculnya tokoh ummat Islam salaf yang sangat terkenal keteguhannya terhadap sumber-sumber utama Islam (al-Qur’an dan Sunnah) namun tidak meniadakan peluang terbukanya kembali pintu ijtihad karena banyaknya persoalan baru yang ditemukan dalam masyarakat Islam. Dia adalah Ibn Taimiyah yang dengan lantang mengumandangkan terbukanya kembali pintu ijtihad setelah ditutup selama beratus-ratus tahun. Perbedaan dalam ijtihad merupakan salah satu penyebab munculnya perbedaan paham dan praktek ibadah. Tetapi yang berbahaya adalah perbedaan yang dilatarbelakangi oleh kepentingan yang bersifat politis seperti perebutan kekuasaan.
MEMBANGUN DIALOG LINTAS MAZHAB MENUJU INTEGRASI UMAT
Yoyo Hambali
Salah satu upaya mewujudkan integrasi umat adalah membangun sikap dialogis. Dalam berbagai kasus upaya membangun dialog di antara sekte-sekte (kelompok) Islam yang masih eksis seperti antara Sunni dan Syi’i dilakukan entah untuk mencari titik temu atau tidak jarang untuk mencari titik lemah pihak lawan. (Dialog antara ulama besar Sunni yang diwakili oleh Rektor al-Azhar Kairo Mesir al-Syaikh al-Bisyri al-Maliki dan ulama besar Syi’ah Syarafuddin al-Musawi dibukukan dalam kitab al-Muraja’at yang di-Indoensiakan oleh penerbit Mizan Bandung dengan judul Dialog Sunnah-Syi’ah). Berbagai diskusi yang mempertemukan kelompok Sunni dan Syi’ah dilakukan juga di Indonesia. Beberapa cendekiawan Muslim bahkan merumuskan mazhab baru, meskipun sebatas wacana temporer (sementara), seperti mazhab Ahli Sunnah wa Syi’ah (Susi) seperti dikemukakan oleh Jalaluddin Rahmat, atau mazhab Ahlu Sunnah wa al-‘Adalah seperti pernah dilontarkan oleh Nurcholish Madjid. Dalam membangun dialog itu hendaknya kita lebih mengedepankan Islam dalam maknanya sebagai sikap dan tindakan yang baik. Memang secara etimologis, islam berarti sikap dan tindakan kepasrahan kepada Allah. Di sini islam adalah masalah “memberikan keseluruhan jiwa (raga) seseorang kepada Tuhan demi tujuan yang mulia. Menyerahkan jiwa (raga) seseorang, dalam pengorbanan, seperti yang ditunjukkan oleh Ibrahim. Ibrahim adalah seorang Muslim yang dalam Qur’an menunjuk kepada seseorang yang bertindak dalam ketaatan yang penuh rasa cinta kepada Tuhan yang dibuktikan dengan kerelaan untuk mengorbankan putranya demi pendekatan diri (taqarrub) kepada Allah. Seorang muslim bergerak menuju Allah, menerima tanpa reserve panggilan dan ajaran-ajarannya, bergerak menuju yang absolute, menuju transendensi, merasa dipromosikan ke tingkat menuju tingkat eksistensi yang lebih tinggi (Lihat Muhammad Arkoun, Rethinking Islam, 1996:17). Dengan demikian islam tidak semata-mata kepasrahan yang pasif, namun kepasrahan total yang aktif, kepasrahan yang senantiasa bergerak menuju ridha Allah dengan melakukan pengorbanan jiwa dan raga seperti yang dilakukan oleh Ibrahim, Bapak Tauhid itu. Islam adalah agama Allah satu-satunya yang diturunkan kepada para Nabi Allah sejak Adam alaihi salam yang mengalami evolusi (perkembangan) sampai mencapai taraf kesempurnaan pada risalah Muhammad saw. Dikatakan sebagai satu-satunya agama Allah, karena misi utama Islam adalah tauhid, yakni penyembahan kepada Allah dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun yang dirumuskan dengan doktrin tauhid La ilaha illallah (Tiada Tuhan selain Allah). Hanya saja bila ditinjau dari segi syari’at, islam yang diturunkan kepada para nabi sebelum Muhammad merupakan islam (dengan “i” kecil) karena syari’atnya belum sempurna, sedangkan Islam yang diturunkan kepada Nabi Muhammad merupakan Islam (dengan “I” besar) karena syari’atnya telah mencapai kesempurnaan. (Islam agama semua Nabi, lihat Ibn Taimiyah, al-Iqtidha al-Shirat al-Mustaqim Mukhalifatu Ashab al-Jahim, hlm. 450-451).
Adanya kemajemukan dalam Islam merupakan sunnatullah. Kemajemukan itu harusnya menjadi rahmat bagi segenap ummat Islam sebagaimana disabdakan Rasulullah: “ikhtilaf fi ummati rahmah (perbedaan di kalngan ummatku adalah rahmat)”. Bahkan misi Islam harus dirasakan oleh segenap ummat manusia karena sesungguhnya misi diutusnya Rasullah agar menjadi rahmat bagi segenap alam (wama arsalnaka illa rahmatan lil ‘alamin). Sikap yang harus didorong oleh berbagai kelompok keagamaan itu adalah sikap berlomba-lomba dalam melakukan kebajikan (fastabiqul khairat), menghindari sikap fanatisme butadan berlebihan sehingga dapat menimbulkan perpecahan ummat (kullu hizbin bima laidihim farihun). Lebih-lebih di Indonesia, bangsa Indonesia mayorits beragama Islam dan yang menarik bahwa ummat islam Indoensia hamper seluruhnya kaum Sunni (Ahl Sunnah wa al-Jama’ah), bahkan dalam bidang fiqih pun dapat dikatakan bahwa mereka hampir seleuruhnya bermazhab Syafi’i. Ini merupakan modal besar untuk mewujudkan kesatuan umat Islam di Indonesia. Adanya aliran lain selain Ahl Sunnah mengindikasikan kekayaan khazanah ummat Islam di mana kita harus memandang mereka yang berada di luar kelompok kita semuanya sebagai saudara seiman sebagaimana ditegaskan oleh Allah dalam al-Qur’an surat al-Hujurat/49:10: “Sesungguhnya kaum beriman itu semuanya bersaudara (Innamal mu’minunan ikhwah)”. Dalam sejarah, Ja’far al-Shadiq, imam keenam kaum Syi’ah diakui oleh kaum Sunni sebagai tokoh dalam hukum Islam. Bahkan fiqih Syafi’i yang dianut oleh Ahlu Sunnah dalam banyak hal sangat dekat dengan fiqih Ja’fari (Lihat Muhammad Jawad al-Mughni, al-Fiqh ala Mazahib al-Khamsah).
Berbagai aliran atau pandangan yang dipandang menyimpang, tidak dapat dikatakan menyimpang selama mereka meyakini dasar-dasar iman dan Islam, memegang syari’at dan menunjukkan akhlak yang dicontohkan Nabi. Perbedaan pemahaman dan atau penafsiran belum dapat dikatakan menyimpang selama tidak menyimpang dari prinsip-prinsip dasar tersebut, kecuali mereka membuat penafsiran sewenang-wenang, tanpa metode (manhaj) yang berlandaskan dalil naqli atau dalil ‘aqli. Pemahaman atau penafsiran kita terhadap nash baik menggunakan metode naqli (tekstual) maupun ‘aqli (rasional-kontekstual) merupakan pemahaman yang relatif karenanya tidak boleh dipandang mutlak benarnya, lebih-lebih dalam persoalan yang menyangkut khilafiyah. Karenanya, kita harus melihat sisi-sisi positif pandangan keagamaan dari berbagai aliran pemikiran yang berbeda-beda pemahamannya dengan melihat kontribusi yang mereka berikan dalam konteks sejarah waktu aliran itu muncul. Khawarij, saat kelompok ini muncul, memberikan kontribusi akan pentingnya benar-benar menggunakan al-Qur’an (hukum Allah) dalam penyelesaian konflik ketika al-Qur’an (hukum Allah) itu hanya dijadikan alat untuk melakukan tipu muslihat demi meraih kekuasaan. Semboyan mereka la hukma illallah (tiada hukum selain hukum Allah) mengingatkan pada kelompok Muawiyah dan Ali agar menggunakan Al-Qur’an dengan sesungguhnya sebagai tempat rujukan. Aliran Mu’tazilah memberikan kontribusi untuk menghadapi beberapa pandangan menyimpang dari filsafat Yunani. Pengaruh Yunani telah menyebabkan sebagian ummat Islam menggunakan filsafat untuk memahami ajaran Islam, sementara itu banyak pandangan mereka yang dianggap tidak sesuai dengan aqidah-tauhid Islam, di sinilah kontribusi aliran Mu’tazilah dalam pemhamannya yang rasional dalam berbagai persoalan kalam (lihat Abdurrhaman Badawi, al-Turats al-Yunani fa al-Hadlarah al-Islamiyah). Begitu juga aliran lainnya seperti Asy’ariyah yang telah disinggung di atas yang mendapatkan posisi karena berhasil mensintesakan antara naqli dan ‘aqli dalam berbagai persoalan kalam yang saat itu tidak boleh tidak telah menjadi anutan sebagian ummat Islam. Demikian pula kelompok-kelompok sufi atau tasawuf, mereka memberikan kontribusi di saat ummat Islam terjerumus ke dalam materialisme dan hedonisme serta kekeringan ruhani karena paham dan praktek keagamaan yang terlalu menitikberatkan pada aspek syari’at. Ibn Rushd mengatakan dalam Bidayah al-Mujtahid: “Kaum Muslimin sibuk dalam berbagai aspek syari’at seraya meninggalkan aspek batini (ruhani) dari agama.” Berbagai aliran baik kalam, fiqih, tasawauf dan lain-lain, boleh jadi memiliki perbedaan dalam pemahaman dan prakteknya, namun mereka tidak bisa dipandang sesat selama tidak ada bukti yang kuat secara naqli dan ‘aqli yang membuktikan kesesatan mereka. Dalam hal ini, kita dapat merujuk kepada kitab-kitab ulama untuk sekedar mengetahui aliran-aliran yang mu’tabarah dan yang tidak mu’tabarah dan melihat ciri-ciri mereka dalam konteks dewasa ini bila ada. Karya-karya tersebut banyak dijumpai antara lain Kitab al-Milal wa al-Nihal karya al-Syahrastani, Kitab al-Fishal fi al-Milal wa al-Ahwa wa al-Nihal karya Ibn Hazm, Kitab al-Firaq Bain al-Firaq karya al-Iraqi, Mazahib al-Islamiyyin karya Abdurrahman Badawi, dan lain-lain.
Adanya berbagai aliran lain baik besar maupun kecil merupakan realitas sejarah yang harus diterima sebagai suatu sunnatullah, dan sebaik-baik ummat sebagaimana dinyatakan Allah dalam Al-Qur’an s. Al-Baqarah/2:143, adalah ummat yang mengambil posisi tengah (ummatan wasathan). Abdullah Yusuf Ali, penafsir besar Al-Qur’an menerjemahkan ummatan wasathan dengan an ummat justly balanced (Yusuf Ali, The Holy Quran Translation and Commentary, 1998). Muhammad ‘Abid al-Jabiri, seorang pemikir Islam kontemporer asal Maroko, mengatakan bahwa hendaknya umat Islam tidak terjebak ke dalam ekstrimisme karena fenomena ekstrimisme itu, jika dilihat secara historis, selalu berujung pada kehancuran, misalnya yang dialami kelompok khawarij. Mazhab Asy’ari yang merupakan cikal bakal Ahl Sunnah senantiasa bertengger pada posisi tengah seperti halnya mazhab Itsna ‘Asy’ariyah selalu bertengger pada kelompok tengah di antara berbagai kelompok dalam Syi’ah. Baik Sunni maupun Syi’ah Itsna ‘Asy’ari atau disebut juga Syi’ah Imamiyah, kedunya berhasil membangun ulang metode pemikiran, aqidah dan syari’ah dengan berangkat dari proposisi-proposisi baru dan tujuan-tujuan kontemporer. Sementara itu gerakan-gerakan ekstrim akan surut dari arena ketika posisi tengah muncul. Dengan mengambil kasus revolusi Iran, Loenard Binder dalam bukunya Islamic Liberalism menegaskan bahwa keberhasilan revolusi Iran adalah berkat persatuan berbagai kelompok rakyat Iran tanpa memandang perbedaan idiologi dan kelompok.
Langganan:
Postingan (Atom)